Liputan6.com, Balikpapan - Melalui pengerahan tiga orang Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang langsung dari Jakarta, tim penasihat hukum terdakwa Zainal Muttaqin meyakini bahwa kliennya sengaja dipidana dan aset miliknya dirampas.
Keyakinan itu disampaikan oleh Sugeng Teguh Santoso, ketua tim penasihat hukum Zam sapaan akrab Zainal Muttaqin pada sidang ke 16 yang berlangsung di ruang sidang Pengadilan Negeri Balikpapan, Kamis (16/11/2023).
Dalam sidang itu Zam yang mantan direktur utama (Dirut) PT. Duta Manuntung (PT. DM), didakwa dengan pasal 374, yakni melakukan penggelapan dalam jabatan. Zam dilaporkan oleh Dirut PT. DM yang sekarang, Ivan Firdaus ke Bareskrim Mabes Polri Jakarta.
Sugeng mengungkapkan bahwa atensi penyidik dan kejaksaan atas kasus ini besar. Selain melalui pengerahan tiga jaksa langsung dari Jakarta, juga melalui surat tuntutan yang janggal.
"Pengerahan tiga jaksa langsung dari Jakarta itu tentu membutuhkan biaya besar," tegas Sugeng yang didampingi penasihat hukum lainnya, Prasetyo dan Mansuri. "Siapa yang membiayai," sambung Sugeng mempertanyakan.
Sugeng menyatakan bahwa selama 30 tahun menjadi advokat dan mendampingi para korban permainan hukum di banyak daerah di Indonesia, baru di Balikpapan ini berhadapan dengan JPU yang semuanya didatangkan dari Jakarta.
Sugeng bersama timnya meyakini bahwa kasus yang menjadikan H. Zainal Muttaqin sebagai terdakwa ini, dikawal agar tidak meleset dari rencana awal agar Zam dipidana dan asetnya dirampas.
Kasus ini, menurut Sugeng, dipaksakan agar terdakwa diarahkan dipidana. Kemudian dengan dasar itu asetnya akan dirampas. "Aset-aset terdakwa akan dirampok menggunakan instrumen hukum," tegas Sugeng yang juga Ketua IPW (Indonesian Police Watch).
Sugeng mengulang kesaksian Dr. Abdul Rais SH, MH ketika mendampingi terdakwa Zam memberikan keterangan kepada petugas di Bareskrim Mabes Polri. Ketika memasuki tengah malam, terdakwa Zam didatangi Kepala Unit (Kanit) di Bareskrim itu dan dibentak-bentak. "Sejak permintaan keterangan di Mabes Polri, polisi pemeriksa sudah berlaku tidak wajar," kata Sugeng.
Selaku Ketua IPW, Sugeng telah melaporkan wakil menteri hukum dan HAM (Wamenkumham), Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, SH, M.Hum ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dan KPK telah menetapkan Wamenkumham sebagai tersangka beberapa hari yang lalu.
Sugeng bersama timnya juga menyoroti tuntutan JPU yang tidak menyertakan fakta-fakta yang meringankan dari terdakwa.
Sugeng pun mengutip Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman, wajib untuk mempertimbangkan hal-hal yang meringankan dari terdakwa.
Menurut Sugeng, undang-undang nomor 48 itu berlaku selain kepada hakim, juga berlaku kepada jaksa penuntut umum. Karena undang-undang ini representasi hukum untuk mewujudkan keadilan. Karena itu, fakta yang meringankan maupun memberatkan harus dicantumkan pada penuntutan.
Pada sidang sebelumnya, sidang ke 15, JPU memang sudah menuntut terdakwa Zam dengan hukuman empat tahun dan enam bulan. Dalam tuntutan menyatakan tidak ada hal yang meringankan dari terdakwa. "Karena itu kita dapat berkesimpulan bahwa jaksa penuntut umum telah bersikap tidak adil," tegas Sugeng.
Faktanya, menurut Sugeng, ada sifat-sifat baik terdakwa dan hal-hal yang meringankan pada diri terdakwa. Antara lain terdakwa tidak pernah dihukum, berlaku sopan, memiliki tanggungan dan telah cukup berumur. Saat ini terdakwa berusia 62 tahun.
Baca Juga
Advertisement
Pembelaan Terdakwa
Sidang yang dimulai pukul 14.15 Wita itu, setelah dibuka oleh Hakim Ketua Ibrahim Palino, dilanjutkan dengan pembelaan oleh pribadi terdakwa yang ditulis tangan di atas kertas putih bergaris dan dibacakan langsung oleh terdakwa.
Terdakwa juga menyoroti tim JPU yang didatangkan dari Jakarta. Dikatakannya, selama menggeluti dunia kewartawanan di Balikpapan sejak tahun 1990, baru kali inilah sidang di Pengadilan Negeri Balikpapan tim JPU-nya didatangkan dari Jakarta sejak sidang pertama.
Menurut Zam, Jaksa Afrianto yang mengawalnya sejak selepas dari tahanan Bareskrim Mabes Polri, memperkenalkan diri sebagai jaksa dari kejaksaan agung Jakarta. "Setelah itu saya selalu bertemu jaksa Afrianto setiap kali sidang saya," kata Zam.
Zam membayangkan betapa mahalnya negara membiayai persidangan terhadap dirinya, "Saya perkirakan setidaknya diperlukan biaya mencapai dua ratus juta rupiah untuk tiket pesawatnya saja," kata Zam.
Angka itu didasarkan pada pengalamannya menghadiri panggilan dari penyidik Bareskrim Mabes Polri di Jakarta beberapa kali. "Saya harus merogoh kantong saya sampai puluhan juta rupiah untuk biaya tiket pesawat terbang," kata Zam.
Advertisement