Kisah Petugas Medis Gaza Hindari Patroli Israel dan Penembak Jitu, Kabur dari RS Al-Shifa

Jawdat Sami al-Madhoun menyaksikan temannya meninggal, menghibur seorang anak yang ingin mati bersama orang tuanya, dan akhirnya melarikan diri dari RS Al-Shifa.

oleh Tanti Yulianingsih diperbarui 17 Nov 2023, 21:00 WIB
Pasukan Israel di area RS Al-Shifa di Gaza pada Rabu 15 November 2023. (Israel Defense Forces Via AP)

Liputan6.com, Gaza - Jawdat Sami al-Madhoun hampir tidak percaya ketika melihat gerbang Rumah Sakit Syuhada Al-Aqsa muncul di hadapannya. Asisten dokter berusia 26 tahun itu berhasil meninggalkan Rumah Sakit Al-Shifa yang terkepung di Kota Gaza dan berjalan sejauh 16 km (10 mil) ke Deir el-Balah.

Jawdat telah menghabiskan 25 hari sebelumnya menjadi sukarelawan di unit gawat darurat RS Al-Shifa, berjuang bersama staf lainnya untuk membantu korban cedera sebaik mungkin, seringkali tanpa obat-obatan dan perlengkapan paling dasar.

"Kami tidak dapat membantu yang terluka," katanya kepada Al Jazeera pada Senin 13 November, sambil memalingkan wajahnya saat suaranya parau. "Mereka sekarat! Kami tidak dapat melakukan apa pun untuk menyelamatkan mereka. Kami hanya akan menyaksikan mereka mati.

"Ada ratusan jenazah di halaman rumah sakit. Kami bahkan tidak bisa menguburkannya."

RS Al-Shifa telah dikepung oleh pasukan Israel sejak Jumat 10 November, dan tidak ada seorang pun yang diizinkan masuk atau keluar dari kompleks rumah sakit tertua dan terbesar di Gaza. Pada Rabu 15 November, pasukan Israel menyerang dan mengklaim bahwa terdapat pusat komando Hamas di dalamnya. Klaim yang belum terbukti hingga saat ini.

Rumah sakit tersebut kehilangan pasokan listrik sepenuhnya pada Sabtu 11 November, menghentikan semua peralatan medisnya dan membahayakan 39 bayi prematur yang inkubatornya berhenti berfungsi.

Sejak itu, tujuh bayi telah meninggal, jumlah korban terus bertambah karena rumah sakit masih lumpuh. Staf di rumah sakit telah menguburkan setidaknya 179 jasad di halaman.

Bahkan berpindah antar gedung medis di kompleks tersebut, kata Jawdat, adalah masalah hidup dan mati karena penembak jitu Israel menargetkan siapa pun yang bergerak.

"Saya adalah seorang sukarelawan," katanya. "Saya akan menerima orang-orang, melakukan triase pada beberapa kasus, dan membalut siapa pun yang dapat saya bantu. Saya bukan perawat terlatih, tapi saya mempelajarinya selama sekitar satu setengah tahun, jadi saya ingin melakukan sesuatu, apa saja, untuk membantu.

 


Gadis Kecil Itu Ingin Mati Bersama Keluarganya

Bayi prematur di Rumah Sakit Al Shifa Gaza dibaringkan di atas aluminium foil agar tetap hangat setelah inkubator mereka dimatikan karena listrik padam pada Minggu, 12 November 2023. (Medical Aids for Palestine)

"Suatu hari, empat gadis kecil yang cantik datang, yang tertua berusia sekitar 13 tahun, hanya satu dari mereka yang terluka… mereka datang bersama keluarga mereka yang telah meninggal; ayah, ibu dan saudara laki-laki. Kami melakukan apa yang harus kami lakukan dan menguburkan mereka," kata Jawdat yang kemudian berhenti bersuara, menundukkan kepala dan terisak.

"Gadis kecil yang terluka itu menatapku dan berkata: 'Tolong, Paman, biarkan aku mati bersama mereka. Aku tidak tahu bagaimana akan hidup tanpa orang tua dan saudara laki-lakiku.’

"Di hari lain, kami menerima seorang anak laki-laki berusia 12 tahun, yang terluka parah akibat serangan yang menewaskan keluarganya. Setiap kali dia melihat saya, dia akan berkata: 'Bisakah kamu menyembuhkan saya atau membiarkan saya pergi [mati] bersama mereka?'."

Jawdat pun terheran bagaiama dirinya bisa kuat menjalani hari-hari kelabu tersebut.

"Saya tidak tahu dari mana kami mendapat tenaga untuk melakukan pekerjaan ini. Tuhan pasti memberi kita semua kekuatan untuk terus maju. Para dokter bekerja dengan panik. Mereka rela bekerja selama tiga, empat hari berturut-turut tanpa tidur, melakukan apa pun asalkan bisa menyelamatkan satu anak lagi, satu orang lagi."

"Saya punya teman, Islam al-Munshid; Saya terkejut menemukan dia di ruang tunggu suatu hari, terluka parah. Ternyata dia terluka dalam serangan Israel di gerbang Al-Shifa sehari sebelumnya, dan saya belum pernah melihatnya di tengah-tengah semua korban luka. Saya bertanya kepada dokter bagaimana keadaannya, dan mereka berkata: 'Otaknya mati, tapi tubuhnya masih bernapas. Doakan dia beristirahat dengan tenang.’

"Tiga hari, 72 jam, saya pergi dan memeriksanya setiap jam untuk melihat apakah dia masih bernapas atau tidak hingga akhirnya dia meninggal."

"Tidak ada yang bisa kami lakukan. Seandainya kami punya peralatan, mungkin kami bisa membantunya, tapi kami tidak punya apa-apa, jadi kami tidak bisa berbuat apa-apa. Tengkoraknya patah di dua tempat, dan dia memerlukan operasi segera untuk menyelamatkan nyawanya, tapi kami tidak bisa."

 


Sebuah Keluarga Terpisah

Dokter Palestina merawat bayi yang lahir prematur di Rumah Sakit Al Aqsa, Deir el-Balah, Jalur Gaza, Minggu (22/10/2023). (AP Photo/Adel Hana)

Jawdat dan istrinya, May, seperti banyak keluarga di Gaza, memutuskan untuk tinggal di lokasi terpisah dengan harapan sebanyak mungkin orang akan selamat dari pemboman Israel yang tiada henti dan dapat bersatu kembali di kemudian hari.

May yang berusia 23 tahun, juga berada di Kota Gaza, namun Jawdat tidak dapat menghubunginya karena tank, penembak jitu, dan ledakan yang terjadi secara acak di jalanan.

Berbicara tentang May, ketakutan Jawdat menguasai dirinya, dan dia kembali menangis memikirkan bahwa dia mungkin tidak akan pernah melihat istrinya lagi. Dia tahu bahwa tidak mungkin dia bisa menghubunginya di Kota Gaza, namun fakta bahwa dia hanya menerima satu pesan darinya dalam beberapa hari dan dia tidak mendengar kabar apa pun darinya selama tiga hari membuatnya kewalahan.

Putus asa untuk bisa bersama keluarganya, pikirannya beralih ke Deir el-Balah di Gaza tengah, tempat dia akhirnya berhasil meyakinkan ibunya untuk pindah pada hari Jumat.

"Ibu saya menderita penyakit ginjal, namun dia bersikeras bahwa dia tidak akan pernah meninggalkan kotanya. Dia berkata kepada saya: ’Jika kami, penduduk negeri ini, pergi, siapa lagi yang akan mengurusnya?’

"Tetapi kehadirannya yang terus-menerus di sana menimbulkan bahaya besar bagi hidupnya dan dirinya sendiri."

Tanpa keluarganya, Jawdat merasa tersesat, dan di hadapan RS Al-Shifa, ia merasa tidak berdaya.

"Kami tidak bisa berbuat banyak untuk korban luka. Tidak ada kain kasa, tidak ada oksigen, tidak ada persediaan. Yang bisa kami lakukan hanyalah membersihkan luka mereka. Beberapa dari mereka yang meninggal, … yang mereka butuhkan hanyalah sedikit oksigen."

Satu-satunya jalan keluar, katanya, adalah ketika Komite Palang Merah Internasional (ICRC) dapat membantu mereka memindahkan bayi-bayi prematur, yang semuanya dibungkus rapat agar mereka tetap hangat tanpa inkubator.

"ICRC [memberi] kami waktu satu jam untuk memindahkan bayi prematur dari ruang bersalin ke ruang resepsi," kata Jawdat.

"Mereka juga menyuruh kami menjauh dari jendela agar kami tidak tertembak. Kami tentu saja sangat ‘berterima kasih’ kepada mereka atas peringatan itu," ujarnya masam.

 


Detik-Detik Kronologi Kaburnya Jawdat dari RS Al-Shifa

Warga Palestina yang terluka tiba di Rumah Sakit al-Shifa dengan menaiki truk menyusul serangan udara Israel di Kota Gaza, Jalur Gaza, Kamis (19/10/2023). (AP Photo/Abed Khaled)

Jawdat kemudian menceritakan detik-detik kronologi bagaimana ia bisa kabur dari RS Al-Shifa. 

Jawdat meninggalkan rumah sakit bersama sekelompok pengungsi yang berlindung di Al-Shifa, berharap bisa melewati tentara, tank, dan penembak jitu Israel hingga ke selatan.

Dia tahu risikonya.

"[Senin] pagi, kami menerima enam kasus di rumah sakit, semuanya luka-luka. Mereka tertembak setelah tentara Israel memberi tahu mereka bahwa tidak apa-apa meninggalkan gedung tempat mereka berada. Saat mereka pergi, mereka langsung tertembak," kata Jawdat.

Namun dia mendengar bahwa kelompok sebelumnya yang berangkat pada hari sebelumnya telah berhasil melewatinya dengan selamat.

"Mereka bilang mereka ditembak, tapi mereka berhasil sampai ke selatan. Sedikit keberanian," kata mereka. "Dibutuhkan sedikit keberanian."

Jawdat dan rekan-rekannya ditembak sebanyak tiga kali, sambil berlari di setiap kesempatan untuk menghindari penembak jitu. Akhirnya, kelompok tersebut terpecah karena orang-orang yang lebih lambat tertinggal, dan yang lainnya berpencar di berbagai persimpangan.

Pada satu titik, Jawdat dan beberapa orang lainnya dihentikan oleh tentara Israel, yang menyuruh mereka berdiri dengan tangan terangkat, memegang kartu identitas mereka. Seorang pria menggaruk kepalanya, kata Jawdat, dan dipanggil oleh tentara Israel. Dia tidak yakin apa yang terjadi padanya setelah itu.

Pada kesempatan lain, "mereka mengambil sekitar 20 pria dan menelanjangi mereka, memukuli mereka, mempermalukan mereka, lalu melepaskan mereka. Ini seperti setiap kali tentara bosan, mereka akan memilih seseorang untuk ditindas dan dihina".

Itu bukanlah hal terburuk yang Jawdat lihat di jalan. Dia mengatakan dia berlari melewati mayat-mayat, kaki seorang gadis kecil yang terpenggal dan seorang wanita berusia 50-an, masih mengenakan mukena, tergeletak mati di tanah.

Jawdat berhasil mencapai Deir el-Balah. Dia tidak tahu berapa banyak lagi orang yang melarikan diri dari RS Al-Shifa.​

Infografis Tragedi Kemanusiaan 3.000 Lebih Anak Meninggal di Gaza. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya