Liputan6.com, Jakarta - Almaghfurlah KH Abdurrahman Wahid atau yang lebih sering disapa Gus Dur merupakan sosok yang sangat fenomenal.
Ia dikenal sebagai pribadi yang unik, otentik dan progresif, baik ketika masih menjabat presiden maupun saat berstatus warga sipil alias kiai.
Dalam banyak kesempatan, memang Gus Dur sering melontarkan joke-joke yang nyeleneh dan membuat siapa saja yang mendengarnya merasa terhibur sekaligus tersindir.
Kadung dianggap humoris, Gus Dur pun mendapati pemakluman dari rekan sejawat. Bahkan di kancah internasional pun guyonannya dinanti-nanti, seperti pertemuannya dengan Fidel Castro, Presiden Kuba saat itu.
Ini salah satu guyonan Gus Dur yang cukup mengocok perut dan asik dibaca kapan saja, bonus senyum-senyum sendiri.
Baca Juga
Advertisement
Simak Video Pilihan Ini:
Kisah yang Diceritakan gus Dur Saat di Australia
Mengutip jatim.nu.or.id,dalam sebuah kesempatan berkunjung ke Clayton, Melbourne, Australia, tepatnya kediaman intelektual muda Fachry Ali, almaghfurlah KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur berbagi cerita. Peristiwa ini terjadi pertengahan 1991 sebagaimana dikisahkan di status Facebook Bang Fahcry.
Pada sebuah malam, Gus Dur berselonjor kaki di atas karpet. Diskusi kala itu sudah selesai. Dan keisengan selalu menggoda dalam waktu seperti itu.
Maka berceritalah Kiai Abdurrahman Wahid tentang seorang kiai sepuh di sebuah pesantren antah berantah. Entah berkat apa, kiai ini meminang santriwati yang tentu saja muridnya.
Pinangan tersebut disambut baik orang tua santriwati. Maka, malam pasca nikah, sebagai suami, kiai sepuh tersebut harus melaksanakan ‘kewajiban’-nya —ba’da Isya dan, mungkin, disambung wirid seperlunya.
Advertisement
Rayuan Maut Sang Kiai
Ketika ‘kewajiban’ tersebut hendak dieksekusi, santriwati yang kini absah menjadi istrinya, menolak serta merta. Telah sepuh, tentu sang kiai cukup bijak dan bersabar. Walau kian larut, sang kiai dengan lembut memberikan ‘ceramah’ tentang kewajiban suami-istri menurut pandangan agama.
Tetapi, ‘ceramah’ tersebut tidak mempan.
Sedikit kehilangan kesabaran, kiai tersebut menggunakan ‘senjata pamungkas’.
Kepada istrinya yang masih remaja itu, sang kiai mengatakan:
“Kalau dinda (ce’ile) mau melaksanakan kewajiban sebagai istri malam ini, pahalanya sama dengan membunuh 100 orang kafir,” (Malam itu, kiai ‘menyediakan’ 300 orang kafir saja).
Mendengar itu, santriwati yang telah menjadi istrinya tersebut tertarik dan bergairah. Maka ia berseru: "Ayo kita bunuh orang kafir," cetusnya bersemangat.
Orang Kafir Sudah Habis, Kita Tunggu Mereka Kumpul Dulu
Dalam hati, kiai berkata: “Ini yang aku tunggu.”
Maka, sang kiai berhasil melaksanakan kewajibannya.
Santriwati yang kini merasa mendapat ‘pahala’ besar dengan aksi ini, mengajak sang kiai menambah ‘pahala’ setelah kewajiban pertama usai. Kiai berkalkukasi tinggal 200 orang kafir lagi. Tak apalah.
Tetapi, setelah ke-200 orang kafir tersebut terbunuh semua, hasrat berpahala santriwati ini kian meningkat.
‘Ok,’ kata kiai. Toh persediaannya masih 100 orang kafir.
Masalahnya, ketika tidak ada lagi orang kafir yang tersedia untuk dibunuh, sang santriwati justru kian bergairah mencari pahala. Maka, kepada suaminya yang sudah hampir terlelap kelelahan itu, ia berkata: “Ayo, kita cari pahala lagi. Kita bunuh orang kafir!”
Tergeletak tak berdaya, sang kiai dari pesantren antah berantah itu menjawab sekenanya.
“Orang kafir sudah habis. Kita tunggu mereka kumpul duluuuuu.”
Setelah itu, tidak ada suara yang terdengar dari kiai ini.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul
Advertisement