Liputan6.com, Jakarta - Zaman Jahiliyah merujuk kepada periode sebelum kedatangan Islam di Arabia, yang dikenal dengan keadaan kebodohan atau kegelapan.
Dalam konteks sejarah Islam, zaman ini sering dianggap sebagai masa pra-Islam di mana masyarakat Arab hidup dalam keadaan yang tidak memiliki petunjuk agama yang jelas atau ajaran yang diilhami oleh Tuhan.
Pada zaman Jahiliyah, masyarakat Arab umumnya hidup dalam suku-suku dan memiliki praktik keagamaan, kebiasaan, dan sistem nilai yang berbeda-beda.
Mereka sering kali memuja berhala, memiliki tradisi-tradisi penyembahan yang bervariasi, dan melakukan praktik-praktik sosial tertentu yang menjadi bagian dari kehidupan mereka sehari-hari.
Termasuk persoalan pernikahan pun pada zaman ini bermacam ragamnya.
Baca Juga
Advertisement
Simak Video Pilihan Ini:
Makna Nikah Seperti Ini
Mengutip Hidayatuna.com pernikahan memiliki sejarah yang panjang. Dimulai sejak zaman Nabi Adam dan berlanjut hingga sekarang.
Dalam al-Fiqh al-Islami, nikah makna aslinya adalah “akad”, kemudian dialihkan untuk makna “jimak” (bersetubuhan). Nikah sendiri dipersyaratkan harus diawali dengan ijab-qabul yang sah.
Jika terjadi pernikahan, namun tidak diawali dengan ijab-qabul, maka pernikahannya dianggap tidak sah.
Jika terjadi “jimak”, maka hukumnya sama dengan zina. Pelakunya disebut dengan “zaniyah”, “fajirah”, “’ahirah”, “mu’ahirah dan “musafihah”.
Advertisement
Jenis Pernikahan di Zaman Jahiliah
Dalam al-Mufasshal fi Tarikh al-Arab Qabla al-Islam karya Jawwad Ali disebutkan ada beberapa jenis pernikahan yang marak dilakukan oleh masyarakat Jahiliah di antaranya adalah sebagai berikut:
Al-Ba’ulah
Pernikahan ba’ulah adalah pernikahan normal sebagaimana yang umum terjadi sekarang. Pernikahan ini diawali dengan ijab-qabul, pemberian mahar dan lamaran.
Pernikahan jenis ini terbagi menjadi 2, yaitu monogami dan poligami. Namun poligami di zaman Jahiliah cukup liar, karena tidak ada pembatasan minamal- maksimalnya (duna tahdid).
Masyarakat Jahiliah punya hak preogratif penuh untuk memilih siapa perempuan-perempuan yang akan dinikahi tanpa harus memperhitungkan jumlahnya.
Karena itu, satu laki-laki memiliki 8 atau 10 istri menjadi pemandangan yang lumar. Kasus poligami liar ini pernah dipraktikan oleh sejumlah sahabat di antaranya Ghilan bin Salamah al- Saqafi, Mas’ud bin Mu’tib, Mu’tib bin Amr Ibn Umair, Urwah bin Mas’ud, Sufyan bin Abdullah dan Mas’ud bin Amir bin Mu’tib dan al-Haris bin Qais.
Poligami liar ini oleh masyarakat Jahiliah menjadi kebanggan tersendiri. Kehormatan, kewibawaan, dan privilese seseorang diantaranya ditentukan oleh seberapa banyak ia memiliki istri atau selir.
Al-Dhaizan
Pernikahan ini juga disebut al-maqtu (pernikahan yang dibenci), dan anak yang lahir dari pernikahan ini dinamakan al-muqta atau al-maqit (anak yang dibenci).
Pernikahan jenis ini terbagi menjadi 3, yaitu pernikahan antara satu laki- laki dengan dua perempuan saudara sekandung sekaligus (al-jam’u baina al-ukhtaini), antara anak dengan istri dari ayahnya (zaujat al-abb), dan ayah kandung dengan anak perempuannya (ibnatihi).
Kasus pernikahan inses di zaman Jahiliah dilegalkan secara terang- terangan. Sebagai contoh kasus pernikahan Hasyim bin Abdu Manaf dengan Waqidah, istri dari ayahnya.
Kemudian Kinanah bin Khuzaimah dengan istri dari mendiang ayahnya bernama Barrah binti Murr, hingga melahirkan seorang bayi bernama al-Nasr bin Kinanah.
Lalu putra dari Abi Qais bin al-Aslat dengan Kabsyah binti Ma’an bin Ashim, yang digagalkan dengan turunnya surah al-Nisa’ ayat 22.
Untuk kasus pernikahan dengan dua perempuan saudara sekandung sekaligus misalnya pernah dilakukan oleh Fairuz al-Dilami, Sa’id bin al-Ash bin Umaiyah, Saqif bin Manbah, Hinam bin Salamah dan lain-lain.
Jenis pernikahan inses terakhir, pernah dilakukan oleh Hajib bin Zurarah (ada yang mengatakan Laqit bin Zurahah al-Tamimi) dengan anak perempuan kandungnya yang bernama Dakhtanus.
Pernikahan Tukar Menukar Istri
Al-Badal
Al-Badal adalah pernikahan tukar menukar istri. Pernikahan ini dilakukan ketika seseorang terikat janji dengan orang lain untuk menyerahkan istri yang telah dinikahinya dan mengambil istri orang lain tersebut sebagai istrinya tanpa mahar.
Al-Syigar
Pernikahan jenis ini terjadi di mana seorang laki-laki menikahkan putri atau saudari perempuannya dengan laki-laki lain, dengan tujuan agar dirinya bisa menikahi putri laki-laki lain tersebut tanpa mahar.
Misalnya seseorang mengatakan kepada orang lain, “Nikahkan aku dengan putrimu, maka aku pun akan menikahkan putriku denganmu” atau “Nikahkan aku dengan saudara perempuanmu, maka aku akan menikahkan saudari perempuanku denganmu”.
Al-Mut’ah
Nikah mut’ah adalah pernikahan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan dalam tempo waktu tertentu dengan membayar sejumlah uang yang telah ditentukan.
Pernikahan ini tidak berkonsekuensi talak dan tidak ada kewajiban memberi nafkah. Karena tujuan dari pernikahan ini adalah istimta’ (bersenang- senang).
Di zaman jahiliah, nikah mut’ah dilakukan terutama ketika mereka melakukan safar ke sebuag wilayah/negara dengan maksud mereka bisa bermukim dan wanita yang dinikahinya (al-mustamta’ biha) tersebut bisa menjaga harta dan kehormatannya.
Al-Istibdha’
Al-istibdha’ adalah pernikahan untuk mencari bibit unggul dan memperbaiki keturunan.
Seorang suami menyuruh istrinya agar melakukan hubungan badan dengan tokoh terpandang atau dedengkot dari kaumnya.
Selama istri belum hamil, maka suami tidak akan menggaulinya sampai sang istri melahirkan anak.
Al-Dha’inah
Pernikahan ini terjadi ketika seseorang memboyong/menawan seorang perempuan dari kabilah lain dengan cara perang.
Maka, laki-laki tersebut punya wewenang penuh untuk memaksa perempuan yang menjadi tawanannya tersebut menjadi istrinya tanpa memberikan maharnya.
Advertisement
Respons Al-Qur'an Terhadap Jenis Pernikahan Jahiliah
Melihat kondisi tersebut, Alqur’an melakukan protes, kritik dan mengoreksi berbagai bentuk pernikahan tersebut.
Meminjam terminologi Ali Sodiqin – pernikahan-pernikahan tersebut ada yang biarkan keberlakuannya (tahmil), ada yang dibiarkan tetapi Alqur’an memodifikasi dan mengoreksi bagian tertentu yang dianggap bertentangan Islam (taghyir) dan ada yang dihapus secara keberlakuannya secara permanen (tahrim).
Jenis pernikahan yang dibiarkan keberlakuannya adalah nikah al-ba’ulah jenis monogami.
Adapun poligami liar dimodifikasi dengan cara membatasi jumlahnya maksimal 4 istri.
Pembatasan 4 istri menurut Wahbah al- Zuhaili lebih disebabkan kaitannya dengan sikap proporsional (keadilan) dan penggiliran.
Artinya, bahwa secara lahir suami akan bisa bersikap proporsional jika wanita yang dinikahinya tidak lebih dari empat.
Selain itu juga terkait dengan pembagian waktu/menggilir dengan pengaturan mingguan dalam satu bulan.
Sedangkan jenis pernikahan yang lain dihapus pemberlakuannya secara permanen sampai hari kiamat.
Untuk kasus nikah mut’ah (dalam istilah sekarang sering disebut “nikah kontrak”) penghapusannya dilakukan melalui empat tahapan.
Pertama, di awal-awal Islam/dalam masa transisi dari Jahiliah ke Islam, nikah mut’ah masih dibolehkan. Namun kebolehannya hanya berlaku dalam konteks perang.
Kedua, pada saat perang Khaibar, nikah mut’ah diharamkan. Hal ini dilakukan oleh Nabi Muhammad sebagai sebuah kontrol terhadap umat Islam karena pada saat perang tersebut, mereka mendapatkan banyak tawanan para perempuan dan ghanimah. Kondisi ini dimanfaatkan oleh Nabi untuk melarang praktik nikah mut’ah.
Ketiga, nikah mut’ah dibolehkan kembali ketika terjadi perang Authas. Namun kebolehannya hanya dibatasi tiga hari. Hal ini dilakukan Nabi karena beliau mengetahui adanya sebagian sahabat yang melakukan nikah mut’ah dengan perempuan-perempuan non-Muslim.
Keempat, pasca perang Authas, nikah mut’ah diharamkan kebelakuannya sampai hari kiamat.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul