Liputan6.com, Gaza - Di unit perawatan intensif Rumah Sakit Martir Al-Aqsa, seorang bocah laki-laki menatap pamannya.
"Jus," kata dia.
Advertisement
Pamannya dari pihak ibu, Ibrahim Abu Amsheh, menurutinya, mencondongkan tubuh ke depan untuk memasukkan sedotan ke dalam mulut keponakannya itu dengan hati-hati.
Itu adalah satu dari sedikit kata-kata yang diucapkan oleh anak bernama, Ahmad Ibrahim Shabat (3), sejak dia kehilangan kakinya akibat serangan udara Israel pada Senin (13/11/2023).
Ibrahim menuturkan bahwa Ahmad tidak sepenuhnya menyadari apa yang terjadi padanya.
"Dia tidak tahu dia kehilangan kakinya," kata pria 28 tahun itu, seperti dilansir Al Jazeera, Minggu (20/11). "Dia terus meminta untuk jalan-jalan di luar."
"Dia sangat kesakitan dan rumah sakit hanya menyediakan acamol (parasetamol), yang Anda konsumsi jika Anda sakit kepala, bukan jika Anda kehilangan kedua kaki Anda."
Ahmad adalah salah satu korban awal serangan Israel di Jalur Gaza pada 7 Oktober. Rumah keluarganya di Kota Beit Hanoon, Gaza utara, menjadi sasaran langsung serangan udara Israel pada hari itu, menewaskan seluruh keluarganya.
"Saya menelepon rumah saudara perempuan saya Diana dan dia memberi tahu saya bahwa mereka bersiap-siap untuk berangkat," kenang Ibrahim. "Segera setelah saya menutup telepon, kami mendengar bahwa rumahnya menjadi sasaran, menewaskan mereka semua. Orang tua Ahmad, kakak laki-lakinya Muhammad, kakek neneknya, paman-paman dan bibi-bibinya. Semua tewas."
Ketika Ibrahim pergi ke Beit Hanoon untuk menguburkan keluarganya, dia mengetahui dari tetangganya bahwa Ahmad telah dibawa ke Rumah Sakit Indonesia di Gaza dalam keadaan hidup.
"Kekuatan ledakannya melemparkan dia ke udara dan mendarat di salah satu halaman tetangga," ungkap Ibrahim. "Saya membawanya kembali ke Sheikh Radwan, tempat saya mengungsi bersama keluarga saya."
Sehari kemudian, mereka terpaksa pindah lagi, setelah sebuah rumah di sebelah tempat mereka menginap dibom. Karena ketakutan, mereka mencoba berlindung di sekolah yang dikelola PBB di lingkungan al-Nasr, namun mereka hanya menghabiskan satu malam di sana sebelum mengungsi untuk ketiga kalinya.
"Pagi itu, militer Israel menjatuhkan selebaran kepada kami yang mengatakan bahwa sekolah itu tidak aman dan kami harus mengungsi," tutur Ibrahim. "Jadi, kami mengungsi ke sekolah PBB lainnya bernama Abu Oreiban di kamp pengungsi Nuseirat."
Kisah Ahmad menarik banyak perhatian di media sosial.
"Saya patah hati sepanjang hari karena Ahmad Shabat. Serangan udara Israel menghantam dia, orang tuanya, dan keempat saudara kandungnya. Dia selamat, mereka tidak. Kemudian mereka menghantam dia dan kerabat ayahnya. Dia selamat, mereka tidak. Kemudian mereka menghantam dia dan pamannya. Dia selamat, pamannya tidak," tulis pemilik akun X alias Twitter @Tarek_Younis_
Kehilangan Paman
Ahmad dan keluarga pamannya menghabiskan satu bulan di Sekolah Abu Oreiban dan dia menjadi sangat dekat dengan seorang pamannya yang lain, Saleh, yang merupakan adik Ibrahim.
"Dia sangat dekat dengan Saleh dan serangan demi serangan membuat mereka semakin dekat," ujar Ibrahim. "Bila dia terbangun sambil berteriak maka hanya Saleh yang membuat dia terhibur."
Kelak, Saleh akan menjadi wali sahnya. Namun, semua berubah pada 13 November.
Ahmad ingin pergi ke toko bersama Saleh. Saat mereka berjalan keluar sekolah, serangkaian ledakan mengguncang area tersebut. Ibrahim, yang berada di sekolah, termasuk di antara mereka yang membantu semua orang berlarian ke dalam kelas agar tidak terkena pecahan peluru, hingga dia menyadari bahwa saudara laki-laki dan keponakannya berada di luar sekolah.
"Saya berlari keluar untuk melihat apa yang terjadi pada Ahmad dan Saleh dan saya melihat Ahmad tergeletak di tanah tanpa kaki," kata Ibrahim. "Saya menggendongnya dan berlari sampai ambulans menjemput kami."
Di Rumah Sakit al-Awda, para dokter memberikan perawatan dasar kepada Ahmad sebelum merujuknya ke Al-Aqsa. Ibrahim mencari saudaranya di antara yang terluka, tetapi tidak dapat menemukannya. Dengan rasa takut yang memuncak dalam dirinya, dia bertanya di mana letak kamar mayat.
"Saya membuka kain kafan dari tubuh yang paling dekat dengan saya dan melihat wajahnya," katanya sambil mulai menangis pelan.
"Saleh masih muda, baru 26 tahun. Dia baru saja bertunangan. Kami menguburkannya saat matahari terbenam."
Advertisement
Perjuangan Panjang Ahmad
Di rumah sakit di Deir el-Balah, Ahmad menghabiskan tiga jam di meja operasi. Ahmad Ismail al-Zayyan, ahli bedah ortopedi yang menangani kasusnya, mengatakan dia tiba dalam kondisi yang sangat buruk, dengan kedua kakinya terputus dari atas lutut.
"Kami telah melihat dari kasus-kasus anak-anak yang diamputasi lainnya, beberapa di antaranya selamat dan lainnya tidak, bahwa jenis senjata yang digunakan Israel telah melelehkan tulang dan jaringan ikat," tutur al-Zayyan.
Dalam jangka panjang, masalah yang dialami Ahmad masih jauh dari selesai, ungkap al-Zayyan, dan perjuangan terbesarnya mungkin adalah mendapatkan prostetik yang tepat.
"Keseimbangannya juga akan terpengaruh karena amputasinya berada di atas lutut," jelas al-Zayyan. "Dan dia akan mengalami atrofi otot karena tubuhnya masih harus melakukan banyak pertumbuhan."
Al-Zayyan berharap Ahmad akan mendapatkan perawatan yang dia butuhkan di luar Gaza.
"Kami tidak memiliki sumber daya untuk komponen prostetik di Jalur Gaza," katanya. "Kami juga kekurangan instrumen bedah dan anestesi."
Sakit dan Ketakutan
Di ICU, Ahmad berbaring telentang, sisa kakinya dibalut dan dibentangkan. Ibrahim, yang juga memiliki seorang putri berusia satu setengah tahun, memperhatikannya dengan penuh kasih sayang.
"Anak ini telah mengalami banyak hal," kata Ibrahim. "Ahmad selamat, tapi praktis dia seperti mayat hidup. Dia hampir tidak punya waktu untuk pulih dari serangan terhadap rumahnya yang menewaskan keluarganya."
Ahmad, sebut Ibrahim, adalah anak nakal dan suka bermain, tapi sekarang dia diliputi rasa sakit dan ketakutan. Dia biasa menanyakan ibunya, namun sekarang tidak lagi.
"Kami memberitahunya bahwa ibunya sangat mencintainya dan dia ada di surga sekarang," kata Ibrahim, dengan berurai air mata.
"Saya tidak ingin siapapun mengalami apa yang telah kami lalui."
Ibrahim kelak akan membesarkan Ahmad sebagai anaknya sendiri, berharap bocah itu dapat menjalani kehidupan normal.
"Dia baru saja mulai bersekolah," ujar Ibrahim.
"Saya tahu dia tidak akan menjadi anak laki-laki yang sama seperti sebelum semua ini dimulai, tapi saya hanya ingin dia menjalani kehidupan senormal mungkin. Saya mohon kepada siapa saja yang bisa membantu kami memberinya prostetik agar dia bisa hidup seperti anak-anak lainnya."
Lebih dari 11.000 warga Palestina tewas di Gaza akibat serangan keji Israel sejak 7 Oktober, mayoritas adalah anak-anak dan perempuan. Adapun korban jiwa akibat serangan Hamas ke Israel pada hari yang sama mencatat setidaknya 1.200 kematian dan lebih dari 200 orang disandera.
Advertisement