Liputan6.com, Jakarta - Kasus demam berdarah dengue (DBD) masih menjadi tantangan bagi sektor kesehatan dunia, tak terkecuali Indonesia. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2019 menyebutkan infeksi dengue merupakan masalah kesehatan global dengan estimasi kejadian sekitar 390 juta orang setiap tahunnya.
Sementara data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI menunjukkan, jumlah kasus dengue mencapai 131.265 pada 2022. Sebanyak 40 persen dari total kasus tersebut adalah anak-anak usia 0-14 tahun. Sedangkan jumlah kematian akibat infeksi virus dengue mencapai 1.135 kasus dengan 73 persen terjadi pada anak usia 0-14 tahun.
Advertisement
Untuk mengatasi tantangan tersebut, Kemenkes tidak hanya fokus pada langkah mengobati melainkan juga upaya pencegahan. Upaya tersebut dilakukan dengan mengembangkan inovasi pengendalian kasus demam berdarah dengue nasional, salah satunya melalui teknologi Wolbachia. Teknologi ini memanfaatkan bakteri Wolbachia yang secara alami terdapat di sejumlah serangga dan dicermati dapat melumpuhkan virus dengue.
Direktur Pencegahan Penyakit Menular Langsung dr Imran Pambudi pada Februari 2023 mengatakan, teknologi Wolbachia sudah dilaksanakan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Hasilnya, teknologi tersebut mampu menurunkan angka kejadian infeksi dengue hingga 77,1 persen dan tingkat rawat inap sebesar 82,6 persen.
"Teknologi Wolbachia akan menjadi pelengkap dalam program pengendalian DBD yang sudah ada, seperti PSN 3M Plus, Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik (G1R1J), dan Pokjanal Dengue (DBD)," ucap Imran pada waktu itu.
Dalam kesempatan yang sama, Imran mengatakan, ancaman kasus dengue terbanyak terjadi di kota-kota besar, karenanya inovasi teknologi Wolbachia bakal difokuskan di wilayah perkotaan.
Menuai Kontroversi
Namun, upaya penanggulangan DBD dengan teknologi Wolbachia menuai kontroversi di kalangan publik serta peneliti. Bahkan kontroversi tersebut pun berkembang menjadi disinformasi yang beredar di media sosial serta penolakan masyarakat.
Beberapa konten terkait program pelepasan nyamuk Wolbachia menyebut, penyebaran nyamuk itu sebagai senjata pembunuh dari tokoh dunia dalam misi mengurangi populasi dunia. Ada pula konten lain yang mengatakan, gigitan nyamuk yang telah diberikan bakteri Wolbachia bisa menyebabkan kerusakan otak. Dan ada pula yang menganggap penyebaran nyamuk Wolbachia tak ubahnya menjadikan rakyat Indonesia sebagai bahan eksperimen terhadap efek nyamuk tersebut.
Ada Penolakan Teknologi Wolbachia di Masyarakat
Kontroversi seputar nyamuk Wolbachia mewarnai jagad media sosial. Ajakan penolakan terhadap pelepasan nyamuk Wolbachia mencuat pada pertengahan November 2023. Bahkan kekhawatiran akan dampak yang ditimbulkan nyamuk ber-Wolbachia itu berimbas pada ditundanya pelepasan nyamuk di Denpasar, Bali yang rencananya akan dilakukan pada 13 November 2023.
Pj Gubernur Bali Sang Made Mahendra Jaya sepakat menunda penyebaran nyamuk Wolbachia karena masih ada pro dan kontra dari masyarakat Bali.
"Kalau masih ada masyarakat yang tidak menerima, berarti kita tunda dulu," ujar Mahendra di Denpasar, Senin (13/11), dilansir Antara.
Menurutnya, metode penyebaran nyamuk Wolbachia untuk menekan kasus DBD masih perlu sosialisasi dari pemrakarsa sehingga semua masyarakat bisa menerima.
Sebelumnya, Semarang menjadi kota pertama yang mengaplikasikan inovasi teknologi Wolbachia dalam mengatasi demam berdarah dengue (DBD).
"Semarang sebenarnya berada di posisi tengah pada kasus DBD terbanyak dari ke lima kota tersebut. Namun, Semarang ini paling maju dan paling berani Walikota dan timnya. Walaupun di tengah-tengah tapi lebih progresif, jadi Semarang ini menjadi kota pertama untuk implentasi projek ini," kata Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin di Semarang pada 30 Mei 2023.
Setelah Semarang, implementasi teknologi Wolbachia disusul oleh Jakarta Barat, Bandung, Kupang dan Bontang dalam Penyelenggaraan Pilot Project Penanggulangan Dengue.
Program pencegahan DBD lewat metode ini dilakukan oleh Kemenkes dengan mmbagikan ember berisi telur nyamuk yang sudah ada bakteri Wolbachia ke warga setempat. Telur-telur nyamuk Wolbachia itu didistribusikan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta yang diternakan oleh program studi Entomologi, Fakultas Biologi. Pemeliharaan telur nyamuk dilakukan oleh warga selama dua minggu hingga menetas. Selain telur nyamuk, warga juga akan dibagikan pakannya.
Advertisement
Tanggapan Peneliti dan Tokoh Kesehatan
Sejumlah peneliti dan tokoh publik pun ikut menanggapi langkah pengendalian kasus DB melalui teknologi Wolbachia. Peneliti Global Health Security Dicky Budiman menyoroti teknologi Wolbachia terhadap nyamuk Aedes Aegypti pembawa virus dengue terdapat risiko tertentu. Seiring dengan pemanasan global, suhu panas justru akan mengurangi intensitas Wolbachia.
"Sebagai contoh dalam Wolbachia. Efek pemanasan global pada riset suatu paper, bahwa suhu panas ini untuk wolbachia sebagai media blocking patogen menurun. Karena suhu panas, masa inkubasi nyamuk virus dari menggigit itu menjadi lebih pendek," jelas Dicky kepada Health Liputan6.com, ditulis Rabu, 15 November 2023.
"Ini yang akhirnya enggak kekejar sama Wolbachia. Terus suhu yang semakin panas mengurangi intensitas Wolbachia. Yang kita tahu, jumlah Wolbachia dibutuhkan cukup banyak untuk efektif membloking replikasi virus."
Dicky menekankan, penerapan Wolbachia di Indonesia sebaiknya tidak hanya melibatkan satu keahlian saja, melainkan berbagai cabang keilmuwan atau multibackground.
"Mekanisme memonitor, mencermati riset ini dan risiko mutasi meningkat sehingga ini tidak sepenuhnya bisa diandalkan," imbuhnya.
"Itu sebabnya, dalam konteks public health, 3M untuk DBD, yakni menguras, menutup, mendaur ulang itu tetap harus jadi strategi utama dijalankan selain hal seperti ini (Wolbachia), yang masih menunggu 20-30 tahun lagi ke depan."
Sementara mantan Direktur Penyakit Menular WHO, Prof Tjandra Yoga Aditama yang juga mengamati upaya Kemenkes menekan kasus DBD menyebut, program tersebut tidak bisa berdiri sendiri. Menurutnya, penanggulangan virus Dengue dengan teknologi Wolbachia pada nyamuk perlu menjadi bagian dari program yang lebih besar.
"Program ini tentu tidak bisa berdiri sendiri," ujar Tjandra pada 1 Juni 2023.
Tjandra berpendapat, penggunaan nyamuk Wolbachia untuk mencegah penyebaran virus Dengue akan lebih efektif jika menjadi bagian dari pendekatan pengendalian nyamuk terintegrasi.
"Penggunaan Wolbachia ini akan jadi lebih efektif kalau ditetapkan sebagai bagian dari suatu program lengkap yang disebut sebagai 'integrated mosquito management (IMM) approach' atau pendekatan pengendalian nyamuk terintegrasi."
Pendekatan tersebut meliputi lima hal yakni surveilans nyamuk, menggunakan larvasida dan insektisida, mengedukasi masyarakat mengenai cara mengendalikan nyamuk di sekitar tempat tinggal, membersihkan tempat tinggal, serta memonitor bagaimana dampak program yang ada terhadap jumlah nyamuk yang beredar.
Tjandra menjelaskan, pelepasan nyamuk dengan Wolbachia, menurut Center of Disease Control and Prevention (CDC) memang bukan bertujuan menghentikan terjadinya ledakan (outbreak) penyakit.
"Penggunaan nyamuk dengan Wolbachia di lingkungan pemukiman selama beberapa bulan diharapkan dapat mengurangi jumlah jenis nyamuk tertentu, misalnya Aedes Aegypti."
Terbaru, Tjandra juga menyoroti kasus dengue belum tampak jelas menurun di Singapura meski proyek Wolbachia di negara tersebut telah dimulai sejak 2016. Pada awal September 2023, Badan Lingkungan Hidup (National Environmental Agency – NEA) Singapura memberi peringatan bahwa negara itu mungkin akan mengalami kenaikan kasus lagi. Laporan mingguannya menunjukkan beberapa ratus kasus, dengan lebih dari 50 klaster aktif yang terjadi.
Di sisi lain, di beberapa daerah penelitian Wolbachia seperti Tampines, Yishun dan Choa Chu Kang, populasi nyamuk Aedes aegypti turun sampai 98 persen dan kasus dengue sampai 88 persen, sesuai penjelasan dari anggota Parlemen Baey Yam Ken.
Tjandra menilai, akan lebih baik jika ada perkembangan pendapat resmi WHO tentang Wolbachia di tahun 2023 ini.
Dinilai Usik Kedaulatan Bangsa
Adapun Menteri Kesehatan RI periode 2004—2009, Siti Fadilah Supari, mempertanyakan penyebaran jutaan nyamuk wolbachia untuk mencegah Demam Berdarah Dengue (DBD). Upaya itu dinilai mengusik kedaulatan bangsa Indonesia lantaran belum tahu bagaimana dampak penyebaran Wolbachia ke depannya.
Diketahui, penelitian mengenai teknologi Wobachia dilakukan oleh World Mosquito Program (WWP) di Yogyakarta dengan dukungan filantropi Yayasan Tahija. Penelitian melalui fase persiapan dan pelepasan Aedes Aegypti ber-wolbachia dalam skala terbatas pada rentang 2011-2015.
"Ini adalah program World Mosquito, bukan program kita tapi program filantropi. Nah, dari luar mereka peneliti, tapi yang diteliti adalah kita sendiri. Ini yang membuat ketidaknyamanan menurut saya sebagai bangsa yang berdaulat," kata Siti Fadilah saat jumpa pers di Jakarta pada Minggu, 12 November 2023.
Untuk penelitian penanganan DBD di Indonesia bagi Siti Fadilah tidak masalah dilakukan oleh siapa pun. Namun, ia menekankan, hal itu haruslah menggunakan cara yang lebih transparan.
"Kita tidak menentang penelitian (DBD) dilakukan di luar oleh siapa pun, baik World Mosquito Program (WWP). Tetapi kalau mereka menggunakan masyarakat kita, seharusnya mereka menggunakan cara yang lebih transparan," pungkasnya.
Advertisement
Teknologi Wolbachia Telah Diteliti 11 Tahun
Menurut Peneliti Pusat kedokteran Tropis Universitas Gadjah Mada sekaligus anggota peneliti World Mosquito Program (WMP) Yogyakarta Riris Andono Ahmad, pro kontra terkait penyebaran jutaan telur nyamuk Wolbachia adalah hal yang lumrah.
Karena program yang sama di Yogyakarta sebelumnya juga sempat menuai penolakan, tapi setelah adanya sosialisasi dan dukungan pemerintah kabupaten dan kota akhirnya program tersebut bisa terlaksana.
Menurut Riris pelepasaan jutaan telur nyamuk Wolbachia di populasi nyamuk Aedes Aegypti ini untuk menekan penularan virus dengue atau Demam Berdarah Dengue. Karena pelepasan nyamuk ber-Wolbachia jantan dan betina dalam waktu sekitar 6 bulan ini supaya sebagian besar nyamuk di populasi memiliki Wolbachia.
“Diharapkan nantinya dapat menurunkan penularan virus dengue” katanya Jumat (17/11/2023).
Peneliti yang akrab disapa Doni itu juga mengakui maraknya disinformasi yang beredar di masyarakat.
"Saat ini memang banyak disinformasi yang sangat sistematik, mengkaitkan dengan nyamuk bionik, mengkaitkan dengan penyakit yang lain yang tak berkaitan sama sekali itu merupakan disinformasi yang sistematik," kata Doni, panggilan akrab Riris dalam dalam media briefing daring bersama Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pada Senin, 20 November 2023.
Doni, menjelaskan, setiap penyakit yang berbasis vektor memiliki vektornya sendiri-sendiri. Artinya, satu vektor tidak bisa memengaruhi penyakit yang bukan disebabkan oleh vektor yang sama. Selain itu, Doni mengatakan masyarakat tak perlu khawatir terhadap gigitan nyamuk ber-wolbachia.
Efek gigitan nyamuk seperti gatal dan bentol-bentol tetap ada, tapi si nyamuk tidak menularkan virus dengue. Ini karena penambahan bakteri Wolbachia yang ada pada nyamuk membuat virus dengue tidak bereplikasi.
Dalam kesempatan berbeda, Prof dr Adi Utarini MSc, MPH, PhD dari Universitas Gadjah Mada (UGM) mengatakan, teknologi Wolbachia bukan modifikasi genetika yang dilakukan di laboratorium.
"Bakteri Wolbachia maupun nyamuk sebagai inangnya bukanlah organisme hasil dari modifikasi genetik yang dilakukan di laboratorium. Secara materi genetik baik dari nyamuk maupun bakteri Wolbachia yang digunakan, identik dengan organisme yang ditemukan di alam,” ungkapnya.
Wolbachia sendiri adalah bakteri yang hanya dapat hidup di dalam tubuh serangga, termasuk nyamuk. Wolbachia tidak dapat bertahan hidup di luar sel tubuh serangga dan tidak bisa mereplikasi diri tanpa bantuan serangga inangnya. Ini merupakan sifat alami dari bakteri Wolbachia dan secara alami bakteri tersebut ditemukan di dalam tubuh nyamuk Aedes Albopictus.
“Wolbachia secara alami terdapat pada lebih dari 50 persen serangga, dan mempunyai sifat sebagai simbion (tidak berdampak negatif) pada inangnya. Selain itu, analisis risiko yang telah dilakukan oleh 20 ilmuwan independen di Indonesia menyimpulkan bahwa risiko dampak buruk terhadap manusia atau lingkungan dapat diabaikan,” lanjut akademisi yang karib disapa Prof Uut itu.
Efektivitas Wolbachia telah diteliti sejak 2011 yang dilakukan oleh WMP di Yogyakarta dengan dukungan filantropi yayasan Tahija. Berdasarkan penelitian tersebut, Wolbachia ini dapat melumpuhkan virus dengue dalam tubuh nyamuk Aedes Aegypti.
Sehingga virus dengue tidak akan menular ke dalam tubuh manusia. Bila, nyamuk Aedes Aegypti jantan berwolbachia kawin dengan Aedes Aegypti betina maka virus dengue pada nyamuk betina akan terblok. Sementera itu, bila yang berwolbachia itu nyamuk betina kawin dengan nyamuk jantan yang tidak berwolbachia maka seluruh telurnya akan mengandung Wolbachia.