Liputan6.com, Jakarta - Pakar Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Internet Development Institute, Salahuddin menyebutkan, literasi siber penting dimiliki oleh milenial dan generasi Z dalam menghadapi polarisasi politik menjelang pesta demokrasi Pemilu 2024.
Dengan keterampilan literasi siber, kedua generasi ini diharapkan mampu tetap berpikir kritis di tengah maraknya polarisasi politik di media sosial. Terlebih, 50 persen pemilih di DKI Jakarta berasal dari kedua generasi tersebut.
Advertisement
“Pemilih kita (DKI Jakarta) dalam pemilu yang akan datang setengahnya adalah gen Z dan milenial,” ujar Salahuddin dikutip dari Antara, Senin (20/11/2023).
Untuk itu, Salahuddin mengimbau agar milenial dan gen Z bersikap lebih kritis dengan lebih teliti, cermat, dan lebih mengelaborasi lagi apa yang disampaikan oleh para politisi selama masa Pemilihan Umum 2024.
“Kritis itu maksudnya lebih teliti, lebih cermat, lebih mendalami, lebih mengelaborasi apa yang disampaikan oleh para politisi,” imbuhnya.
Menurutnya, milenial dan generasi Z lebih mudah diajak untuk mendalami literasi siber sebab kehidupan sosial kedua generasi tersebut lebih dekat dengan ruang siber.
“Jadi, generasi milenial atau gen Z lebih mudah untuk diajak mendalami literasi siber. Kehidupan sosial di dunia siber, mereka lebih mendalam, lebih menguasai,” jelas Salahuddin.
Dengan pemahaman mengenai ruang siber yang lebih mendalam tersebut, Salahuddin berharap, generasi Z dan milenial dapat memanfaatkannya untuk mendalami literasi siber. Kemudian, kemampuan literasi siber tersebut dapat menjadi sarana untuk mendeteksi kebenaran dalam polarisasi politik yang terjadi.
“Sehingga mereka punya radar di dalam dirinya untuk bisa mendeteksi, ‘oh ini enggak bener nih’. Jadi, konten-konten yang direproduksi dengan cara negatif, dengan cara ‘misleading’ (menyesatkan), dengan cara memutarbalikkan fakta dapat dilihat secara jernih dengan modal literasi siber,” tegasnya.
Potensi Hoaks Berkurang, Masyarakat Waspada Konten Berpotensi Misleading
Salahuddin menambahkan, meskipun potensi hoaks maupun ujaran kebencian diprakirakan berkurang dalam pemilu mendatang. Namun, masyarakat harus tetap waspada terhadap konten-konten yang disampaikan secara sopan, tetapi dalam kondisi tertentu berpotensi mengarahkan persepsi.
“Meskipun nanti tidak melalui cara-cara penyebaran hoaks dan ujaran kebencian atau yang sejenisnya, praktik untuk mengarahkan persepsi ini masih akan terjadi,” ujarnya.
Penyebaran konten-konten tersebut dilakukan melalui media mainstream dan media alternatif. “Bikin podcast-podcast gitu ya. Itu kan masih tetap dilakukan,” imbuhnya.
Selanjutnya, ia menjelaskan, selama masih ada persepsi tertentu yang ingin diciptakan, opini yang dibuat di tengah masyarakat berpotensi “misleading” atau tidak sesuai dengan kebenaran.
“Nah itu yang berbahaya, karena masyarakat nanti teralihkan pandangannya,” jelasnya.
Oleh sebab itu, generasi Z dan milenial perlu memahami literasi siber untuk bisa secara jernih membaca isu dan opini yang berkembang. Dengan literasi siber, masyarakat akan lebih mencermati, mengelaborasi, serta mendalami apa yang disampaikan oleh para politisi.
“Apakah itu sesuai, apakah janji-janjinya itu memang dapat diterima. Nah itu melalui literasi siber,” tegas Salahuddin.
Advertisement
Tentang Cek Fakta Liputan6.com
Melawan hoaks sama saja melawan pembodohan. Itu yang mendasari kami membuat Kanal Cek Fakta Liputan6.com pada 2018 dan hingga kini aktif memberikan literasi media pada masyarakat luas.
Sejak 2 Juli 2018, Cek Fakta Liputan6.com bergabung dalam International Fact Checking Network (IFCN) dan menjadi partner Facebook. Kami juga bagian dari inisiatif cekfakta.com. Kerja sama dengan pihak manapun, tak akan mempengaruhi independensi kami.
Jika Anda memiliki informasi seputar hoaks yang ingin kami telusuri dan verifikasi, silahkan menyampaikan di email cekfakta.liputan6@kly.id.
Ingin lebih cepat mendapat jawaban? Hubungi Chatbot WhatsApp Liputan6 Cek Fakta di 0811-9787-670 atau klik tautan berikut ini.