Liputan6.com, Jakarta - Juru Bicara TPN Ganjar-Mahfud, Aris Setiawan Yodi menyampaikan program 1 keluarga miskin 1 sarjana yang ada dalam dokumen visi misi pasangan nomor urut 3 itu merupakan program paling konkret sekaligus paling realistis dari sisi anggaran dan capaian dalam memutus rantai kemiskinan.
"Dibanding program pendidikan paslon capres-cawapres lainnya, program ini sangat realistis," katanya, dalam keterangan persnya, Senin (20/11/2023).
Advertisement
Menurutnya program pendidikan yang ada di paslon lain seperti pemberian makan siang gratis dinilai tidak realistis dan tidak mampu menjawab persoalan kemiskinan.
"Melalui Program 1 Keluarga Miskin 1 Sarjana ini Mas Ganjar dan Pak Mahfud menjawab semua mimpi seorang ibu, semua orang tua yang berasal dari keluarga miskin atau tidak mampu untuk dapat melihat anaknya menjadi sarjana," ujarnya.
Ketika sang anak berhasil menjadi sarjana, lanjutnya kelak ia akan mampu memperbaiki kualitas hidupnya, keluarganya, dan mengangkat derajat serta martabat keluarganya.
Ia menyebut ide terkait program 1 keluarga miskin 1 sarjana ini muncul atas refleksi dan pengalaman hidup Ganjar Pranowo yang terlahir dari keluarga yang sangat sederhana.
"Ia menjalani dan memahami betul, ketika ia berhasil menjadi sarjana pertama di keluarganya, ia memiliki kesempatan yang lebih baik untuk meningkatkan kesejahteraan keluarganya, sekaligus derajat dan martabat keluarganya," jelas Aris.
Program Prioritas
Aris mengatakan dirinya sepakat jika program 1 keluarga miskin 1 sarjana ini dijadikan program prioritas, karena secara pribadi ia juga punya pengalaman terkait itu.
"Menjadi sarjana membuka peluang setiap orang mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, ayah saya yang lulusan SMA hanya bekerja di bengkel dan sampai saya lulus kuliah, gajinya paling tinggi Rp3 juta per bulan, (di bawah UMR Jakarta) maka dia perlu berutang sana sini untuk membiaya kuliah saya," jelasnya.
Menurut Aris, dari segi anggaran dan sasaran, program 1 keluarga miskin 1 sarjana sangat realistis dan konkret. Dari segi anggaran misalnya, jika sasarannya keluarga miskin, saat ini ada sekitar 10 juta keluarga miskin yang tercatat oleh pemerintah sebagai penerima PKH.
Sementara itu, jumlah penerima Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah yang dikhususkan untuk keluarga miskin pada 2023 jumlahnya hanya 994,3 ribu mahasiswa (tidak sampai 1 juta mahasiswa).
Dengan asumsi 10 juta keluarga miskin itu semuanya memiliki anak yang memenuhi syarat usia untuk kuliah, artinya di tahun 2023 negara hanya menyekolahkan tidak sampai 10 persen mahasiswa yang berasal dari keluarga miskin.
"Kita hitung-hitungan saja, kalau ada 10 juta mahasiswa dari keluarga miskin yang akan dibiayai negara sampai sarjana, biaya hidup per bulan Rp1 juta/bulan x 12 bulan = Rp12 juta/ tahun," sebutnya.
Kemudian Rp 12juta per tahun dikali 10 juta mahasiswa, maka jumlah anggaran yang dibutuhkan sekitar Rp120 triliun per tahun. Jumlah itu kalau ditambahkan dengan biaya UKT Rp8 juta per 2 semester dikali 10 juta mahasiswa yakni Rp80 triliun.
"Jadi, Rp120 trilliun ditambah Rp80 triliun, total anggaran yang dibutuhkan negara untuk menyekolahkan minimal 1 anak (mahasiswa) dari seluruh keluarga miskin yang ada di Indonesia," kata Aris.
Jumlah anggaran tersebut dinilai Aris masih sangat realistis jika melihat alokasi APBN 2023 untuk pos pendidikan yang mencapai Rp600 triliun. Dari jumlah itu, Rp237,1 triliun adalah alokasi untuk beasiswa PIP (SD-SMA) dan KIP Kuliah, serta tunjangan guru non PNS.
Adapun, Rp305,6 triliun alokasi itu untuk Bantuan Operasional Sekolah (BOS) ke daerah untuk sekolah hingga PAUD. Sementara Rp69,5 triliun sisanya untuk dana abadi pendidikan, penelitian, perguruan tinggi, dan kebudayaan.
Advertisement