Tony Wenas: Produksi Tembaga Freeport Setiap Tahun Berkontribusi Rp 60 Triliun

Meski pernah mengumumkan akan pensiun ketika umurnya mencapai 55 tahun, Tony tak kuasa menolak saat terpilih menjadi Presiden Direktur PTFI.

oleh Rinaldo diperbarui 23 Nov 2023, 17:06 WIB
Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Tony Wenas. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Fasih melantunkan lagu-lagu asing sejak balita serta bercita-cita menjadi penyanyi, Tony Wenas kini justru menduduki posisi sebagai Presiden Direktur PT Freeport Indonesia (PTFI). Ini bukan sesuatu yang tiba-tiba, melainkan lanjutan perjalanan karier yang memang sudah dia geluti sejak lama, selain bermusik dan mengolah suara.

Lahir di Kawanua, Sulawesi Utara pada 8 April 1962, pria bernama lengkap Clayton Allen Wenas ini memulai pendidikan di SDN Menteng 02 Pagi dan berlanjut ke SMPK 3 BPK Penabur Jakarta serta Kolese Kanisius. Untuk pendidikan tinggi, Tony memilih menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Saat berada di kampus inilah Tony mewujudkan keinginannya sebagai penyanyi dan musisi. Melalui grup band Solid '80 yang dia dirikan bersama teman seangkatan di FHUI, Tony didapuk sebagai vokalis dan kibordis. Hebatnya, meski Solid '80 sibuk konser, nilai hasil kuliahnya tetap bagus. Bahkan, dia menjadi lulusan terbaik FHUI tahun 1985.

Namun, karena saat itu profesi sebagai musisi belum menjanjikan, Tony memilih bekerja sebagai profesional. Rekam jejak karier profesional Tony dimulai saat ia menjabat Senior Manager Legal PT Pasifik Satelit Nusantara. Pada tahun 1994-1999 ia bekerja sebagai Corporate Legal Manager PT Bakrie Communications Corporation.

Jabatan lain yang pernah dipegang Tony adalah Executive General Manager Intrepid Mines Limited dari tahun 2012 hingga 2014. Ia juga pernah menjadi President & CEO PT Vale Indonesia Tbk dari tahun 2010 hingga 2011. Pada tahun 2014, Tony kembali dipercaya memegang jabatan sebagai Presiden PT Berkat Resources Indonesia.

Selain itu, Tony juga menduduki posisi kepemimpinan di berbagai organisasi, termasuk Indonesian Mining Association (IMA), Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), The Nature Conservancy (TNC), Indonesian Business Council for Sustainable Development (IBCSD), Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), dan Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) (2010-2012).

Sembari terus menjalani karier, Tony juga menyelesaikan program eksekutif di Sloan School of Management di Massachusetts Institute of Technology (MIT), Amerika Serikat, pada tahun 2010.

Pada tahun 2015-2017, Tony menjabat sebagai Presiden Direktur PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) dan Managing Director Asia Pacific Resources International Limited (APRIL Group).

Tak melulu hanya bekerja kantoran, Tony tak lupa dengan hobi bermusik serta menggelar konser. Bahkan, sejak tahun 2016, Tony juga menjabat sebagai Bendahara Umum di organisasi Persatuan Artis, Penyanyi, dan Pemusik Republik Indonesia (PAPPRI) yang kemudian sejak Maret 2022 didapuk sebagai Ketua Umum PAPPRI.

Sementara itu, sejak Maret 2017 hingga Desember 2018, Tony diangkat sebagai Direktur dan Wakil Presiden Eksekutif PTFI. Meski pernah mengumumkan akan pensiun ketika umurnya mencapai 55 tahun, Tony tak kuasa menolak saat terpilih menjadi Presiden Direktur PTFI yang dia jabat hingga sekarang.

Sejumlah gebrakan dilakukan Tony yang dianggap berhasil serta mempengaruhi keberlangsungan operasional pada PTFI. Gebrakan itu antara lain penggunaan kereta listrik untuk mengangkut bijih emas dan tembaga sebagai upaya untuk mengurangi emisi yang dihasilkan oleh truk-truk besar pengangkut bijih emas dan tembaga.

Kemudian, menjadikan PTFI sebagai salah satu tambang tembaga dan emas bawah tanah di dunia, di mana Tony berhasil membuktikan bahwa tambang tersebut dapat menghasilkan 3 juta ton konsentrat setiap tahunnya.

Tony pula yang merintis pembangunan smelter di Jawa Timur, di mana setelah sekian lama akhirnya Indonesia dapat mengelola lebih banyak hasil tambangnya sendiri.

Atas semua capaian itu, Tony meraih sejumlah penghargaan yang antara lain Indonesia Best CEO 2021 dari SWA dan Dunamis, Indonesia Best CEO Awards 2021 "Employees' Choice" dari The Iconomics, Best CEO kategori Private Sectors versi Obsession Awards 2016 dan Most Admired CEO in Agribusiness Sector dari Warta Ekonomi.

Di sisi lain, posisi sebagai Presdir PTFI tak membuat Tony melupakan profesi dia lainnya sebagai musisi. Bahkan, selain Solid '80, Tony juga tergabung dalam beberapa grup musik lainnya. Tony antara lain tergabung dalam grup band Symphony yang dibentuknya bersama-sama Fariz RM dan kawan-kawan.

Tony juga tergabung dalam kuartet The Gentlemen, bersama Deddy Dhukun, Fariz RM, dan Mus Mujiono. Pada Januari 2021, grup band ini merilis single berjudul Sudah Waktunya.

Lantas, apalagi gebrakan yang akan dilakukan Tony di PT Freeport? Berikut petikan wawancara Pemimpin Redaksi Liputan6.com Irna Gustiawati dengan Tony Wenas dalam program Bincang Liputan6.

 

 


Perencanaan Menutup saat Membuka Tambang

Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Tony Wenas. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Pak Tony selalu terlihat segar dan bersemangat, olahraganya apa, Pak?

Olahraga saya cuma sepeda statis setiap hari 30 menit cukup. Yang penting peredaran darah jadi lebih lancar. Denyut nadi juga naik sampai 100-110 gitu, sudah. Menurut saya sih cukup itu aja.

Itu penting untuk kebugaran ya, karena selain memimpin PT Freeport Indonesia kan Bapak juga sibuk di banyak tempat seperti Kadin?

Iya ada Kadin, ada organisasi gereja, ada beberapa lah. Di IMA juga, Indonesian Mining Association.

Kalau terkait Freeport, saat ini banyak pihak yang sangat peduli dengan masalah-masalah lingkungan, environment, social, governance (ESG). Sebagai role model perusahaan tambang di Indonesia, seperti apa Freeport mengelola ESG-nya?

Pertama mungkin saya memulai dengan kami meyakini bahwa tidak ada perusahaan yang bisa berhasil di tengah lingkungan dan masyarakat yang gagal. Jadi semua perencanaan tambang kita itu meng-include enviromental dan social. Nih G-nya nanti kita bicaranya.

Jadi setiap perencanaan tambang yang kita lakukan itu harus langsung memperhatikan lingkungan dan juga sosial. Dari mulai perencanaannya, bukan kemudian di tengah jalan ya. Dan ada begitu banyak program yang akhirnya kita lakukan karena perencanaan tambang itu termasuk juga pada saat penutupan tambangnya.

Jadi dari saat kita mulai menambang, kita sudah membuat rencana menutup tambangnya seperti apa. Yaitu soal lingkungannya bagaimana, soal sosialnya bagaimana. Dan semua ini kita terjemahkan ke dalam business plan kita, ke dalam work plan kita, yang juga mencakup produksi di satu sisi, environmental management-nya, social investment-nya akan seperti apa. Itu selalu berjalan bersama-sama.

Dan inilah yang kita terapkan dalam membuat business plan kita. Kita bikin business plan-nya kan ada long-term investment plan, yaitu yang sampai 2041 kemudian dibagi ke dalam yang tahunan. Jadi semuanya ini memperhatikan faktor environmental dan dan social.

Kenapa? Karena memang itu adalah suatu inklusivitas, maksudnya adalah kita meng-include itu ke dalam, tadi saya sampaikan. Karena ini adalah suatu keniscayaan, bukan oh karena diharuskan oleh peraturan atau apa, nggak, ini adalah satu kebutuhan.

Bukan karena aturan perusahaan memerintahkan seperti itu?

Ya itu juga, bukan karena peraturannya pemerintah, bukan hanya karena peraturan perusahaan, nggak. Karena itu menjadi suatu kebutuhan buat kita. Tadi saya sampaikan di bagian awal, there's no company that can prevail in a community and environment that fail.

Semua investor kita menanyakan, oke soal financial performance seperti apa, tapi ESG selalu ditanyakan. Kami belum lama ini, tahun lalu itu roadshow untuk menerbitkan bond, global bond, itu 80 persen pertanyaan yang diajukan oleh investor itu adalah soal ESG.

Bukan performanya ya?

Performance-nya mereka sudah tahulah, ya. Freeport bagaimana cost-nya kita bisa tekan rendah dan lain sebagainya. Tapi pertanyaannya lebih kepada environmental, social, and governance. Dan hasilnya adalah pada saat kita terbitkan global bond itu tahun lalu di bulan April, itu laku dalam waktu sekejap. Jadi mereka, international investor itu percaya terhadap pengelolaan ESG kita.

Jadi sekarang ESG itu adalah kunci untuk menarik investor lebih percaya, boleh dikatakan begitu, Pak?

Tentu, kalau kita punya program ESG yang baik itu rate coupon-nya bisa lebih rendah. Jadi lebih menguntungkan buat kita. Tetapi bukan hanya dari segi itu saja, bagian besar atau bagian intinya adalah bahwa itu sudah menjadi bagian dari perencanaan tambang kita adalah faktor enviromental dan social.

Sementara soal G-nya, governance, ini juga suatu hal yang kita terapkan dari awal. Semua karyawan kita setiap tahun itu harus training ulang, sertifikasi ulang, yang namanya principle of business conduct, dan juga Foreign Corruption Practices Act, dan undang-undang anti-korupsi Indonesia. Jadi semuanya harus sertifikasi ulang.

Dan setiap ada pengeluaran-pengeluaran yang kira-kira akan red flag, itu harus ada prosedur khusus untuk mendapatkan persetujuan-persetujuan dengan disertai bukti-bukti. Dan kami juga punya divisi khusus yang menangani soal hak asasi manusia. Grievance Mechanism, masuk di governance, Grievance Mechanism kita terbuka mau mengadu soal apa saja.

Soal performance contractor kita juga silakan. Kita punya open channel juga untuk mengajukan keluhan atau dan lain sebagainya. Dan ini semuanya harus ditindaklanjuti dan dibuatkan laporannya. Jadi bukan hanya silakan mengadu habis itu nggak ada follow up, nggak, semuanya harus di follow up. Dan ini sudah kita lakukan dari dulu dan memang menjadi bagian dari internalized dalam business plan kita.

Dan itu efektif, Pak?

Ya efektif. Termasuk juga kesetaraan gender, termasuk juga harassment, itu ada faktor parameter-parameternya dan ada training khususnya untuk itu, untuk seluruh karyawan tanpa kecuali.


Membina UMKM dan Menjaga Ekosistem

Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Tony Wenas. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Kenapa investor sangat concern pada ESG?

Pertama ini kan adalah perusahan tambang. Perusahaan tambang itu ekstraktif ya. Jadi mengambil sesuatu dari bumi kemudian melakukan pengolahan dan selanjutnya pemurnian, tentu pasti punya dampak lingkungan. Pasti terjadi perubahan bentang alam.

Jadi memang fokus dari investor terutama di sektor sumber daya alam ini adalah faktor enviromental-nya dan juga social-nya. Karena pasti kan di tempat yang terpencil, ya. Kalau mungkin banking adanya di kota Jakarta atau kota besar di gedung yang tinggi, masyarakat di sekitarnya hampir nggak ada, yang ada hanya bangunan-bangunan barangkali, jadi agak berbeda mungkin.

Tapi ini kan perusahaan tambang ada di tempat terpencil, ada masyarakat, pasti di situ ada perubahan bentang alamnya yang dilakukan sehingga memang faktor ESG dan karena sifatnya terpencil juga G-nya juga diperhatikan pasti, maksudnya disoroti lah.

Tuntutan investor soal ESG ini apakah baru muncul dalam 5 tahun terakhir ataukah seperti apa, Pak?

Namanya kan macam-macamn ya, ada yang namanya sustainable development, kemudian profit, people, planet, kemudian menjadi Clean Development Mechanism, CDM. Habis itu jadi sustainable development. Habis itu kemudian sekarang namanya ada SDG, Sustainable Development Goals. Kemudian ESG, Environmental, Social and Governance.

Tapi pada dasarnya kan itu semua hal yang sama, yaitu bagaimana kita kemudian harus betul-betul care for the community and for the environment. Dan kalau di Freeport ini sudah kita lakukan sejak lama, walaupun demand untuk hal tersebut belum terlalu banyak tapi sudah kita lakukan.

Kenapa? Karena kita mempercayainya bahwa ini memang suatu kebutuhan, bahwa harus dilakukan perencanaan dengan memasukkan faktor environmental dan social di dalam perencanaan tambang itu sendiri.

Kemudian soal divisi pengaduan HAM di PT Freeport, ini hal yang baru ya, Pak?

Ya mungkin, saya nggak tahu di perusahaan lain, tapi sepanjang saya sudah pernah kerja di 10 perusahaan multinasional besar, cuma di Freeport yang punya divisi yang menangani hak asasi manusia.

Kenapa harus ada divisi khusus?

Karena memang itu adalah bagian dari kita mengadopsi yang namanya Voluntary Principles of Security and Human Rights. Kita mengadopsi itu sehingga kita harus terapkan dalam perusahaan kita. Dan juga kami menjadi member dari ICMM, International Council for Metals and Minerals, yaitu suatu institusi yang mempromosikan dan mengharuskan seluruh member-nya itu melakukan good mining practices, responsible mining, termasuk ESG-nya juga.

Dan kami juga diaudit oleh Copper Mark, lembaga sertifikasi internasional yang about responsible mining dan kita juga sudah mendapat certification dari Copper Mark.

Jadi memang ini adalah bagian dari seluruh business plan kita, bahwa kita memang harus tetap memperhatikan itu. Bukan hanya karena tuntutan investor, tapi memang we have to do it right. Kita harus melakukannya dengan cara yang benar, gitu loh.

Sudah banyak yang dilakukan Freeport, mulai dari pendidikan, edukasi perempuan, dan lain-lain. Apakah akan ada hal-hal baru yang juga dilakukan atau mempertahankan yang sudah ada?

Jadi kita terus melakukan improvement. Improvement atas hal-hal kalau kita bicara Sustainable Development Goals, dari 17 SDG items itu, 16 kita lakukan di area-area soal manpower, soal environmental management, social investment, dan lain sebaginya.

Dan kalau dikatakan apalagi yang baru kita melakukan, tentu saja program kita mengenai environmental pasti akan ada yang baru nanti. Teknologi akan berkembang. Untuk sosial juga perlu ada program baru.

Jadi bukan hanya oh program kita yang kesehatan, pendidikan nih sudah kita lanjut saja, gitu. Lanjut, lanjut terus. Itu perlu berlanjut, tapi kan perlu ada hal-hal baru lagi. Apalagi nih yang kita mau bikin buat masyarakat? How to make the people, the community, itu bisa lebih sustain kalau kita sudah nggak ada di situ kan.

Yang jadi isu besar sekarang?

Jadi kayak sekarang, ada 200 UMKM yang kita bina dengan revenue sudah lebih dari Rp250 miliar. UMKM yang kita bina sudah bisa, sebagian sudah bisa bankable bersama dengan BRI. Apakah kita cukup sampai di situ? Ya kan nggak cukup. Nggak cukup sampai di situ, kita harus lakukan lebih lagi. Apalagi nanti ke depannya.

Minimal mereka naik kelas ya, Pak?

Scaling up. Scaling up di UMKM ya kan, dia harus scale up. Oke, itu satu hal mengenai bisnis. Oke bisnis apa lagi? Sekarang sudah ada kakao yang kita buatkan untuk mereka. Ada perkebunan sagu, perkebunan kelapa, kemudian kopi juga ada.

Apakah sudah cukup di situ? Ya nggak kan. Perlu ada mungkin yang lain lagi yang belum kita pikirkan. Karena masyarakat ini kan dinamis, sangat dinamis, jadi the needs-nya mungkin berubah, 5-10 tahun ke depan mungkin akan berubah dan kita kan harus adaptif juga dengan perubahan atau peningkatan dari kebutuhan masyarakat. Bagaimana mereka bisa lebih sustain nantinya.

Demikian juga program-program environmental. Nanti mungkin ada ide baru lagi, ada teknologi baru lagi supaya lingkungannya menjadi lebih baik lagi. Gimana caranya supaya ekosistemnya lebih terjaga lagi? Bagaimana caranya supaya spesies-spesies yang baru itu bisa muncul lebih banyak lagi?

Dari area reklamasi kita yang 1.000 hektare ini bagaimana caranya pohonnya itu bisa lebih banyak lagi, contohnya. Bagaimana kita kemudian menciptakan satu komposisi pupuk yang tepat untuk daerah bekas lahan tailing supaya unsur haranya akan tercipta lebih cepat lagi. Jadi hal-hal ini akan sangat dinamis dan selalu kita akan melakukan inovasi, improvement lah ke depannya.

 


Cara Freeport Mencapai Target Emisi Karbon 30%

Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Tony Wenas. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Apakah semua yang dilakukan itu juga dimaksudkan untuk menuju target Freeport terkait emisi karbon 30%?

Sekarang komitmen kita 30% di tahun 2030 dan sekarang ini sudah tercapai sekitar 23% lah, kira-kira. Tinggal sedikit lagi.

Jangan-jangan sebelum 2030 sudah tercapai ya, Pak?

Mudah-mudahan. Dan mungkin kita bisa karena kita sedang merencanakan membuat suatu studi agar bisa lebih tinggi dari 30% di tahun 2030.

Apa sebenarnya yang dilakukan Freeport sampai bisa menurunkan emisi karbon?

Yang signifikan sekali adalah tadinya kami melakukan penambangan di tambang terbuka, Grasberg Open Pit, tambang terbuka itu penambangannya dilakukan atau pengangkutan bijih itu dilakukan dengan truk-truk yang rodanya empat meter itu loh.

Dan itu bahan bakarnya adalah diesel, dan itu ibaratnya kalau mobil itu kan 1/10 atau 1/15 itu, 1 liter 15 kilometer. Kalau ini kan terbalik, kayaknya 15 liter 1 kilometer gitu. Kira-kira, bukan seperti itu, tapi mengonsumsi banyak sekali diesel. Banyak sekali solar yang dikonsumsi dan emisinya tentu juga besar karena itu dipergunakan hampir 24 jam ya.

Dan sekarang ini kami dengan tambang bawah tanah, kami mengangkut bijih itu 110 ribu ton satu hari, di tambang Grasberg Block Caving itu menggunakan kereta tanpa awak berbahan bakar listrik. Jadi emisinya kan hampir nol ya. Nol lah ya. Jadi itu kereta listrik yang tentu saja emisinya nol.

Jadi kalau kita bandingkan, 110 ribu ton bijih itu, kalau seandainya menggunakan truk-truk itu mungkin ada sekitar 70, 50 sampai 70 truk besar yang beroperasi 24 jam satu hari.

Selain itu kita sekarang membangun yang namanya PLTMG, Pembangkit Listrik Tenaga Minyak dan Gas. Yang kalau pakai minyaknya dia pakai minyak B30 atau nanti mungkin B40 yang lebih renewable dan juga atau menggunakan gas LNG yang sangat minim emisinya.

Dan itu kalau kita bandingkan dengan base kita, base case-nya dari tahun 2018 terjadi penurunan dan tentu saja kita juga akan mengganti PLTU batubara kita dengan LNG, Combined Cycle LNG Power Plant. Tapi itu masih dalam perencanaan. Kalau itu sudah terjadi nanti rencana tahun 2027 itu akan lebih banyak lagi mengurangi emisi karbon.

Bisa melebihi 30% mungkin?

Bisa melebihi 30%. Saya belum berani komitmen berapa, tapi akan lebih dari 30%.

Pilihannya LNG apakah karena di sana lebih gampang mendapatkan LNG atau apa?

Itu karena memang lebih bersih, jauh lebih bersih.

Kalau air susah ya, Pak?

Air agak jauh dan bukan hanya jauh, tapi untuk pengembangannya atau development-nya itu memakan waktu yang cukup lama ya. Sementara kan kita terbatas pada izin sampai 2041, jadi tidak ekonomis bagi kami karena kita terbatas sampai izin 2041. Kalau kita sampai 2061 mungkin kita udah bangun itu PLTA.


Siapkan Rp 7 Triliun untuk Penutupan Tambang

Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Tony Wenas. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sekarang soal material sisa-sisa penambangan, apa yang dilakukan Freeport?

Jadi begini, setiap perusahaan tambang sebenarnya diwajibkan untuk membuat yang namanya dokumen penutupan tambang. Mau itu tambang yang 50 hektare ada di Kalimantan, itu dia harus punya juga yang namanya dokumen penutupan tambang. Yaitu bagaimana tambang begitu selesai mau jadi apa ini? Mau jadi kolam penampungan air, atau mau ditanami kembali, dan lain sebagainya. Termasuk persoalan masyarakatnya seperti apa. Dan kami sudah memiliki dokumen itu.

Kalau 2041 selesai itu kita daerah tailing yang sudah tidak aktif itu akan kita jadikan kawasan perkebunan yang produktif. Karena di tailing, tailing itu tidak berbahaya, tidak beracun, tapi volumenya besar. Dan kalau dilewati tailing itu karena butirannya sangat halus, jadi tumbuhan itu sementara akan mati karena dia nggak bisa bernapas.

Tapi setelah sekian waktu dengan suksesi alami, bahkan tanpa campur tangan manusia, itu dalam waktu 10 tahun dia sudah menjadi hutan muda kembali. Dan dalam waktu 15-20 tahun dia sudah jadi hutan rill hutan.

Dan seluruh area tailing akan kita tanami kembali dan area bekas tambang, tambang terbuka Grasberg, juga sudah dibuat slope stability-nya, kestabilan lerengnya, dan sudah ditanami kembali dengan tumbuhan-tumbuhan pionir. Itu sekitar hampir 500 hektare di tambang terbuka Grasberg kita sudah tanami kembali.

Yang bekas tailing sudah lebih dari 1.000 hektare yang sudah tidak aktif kita jadikan hutan. Dan ada juga kita tanami manggrove ya, bakau, sudah lebih dari 500 hektare yang sudah kita tanami mangrove baru. Dan komitmen kita sampai dengan 2041 tuh 10.000 hektare.

Dan itu menyerap karbon banyak sekali. Manggrove tuh menyerap karbon jauh lebih banyak daripada pohon biasa. Dan itu adalah bagian dari program kita ya, bagaimana nanti setelah kami berakhir di tahun 2041, tambangnya kita tutup, peralatan-peralatan semua kita bawa, tapi lahan-lahan bekas tambang itu kita hijaukan kembali, bekas tailing terutama.

Selain dihijaukan, apa lagi yang bisa dilakukan di area bekas tambang?

Banyak sekali yang bisa dilakukan. Mau dijadikan sekolah tambang juga bisa. Kenapa tidak? Ini tambang Grasberg itu tambang terbuka nomor dua terbesar di dunia. Sekolah tambang itu kan menjadi tempat praktik yang sangat bagus ya. Kalau mau melihat struktur batuan yang ada di situ dan lain sebagainya.

Bisa juga untuk penampungan air, tempat wisata, itu kan indah sekali di situ dan sudah ada akses jalan. Jadi nggak akan dibiarkan begitu saja, itu sesuai dengan dokumen penutupan tambang. Itu kita sudah siapkan biayanya sekitar Rp 7 triliun.

Dan itu sudah dilakukan mulai sekarang?

Belum, tapi kita sudah sisihkan uang itu untuk supaya menjadi jaminan bahwa itu kan akan dilaksanakan. Karena sekarang tambangnya kan masih aktif, tailingnya juga masih aktif, jadi belum bisa dilakukan. Tapi dokumennya itu sudah siap perencanaannya seperti apa.

Walaupun memang masih dinamis karena nanti kan kita harus konsultasi juga dengan pemerintah daerah setempat pada saatnya nanti ini mau dibikin apa nih? Oh mau bikin tempat wisata oke, kita bisa bantu dengan biaya yang ada dari kami itu dijadikan tempat wisata.

Benar, karena itu masih berproduksi dan belum akan habis ya, Pak?

Iya nggak habis. Malah bisa lebih lama lagi. Dengan cadangan yang sekarang saja bisa sampai 2050 kok.

Nah, mengenai suhu geopolitik yang sedang tidak baik-baik saja, apa ada pengaruhnya terhadap Freeport?

Kalau terhadap produksi kita tidak terpengaruh. Pada saat awal perang Rusia-Ukraina, ada lah 1-2 item dari project smelter kita yang belinya dari Ukraina. Ya tapi langsung segera kita switch ke tempat lain pembeliannya. Jadi kalau perang itu sendiri tidak berpengaruh pada kami.

Tapi terus terang ya dan saya yakin seluruh karyawan di PTFI juga prihatin terhadap perang yang terjadi, baik Rusia-Ukraina maupun yang Israel dengan Hamas. Ini soal kemanusiaan saja. Dan kalau soal geopolitiknya, soal harga, harga mineral ya. Kalau harga tembaga itu kan memang murni supply and demand. Kalau suplainya melimpah, demand-nya standar saja, ya pasti harganya turun karena barangnya lebih banyak.

Kalau kondisi sekarang seperti apa?

Kalau kondisi sekarang memang cenderungnya harga, gini, saya tidak mau mengatakan soal harga, karena harga nggak ada yang tahu. Tapi intinya adalah menurut beberapa studi permintaan akan tembaga itu akan meningkat ke depannya. Sudah meningkat dan akan lebih meningkat lagi.

Kenapa? Karena 70% tambang di dunia, tembaga dunia itu digunakan untuk menghantar listrik. Dan sekarang orang sedang berlomba-lomba untuk membangun pembangkit listrik yang terbarukan.

Apakah itu solar panel, apakah itu tenaga air, apakah itu tenaga angin yang membutuhkan tembaga jauh lebih banyak. Contohlah 1 megawatt PLT Bayu ya, tenaga angin itu membutuhkan sekitar 5 ton tembaga. Dan kalau solar panel, itu membutuhkan sekitar 5 ton tembaga setiap megawatt. Wind farm atau PLT Bayu itu membutuhkan kira-kira satu setengah ton tembaga setiap megawatt. Kendaraan listrik itu membutuhkan tembaga empat kali lebih banyak daripada kendaraan konvensional.

Jadi, electric vehicle battery itu membutuhkan tembaga sekitar mungkin 10 persenan lah. Jadi ini membuat permintan tembaga akan sangat meningkat di dunia, sementara belum ada tambang-tambang tembaga yang sizeable, yang ada rencana untuk produksi dalam waktu dekat ke depan. Jadi kalau melihat dari situ harusnya tembaga mempunyai proses yang cemerlang.

Optimis ya ke depan?

Sangat optimis. Dan kalau untuk produk emasnya ya memang emas faktornya antara supply dan demand juga ada, ada soal geopolitik, soal perang, kemudian soal nilai tukar US dollar, itu juga mempengaruhi harga emas. Tapi kalau dilihat dari trendnya ya ini sekarang lagi cukup tinggi ya, dan kelihatannya ke depan masih akan bertahan tinggi lah.

Mudah-mudahan, untuk kemaslahatan bangsa dan negara juga. Semakin bagus harganya, semakin besar kontribusi kita. Kalau harga tembaga 4 dolar per pound, harga emas 1.800, dengan level produksi kita sekarang itu kita bisa contribute kepada negara sekitar Rp60 triliun per tahun.


Cerita Terbang ke Tembagapura saat Pandemi Melanda

Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Tony Wenas. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Bagaimana cara Bapak mengelola perusahaan yang sangat besar ini sehingga tetap solid dan mencapai target?

Pertama berdoa terus ya. Dan yang kedua adalah kita harus menciptakan tim yang baik, tim yang betul-betul bekerja sama. Dan saya selalu mempercayai apa yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara. Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.

Jadi terkadang kita ada di depan untuk menarik gerbong ini, terkadang kita ada di tengah-tengah untuk bersama-sama dengan gerbong ini, atau dari belakang mendorong. Jadi kombinasi dari itu dengan komunikasi, sistem dan cara komunikasi yang tepat, itu harusnya bisa membentuk satu tim yang solid.

Kalau tim yang solid berkomunikasi yang baik satu sama lain, harusnya business plan yang kita buat bersama-sama itu juga bisa menjadi lebih mudah untuk dicapai. Dan saya selalu bilang bahwa semua itu harus didasari dengan disiplin, jujur, fokus dan tulus.

Tulus itu adalah kita mengerjakan sesuatu untuk kepentingan pekerjaan itu sendiri, bukan untuk kepentingan supaya saya dapat promosi jabatan atau supaya dapat bonus akhir tahun. Driver-nya musti untuk kepentingan pekerjaan itu sendiri. Itu namanya tulus.

Levelnya paling tinggi dibanding disiplin?

Yes, kalau saya bilang disebut paling akhir, tapi level yang paling tinggi. Dan kebetulan di saat yang bersamaan kami punya corporate value yang namanya Sincere, yaitu singkatan dari Safety, Integrity, Respect, Commitment, and Exellence. Sincere artinya tulus.

Saya mempercayai ketulusan itu penting. Saya ibaratnya justru mengajak tim saya untuk bagaimana kita melakukan pekerjaan itu dengan ketulusan. Bukan karena saya digaji, kemudian saya kerjakan ini. Ya kita digaji, we'll follow you of course. Tapi kita mengerjakan sesuatu itu adalah untuk supaya kerjaan itu selesai untuk pekerjaan itu sendiri.

Tapi apakah memang berbeda budaya kerja di perusahaan multinasional dibandingkan perusahaan lokal?

Freeport memang perusahaan multinasional tapi kan kita yang mengelola, 98% orang Indonesia. Pimpinannya juga orang Indonesia. Tapi ya itu, faktor disiplin dan lain sebagainya ya. Dan ini penting. Dan saya selalu mengatakan, menjalankan perusahaan, terutama perusahaan besar, it's about managing people, bukan managing equipment anymore.

Jadi betul-betul people yang di-manage. Dan saya sering mengatakan bahwa me-manage perusahaan atau me-manage people in the company itu seperti me-manage satu orkestra atau satu simfoni, di mana masing-masing punya keahlian.

Kita sebagai conductor, sebagai pimpinan, bisa mengatur siapa yang harus di depan sekali ini, siapa yang harus lebih pelan, siapa yang harus lebih keras, siapa yang dominan. Apakah pemain biolanya dominan, apakah main pianonya dominan, itu kan harus diatur supaya tercipta harmoni yang indah.

Jadi bukan center-nya di Bapak?

Bukan center di saya. Terkadang saya harus ada di tengah-tengah gitu kan, yang di depan biarlah yang lainnya. Kadang saya harus ada di belakang untuk mendorong supaya ke depan. Terkadang saya memang harus di depan untuk betul-betul menarik. Jadi memang itulah the art of management.

Apakah ada tradisi Bapak berbicara dengan seluruh karyawan, Pak?

Ada. Kita ada beberapa kesempatan townhall, karyawan kita 30.000 ya, jadi kan nggak semuanya bisa hadir dalam satu kesempatan. Dalam satu kesempatan mungkin sekitar 1.000 atau 3.000, tergantung dari levelnya seperti apa. Kalau di ridge camp tempat para operator itu mungkin sekali ada acara itu bisa 5.000, 7.000. Tapi saya selalu hadir.

Saya menyapa mereka, hadir bersama-sama. Karena menurut saya gini, your presence is also important. Terkadang orang bilang, ngapain gua ke sana? Gua toh nggak ngapa-ngapain. Nggak apa-apa. Walaupun nggak ngapa-ngapain, tapi dengan keberadaan saja di sana sudah banyak membantu.

Saya begitu Covid-19 melanda Tembagapura, itu Tembagapura kita isolasi selama empat bulan lebih. Orang luar nggak boleh masuk, yang di dalam nggak boleh keluar. Kalau yang di dalam mau keluar, nggak ada jaminan dia bisa balik lagi. Karena nggak boleh masuk lagi, kan gitu.

Begitu mulai dibolehkan dibuka, saya hari itu juga langsung terbang ke Tembagapura, di tengah situasi Covid yang lagi mengganas, karena saya harus berada bersama-sama dengan mereka. Meski dengan protokol kesehatan yang ketat, dengan vitamin ekstra. Betul-betul pakai masker, cuci tangan dan lain sebagainya, saya datang ke sana.

Teman-teman di sana nggak percaya begitu saya bilang saya mau datang ke sana, dan saya datangin. Walaupun tidak semua karyawan, tapi saya tahu bahwa saya hadir di sana. I'm with you guys, gitu. Itu penting, penting sekali.

 


Tantangan Selalu Ada, yang Penting Tetap Optimis

Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Tony Wenas. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Apa tantangan paling sulit dalam mengelola Freeport?

Tantangan banyak, tapi yang paling sulit itu tantangan alam, ini kalau di Freeport kenyataannya tantangan alam di tambang lah, di sumber daya alam. Mengelola sumber daya alam itu pasti tantangan alamnya besar karena bergantung juga kepada alam, dan mengambil juga hasil dari alam. Jadi tantangannya besar.

Kalau di daerah Papua ada tantangan soal security atau keamanan gitu ya. Tapi, itu adalah tantangan yang it's given. Tapi terkadang kita dalam mengelola perusahaan itu juga banyak tantangan-tantangan lain yang munculnya tiba-tiba saja.

Saya selalu berusaha melihat satu tantangan itu dengan optimistik gitu loh, bahwa ini harus bisa selesai. Ada persoalan harus bisa selesai. Saya selalu melihat gelas itu setengah penuh. Kalau ada yang setengah airnya bukan setengah kosong. Kalau setengah kosong nanti dia akan habis. Kalau setengah penuh dia berarti nantinya akan penuh.

Kalau kita lihat setengah kosong ya berarti kita sudah mulai menginternalisasi ke diri kita bahwa ah ini bentar lagi dia habis. Tapi kalau kita melihatnya sebagai setengah penuh, kita akan terpancing gimana caranya supaya ini jadi penuh cepet gitu.

Jadi think positive lah, think positive. Dan juga jangan suka menggerutu atau berkeluh-kesah. Tanya saja sama yang lain-lainnya staf saya, saya suka berkeluh kesah apa nggak?

Kenapa itu, Pak?

Kalau kita berkeluh kesah atau menggerutu saya berpendapat bahwa yang pertama kali mendengar gerutuan kita tuh siapa? Telinga kita sendiri. Telinga kita akan mendengar gerutuan kita dan itu akan mempengaruhi diri kita.

Kalau telinga kita ini juga mendengar hal yang menyenangkan, itu juga akan mempengaruhi diri kita menjadi lebih senang. Misalnya, oh ini Pak ada persoalan ini. Gampanglah itu nanti kita pikirkan. Kan telinga kita dengar. Oh, ini persoalan gampang, nanti kita pikirkan jalan keluarnya.

Tapi kalau, wah gimana ya caranya? Aduh pusing nih, aduh bisa tutup nih perusahaan. Telinga kita juga dengar kan? Dan itu akan mempengaruhi cara berpikir kita. Jadi saya selalu mencoba untuk tidak overreacted atas segala.

Oke, ada persoalan. Oke, persoalannya apa? Tolong ceritakan. Oke, mari kita carikan jalan keluarnya. Ya nanti mulai dia merenungkan dengan berpikir, gimana ya ini? Tapi kan dengan suasana hati yang yang positif.

Saya suka bilang kalau kamu setiap kali masuk ke dalam ruangan, lihat ruangan oh kok ruangannya gelap ya. Masuk lagi ke ruangan sebelah, kok ruangan ini gelap juga? Oh ternyata kita pakai kacamata hitam. Kita buka kacamatanya kita, oh iya terang.

Jadi kalau kita melihatnya dengan kacamata hitam, ya jadinya gelap semuanya. Jadi bukan ruangannya yang gelap, tapi kita yang melihatnya secara gelap.

Bapak kan musisi, jadi vokalis dan main kibor, apakah jiwa seni itu juga ikut mempengaruhi gaya leadership Bapak?

Yang pasti ya mempengaruhi. Pasti ada pengaruhnya. Jiwa seni itu pasti ada pengaruhnya. Dan juga kan saya sudah melewati banyak hal ya, tadi yang saya katakan fokus, jujur, disiplin, tulus.

Dulunya saya nggak begitu. Ya kan dulunya nggak begitu. Masih mudanya ya nggak begitu, nggak disiplin juga lah kita. Tapi kan saya belajar dari situ. Oh ternyata kalau nggak disiplin ya kamu akan kalah sama yang lain-lainnya.

Bagaimana proses transformasinya?

Jadi saya sudah melewati masa-masa itu, sudah melewati sehingga itu kemudian membentuk pola pikir saya, membentuk cara berpikir saya, dan membentuk what I trust in gitu loh. Saya come up dengan 4 tadi, disiplin, fokus, jujur, tulus.

Dan tadi saya berusaha melihat sesuatu dengan lebih positif. Kalau orang bilang lu nggak stres lu kerja? Mungkin saya juga stres, tapi apakah saya harus mengatakan, oh gua stres nih. Setiap kali saya bilang gua stres nih, diri saya bilang, oh ya lu lagi stres.

Jadi kalau kita, saya yakin kalau ini saya yakin sekali, kalau kita melihat sesuatu itu lebih positif, from the positive sight, the bright sight, karena lebih mudah mencarikan jalan keluarnya atas suatu permasalahan dan jangan pernah menghitung masalahmu, hitunglah berkatmu.

Terakhir, apa pesan Bapak buat Gen Z?

Saya yakin sekali bahwa Gen Z ini jauh lebih bagus dari kami-kami ini yang sudah uzur ya istilahnya, sudah senja. Dan begitu banyak tools yang bisa digunakan. Kalau saya dulu bikin masterpiece atau bikin skripsi gitu harus cari bukunya, harus ngumpulin duit untuk pergi ke luar negeri. Belinya di Singapura.

Saya ingat tuh saya mau bikin skripsi, saya harus beli buku di Singapura karena bukunya nggak ada di Indonesia. Sekarang apa pun juga ada di online, semuanya ada. Jadi berbahagialah kalian yang punya luxury seperti itu.

Pesan saya cuma satu, jangan pernah mau berhenti untuk belajar. Saya sampai dengan hari ini setiap hari masih berusaha untuk mencari sesuatu yang baru. Suatu pengetahuan yang baru, satu hal yang baru. Apa pun itu, soal makanan kah, soal ada tempat di ujung mana, atau apa pun juga itu. Selalu cari sesuatu yang baru. Kenapa? Karena kita nggak boleh berhenti belajar.

Saya juga belajar untuk menjadi seperti Gen Z, yaitu gimana caranya supaya kita bisa nggak terlu gaptek-gaptek amatlah gitu. Tapi menandingi Gen Z nggak mungkin juga karena itu sudah ibaratnya in your DNA sudah digital gitu kan? Kalau saya kan DNA-nya bukan digital, DNA-nya analog. Cuma kita pakai analog to digital converter.

Jadi kalau dalam dunia audio itu adalah untuk mengkonversi pemikiran analog menjadi digital, sehingga output-nya menjadi digital. Nah itu kami masih harus pakai namanya ADC, Analog to Digital Converter. Tapi kalau Gen Z sudah runs in the DNA, seperti itu. Jadi manfaatkanlah your luxury about that dan keep on learning new things.***

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya