Liputan6.com, Yogyakarta - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menargetkan eliminasi malaria tercapai pada 2030. Namun, sejumlah upaya yang telah dilakukan untuk memberantas malaria belum maksimal.
Dari data Kemenkes pada April 2023 lalu, jumlah kasus malaria tahun ini telah ditemukan sebanyak 55.525 kasus. Sementara pada tahun sebelumnya angka kasus malaria cukup tinggi di kawasan Provinsi Papua, Nusa Tenggara Timur, dan Papua Barat, angkanya mencapai 443.530
Dengan kasus malaria yang masih tinggi ini, dapat disimpulkan dikatakan bawah saat ini program yang dijalankan belum berjalan maksimal.
Ketua Divisi Penyakit Tropik Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI Erni Juwita Nelwan mengatakan, penyebab kurang maksimalnya program eliminasi malaria sebetulnya terkendala sejumlah hal, misalnya pasien malaria yang enggan menuntaskan pengobatan, hingga parasit yang dibawa nyamuk membuat penyakit kambuh terus menerus.
Baca Juga
Advertisement
Berikut masalah yang menyebabkan eliminasi malaria belum maksimal:
1. Pasien Malaria Tidak Menuntaskan Pengobatan
Menurut Erni Juwita Nelwan, pasien malaria idealnya mengoptimalkan dosis obat untuk mencegah kekambuhan selama 14 hari menggunakan obat primakuin.
Namun dalam prosesnya, pasien biasanya sudah merasa lebih baik secara kondisi setelah melewati hari ketiga atau keempat. Ini kerap membuat sang pasien memilih untuk tidak melanjutkan minum obat sesuai dosis yang telah ditentukan.
"Saya akui, kesulitan pasien melakukan pengobatan menggunakan obat primakuin itu lama, selama 14 hari harus konsisten minum itu. Artinya jika orang tidak ada gejala, obatnya tetap harus dilanjut tidak boleh stop. Kalau bosen dan stop obat bisa terjadi kekambuhan lagi," ujar Erni selepas acara kolaborasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dengan Oxford University Clinical Research Unit - Indonesia (OUCRU Indonesia) dalam rangka perayaan Do Research, Social Service, and Innovation (D’RoSSI) Appreciation Day, Selasa (21/11/2023) lalu.
Praktis, jika pasien malaria kambuh karena tidak disiplin menghabiskan dosis obat akan membuatnya kembali tercatat sebagai kasus baru alias menambah angka tingginya malaria di Indonesia.
Nyamuk dengan Parasit Plasmodium Vivax
2. Nyamuk dengan Parasit Plasmodium Vivax
Jenis parasit yang dibawa nyamuk anopheles di Indonesia ternyata cukup berbeda dengan nyamuk anopheles di Afrika. Ini pun membuat eliminasi malaria di Tanah Air menjadi sebuah tantangan yang lebih sulit.
Parasit itu adalah plasmodium vivax, parasit yang dapat menimbulkan kekambuhan yang berulang-ulang pada satu pasien. Sementara di Afrika kebanyakan nyamuknya membawa parasit plasmodium falciparum.
"Kalau di Indonesia, Malaria plasmodium falciparum dan plasmodium vivax itu hampir sama banyak. Ini sangat terkait dengan bagaimana parasitnya ini berkembang biak, dimana dia punya fase obat tidak bisa membunuh parasit secara 100 persen, sehingga tidak bisa diberikan obat khusus primakuin pada fase hipnozoit. Fase tidur si parasit dimana dia tidur di dalam hati tidak menyebabkan sakit infeksi, namun sewaktu-waktu dia bisa menyebabkan infeksi berulang," ujar Erni yang juga menjabat Konsultan Penyakit Tropic dan Infeksi di RS Abdi Waluyo itu.
3. Populasi Nyamuk yang Tak Terkontrol dan Perubahan Iklim
Nyamuk anopheles memang tidak di semua tempat ada. Mereka biasanya hidup di hutan dan rawa-rawa. Namun sampai saat ini populasinya masih terhitung tinggi sebab punya berbagai macam breeding phase yang berbeda-beda, hal inilah yang membuat sulit untuk dikontrol.
Selain itu, ada faktor perubahan iklim yang cukup ekstrim, banyak daerah yang melaporkan kasusnya mulai meningkat. Perubahan lingkungan ke arah yang makin panas akan membuat nyamuk lebih aktif untuk menggigit. Terlebih jika di dalam nyamuk ada parasit, maka lebih mudah parasit ini untuk menyebar.
Advertisement
Tetap Optimistis Target 2030 Tercapai
Kendati begitu, Erni mengaku optimistis target eliminasi malaria 2030 bisa dicapai pemerintah Indonesia. Perempuan kelahiran Jakarta, 5 September 1977 itu bilang kalau Kemenkes harus menetapkan deadline agar terpacu untuk mengejarnya.
Menurutnya, saat ini program tetap dalam jalur yang benar dan dilakukan perlahan tapi pasti. Ia juga menyinggung pemerintah bisa menangani pandemi Covid-19 dengan cepat, maka bukan tidak mungkin persoalan malaria juga bisa ditangani sama cepatnya.
"Tapi sebelumnya, harapan untuk Kementerian Kesehatan bisa memberikan edukasi kepada dokter lebih baik lagi soal malaria, dibuat suatu kelompok pekerja untuk penanganan kasus, penyediaan obat yang sampai tidak sulit diakses, kit pemeriksaan laboratorium mudah. Karena obatnya tidak bisa dibeli, yang bisa mengakses hanya pasien," ungkapnya.
Adapun saat ini Kemenkes sedang melakukan penelitian untuk memperpendek dosis minum obat pasien malaria, dari asalnya 14 hari bisa dipotong hingga 7 hari, kemudian dipotong hanya dengan 1 hari.
Katanya, saat ini obatnya sudah ada, yakni tafenoquine, namun belum bisa diedarkan karena harus melalui penelitian lebih dalam dan melalui uji klinis. Selain itu sedang dicarikan perizinan pengobatan yang lebih mudah.
Penulis: Taufiq Syarifudin