Liputan6.com, Jakarta Calon Presiden Ganjar Pranowo menyebut ada risiko ketika Indonesia melakukan transisi energi ke energi bersih atau energi baru terbarukan (EBT). Salah satunya menyasar pada roda bisnis di sektor energi.
Ganjar menekankan, pengusaha di sektor energi dengan kadar emisi yang tinggi bisa tergerus ketika menjalankan transisi energi. Hanya saja, hal itu bisa diantisipasi dengan rencana yang tepat.
Advertisement
"Kita akan melakukan transisi menuju ke kira-kira lingkungan yang lebih baik. Aspeknya banyak sekali, dan Ketika transisi ini akan lakukan pasti akan ada dampak, yang negatif kira-kira yang punya bisnis atau usaha itu sebelumnya ya mungkin jobless (kehilangan pekerjaan)," tuturnya dalam diskusi Rembuk Ide Transisi Energi Berkeadilan, di Jakarta, Kamis (23/11/2023).
Kehilangan pekerjaan ini bisa merujuk pada perusahaan yang tutup. Alhasil, tenaga kerja pun menurun. Namun, ada langkah yang bisa dilakukan.
Ganjar menegaskan, proses transisi energi ini tak akan mempengaruhi kehidupan usaha yang dijalankan sebelumnya. Salah satunya dengan adanya rencana untuk ikut beradaptasi.
"Tapi sebenarnya kalau dia kreatif, dia semacam membuat kurva kedua dalam bisnisnya, bahwa bisnisnya dikasih peringatan, 'kamu akan declined maka hari ini kau harus menyiapkan bisnismu yang kedua sehingga kamu bisa untuk survive'. Itu dari segi bisnisnya," paparnya.
Harus Adil
Kondisi serupa diungkap oleh Ketua Dewan Pembina The Habibie Center, Ilham Habibie. Dia menuturkan Indonesia menjadi pusat industri batu bara yang besar. Termasuk menjadi eksportir batu bara terbesar di dunia.
"Kita ini punya industri yang sangat besar, jadi kalau kita beralih ke industri yang non batu bara, banyak orang yang out of job. Itu yang harus kita perhatikan. Banyak provinsi yang PAD nya akan menurun sekali, bagaimana mereka?," kata dia.
"Nah ini harus ada keadilan dalam ekonomi yang menjadi jangan terlalu loser semua harus jadi winner," imbuh Ilham.
Kejar EBT 30 Persen di 2029
Calon Presiden Ganjar Pranowo membidik bauran energi baru terbarukan (EBT) bisa mencapai 25-30 persen di 2029 mendatang. Namun, target itu disebut cukup sulit untuk dikejar.
Target itu tertuang dalam visi-misi program nomor 6 Capres Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Disana tertuang poin satu; Pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) sebagai generator pembaharuan yang potensinya sekitar 3.700 GW secara bertahap untuk kebutuhan energi dalam negeri, sehingga porsi EBT di dalam bauran energi menjadi 25-30 persen hingga tahun 2029.
Menanggapi ambisi tersebut, Kepala Engineering Research and Innovation Center (ERIC) Fakultas Teknik UGM Prof Tumiran mengatakan target itu cukup sulit untuk dikejar. Apalagi, saat ini bauran EBT masih sekitar 12 persen.
"Saya terungat waktu menyusun KEN, Kebijakan Energi Nasional, itu target 2025 itu 23 persen itu bauran EBT kemudian 2050 (menjadi) 31 persen. Jadi untuk mencapai 25-30 persen di 2029 saya kira tingkat kesulitannya akan tinggi. Tapi memang sekarang ini baru 12 persen," tuturnya dalam diskusi Rembyk Ide Transisi Energi Berkelanjutan, di Jakarta, Kamis (23/11/2023).
Dia mengatakan, bauran EBT yang masih rendah saat ini bukan pada persoalaan kebijakan yang salah-benar. Tapi, perlu diupayakan untuk mendorong faktor kebutuhan listrik sebagai offtaker dari energi listrik yang dihasilkan, termasuk EBT.
Dia mencatat, sejak 2012-2023 peetumbuhan demand listrik masih dibawah pertumbuhan ekonomi. Termasuk juga serapan tenaga listrik dari industri-industri di dalam negeri.
"Ini bisa dibuktikan dengan data-data growth sektor industri kita yang konsumsi listrik. Sebenarnya kalau target kita konsumsi bisa capai 2.500 kWh perkapita di 2025, itu mungkin masalah EBT 23 persen bisa tercapai," papar Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) periode 2009-2014 dan 2014-2019 ini.
Advertisement
Genjot Kebutuhan Listrik
Lebih lanjut, Tumiran menegaskan, faktor utama yang harus dikejar bukan mengenai bauran EBT, tapi lebih dulu meningkatkan permintaan listrik. Jika sudah meningkat, alhasil kebutuhan atas produksi listrik semakin diperlukan.
"Jadi problem terbesar sebenarnya bagi para capres ini bukan bagaimana mengakselerasi EBT, bagaimana offtaker energi kita bisa growth. Kemudian industri kita bisa tumbuh," kata dia.
"EBT itu menjadi supporting kuat, menjadi driver ekonomi baru juga," imbuhnya.
Pesan penting lainnya, Tumiran menyoroti soal pertumbuhan EBT yang harus seiring dengan penciptaan ekonomi industri berbasis potensi lokal. Kemudian, berbasis pada kemampuan sumber daya manusia (SDM).
"Tapi sampai sekarang ini kan masih belum, belum digerakkan, basisnya masih basis impor, itu yang saya sedih, yang saya masih kurang setuju, tapi yang perlu kita dalami dari para capres itu bukan target bicaranya, tapi strategi mencapai target itu menjadi lebih penting," tuturnya.
Strategi
Setidaknya Tumiran mencatat ada 2 instrumen yang bisa diperhatikan guna berpihak pada pengembangan energi. Pertama, adalah penguatan SDM. Kedua, adalah membangun industri.
"Ini hal-hal yang tidak bisa dihundarkan, karena itu menyangkut investasi pembiayaan," ucapnya.
"Nah investasi pembiayaan harus hati-hati apalagi faktor loan, kalau loan, nanti impor semua, maka yang membayar adalah generasi di bawah kita, jadi memang perlu kebijakan-kebijakan yang disampaikan adalah strategi action mencapai target itu," pungkas Guru Besar Energi UGM ini.