Kominfo Jelaskan Aturan Baru Soal Pencemaran Nama Baik di Rancangan Revisi UU ITE

Kominfo menjelaskan lebih lanjut mengenai pasal pencemaran nama baik dalam rancangan revisi UU ITE.

oleh Giovani Dio Prasasti diperbarui 24 Nov 2023, 17:00 WIB
Banner Infografis Jokowi Usulkan DPR Revisi UU ITE, Hapus Pasal Karet? (Liputan6.com/Trieyasni)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memberikan rincian lebih lanjut mengenai Pasal Pencemaran Nama Baik, yang akan ada di rancangan perubahan kedua Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo, Semuel Abrijani Pangerapan menjelaskan, terdapat perubahan pada Pasal 27 ayat 3 di revisi UU ITE, atau kerap disebut sebagai pasal karet oleh masyarakat.

Menurut pria yang biasa disapa Semmy ini, pasal tersebut nantinya akan menjadi Pasal 27A.

"Mengenai pencemaran baik, jadi karena itu normanya berbeda dan kita sesuaikan dengan KUHP, itu kita ubah dan sesuaikan sesuai dengan KUHP," kata Semmy dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (24/11/2023).

Bunyinya: "Setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilakukan melalui sistem elektronik."

Semmy mengungkapkan nantinya juga akan ada penjelasan lebih lanjut, misalnya mengenai apa yang dimaksud dengan "menyerang" dan lain-lain.

"Yang berbeda adalah kalau itu untuk kepentingan umum, katakan penjahat publik, masyarakat harus tahu, dan itu bisa dibuktikan, itu boleh," kata Semmy.

Namun, apabila tuduhan terhadap seseorang tidak memiliki bukti, maka orang yang jadi tertuduh bisa menuntut balik orang yang menuduhnya karena pencemaran nama baik.

"Kalau tidak bisa dibuktikan, yang menuduhkan bisa masuk penjara. Jadi supaya orang tidak sembarangan menuduh. Jadi nanti di pengadilan kalau dia tidak terbukti atau dicemarkan nama baiknya, dan tidak terbukti pengadilan, yang melaporkan bisa kena hukuman 2 tahun dan 400 juta."

Meski begitu, menurut Semmy, ada beberapa hal yang dikecualikan dari pidana, misalnya untuk kepentingan umum.

Adapun dijelaskan, yang dimaksud dengan dilakukan untuk kepentingan umum adalah melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan melalui hak berekspresi dan hak berdemokrasi, misalnya melalui unjuk rasa atau kritik.

Selain itu, pidana juga tidak bisa dikenakan ke seseorang apabila informasi atau konten disebarkan, saat dia harus membela diri ketika dirinya menjadi korban.

"Jadi ada ruang-ruang yang diberikan perlindungan bagi masyarakat. Tidak bisa otomatis dia menuduhkan atau memproses tindak pidananya," kata Dirjen Kominfo itu.


Revisi UU ITE Wajibkan Platform Moderasi Konten

Ilustrasi media sosial. (Photo by Adem AY on Unsplash)

Pada kesempatan yang sama, Semmy juga mengatakan bahwa revisi UU ITE akan mewajibkan setiap platform untuk menyaring konten-konten yang dinilai harmful atau berbahaya.

"Jadi setiap platform wajib melakukan moderasi konten. Contoh yang paling konkret tantangan orang, anak-anak, berdiri di depan truk yang lagi lewat, tidak boleh itu ditampilkan, mengajari yang lainnya," katanya.

"Atau orang bunuh diri online, tidak boleh itu disiarkan. Berapa kali kita ada yang lolos. Mereka (platform) punya teknologinya, mereka harus melakukan," dia menambahkan.

Dia mencontohkan, moderasi konten sebenarnya sudah dilakukan di masa pandemi, di mana platform digital menyaring konten-konten terkait Covid-19 dan menghapus hoaks-hoaks soal penyakit tersebut.

Semmy mengatakan, jangan sampai konten-konten sadis atau terorisme di platform digital, juga muncul ke publik.

"Mereka punya teknologinya. Jenis-jenisnya apa, kita nanti tentukan. Harmful, benar-benar berbahaya baik itu untuk kesehatan atau bagi masyarakat secara umum yang lain, seperti keselamatan," imbuhnya.

 


Kekhawatiran Soal Kebebasan Berekspresi

Dirjen Aplikasi Informatika Kemkominfo Semuel Abrijani Pangerapan (Foto: Kemkominfo).

Lebih lanjut, platform digital pun dirasa dapat melakukan moderasi secara mandiri untuk konten-konten membahayakan, di mana ini juga akan diatur dalam revisi UU ITE.

"Jadi pornografi atau judi, mereka bisa harusnya. Itu algoritmanya bisa, daripada pemerintah satu-satu. Pornografi buktinya di Google sudah hampir tidak ada di Indonesia," kata Semmy.

"Itu kan bisa dideteksi. Jadi yang sudah bisa dideteksi oleh teknologi, harusnya tidak usah lagi pekerjaan pemerintah," kata Dirjen Kominfo itu.

Semmy juga menegaskan, konten-konten yang akan dibatasi adalah yang membahayakan atau harmful. Hal ini merespon kekhawatiran bahwa pasal baru di revisi UU ITE akan berdampak pada kebebasan berekspresi.

"Kalau itu tidak harmful, platform mana mau menurunkan. Sebenarnya (kategori) harmful itu sudah ada dalam standar komunitas mereka," kata Semmy.

 


Konten Pornografi di Revisi UU ITE

Ilustrasi pornografi. (Image by vectorjuice on Freepik)

Sementara untuk konten pornografi di revisi UU ITE, dalam pasal kesusilaan, menurut Semmy, nantinya akan ada hal-hal yang dikecualikan, misalnya untuk pendidikan atau seni.

"Contohnya penyuluh KB atau pendidikan seks, nanti dibilang menyebarkan seks, itu tidak bisa, itu dikecualikan, atau harus menunjukkan kejadian kesusilaan (sebagai korban) untuk melindungi dirinya," kata Semmy.

"Atau apabila karya seni, budaya, dan segala macam. Untuk olahraga, kesehatan. Tapi kalau filmnya dari awal sampai akhir romance (adegan seks) doang ya itu bukan art (seni), itu sudah masuk kategori blue movie."

Untuk sanksi ke platform digital soal moderasi konten, Semmy mengatakan UU ITE juga akan mempersiapkan ini, termasuk teguran tertulis, administratif, hingga pemutusan akses.

(Dio/Ysl)

Infografis Jokowi Usulkan DPR Revisi UU ITE, Hapus Pasal Karet? (Liputan6.com/Trieyasni)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya