Liputan6.com, Jakarta Penyair Palestina Mahmoud Darwish lahir pada tahun 1941 di desa Arab al-Birwa di Palestina utara di bawah Mandat Inggris.
Ketika dia berusia 6 tahun, tiba-tiba diputuskan bahwa sebuah negara bernama Israel akan didirikan, dan desanya akan menjadi bagian dari negara baru ini.
Advertisement
Tak lama kemudian, warga Arab Palestina diusir dari rumah mereka oleh milisi Yahudi.
“Saya tidak akan pernah melupakan malam itu,” kenang Darwish seperti dilansir dari Asahi.com. Penduduk desa melarikan diri melalui kebun zaitun, dikejar oleh suara tembakan dan tembakan yang semakin dekat.
Bulan purnama malam itu. Banyak orang terbunuh. Desa mereka rata dengan tanah, namanya tidak terdengar lagi.
Darwish mulai menulis puisi sekitar usia 10 tahun. Saat menjadi siswa di sekolah Israel, dia mendapat masalah dengan pihak berwenang karena menulis puisi yang ditujukan kepada teman sekelasnya yang Yahudi.
Bunyinya:
“Kamu punya rumah, dan aku tidak punya/ Kamu punya perayaan, tapi aku tidak punya/ Mengapa kita tidak bisa bermain bersama?”
(Puisi ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang oleh Inuhiko Yomota dan dimasukkan dalam antologi syair Darwish, diterbitkan dengan judul Jepang “Kabe ni Egaku,” yang secara harafiah berarti “Menggambar di Dinding.”)
Puisi Darwish berkembang menjadi karya-karya yang menghibur jiwa Palestina yang terluka sekaligus menginspirasi keberanian. Dan mungkin itulah sebabnya pihak berwenang Israel berulang kali menangkapnya karena menerbitkan karyanya.
Kisah cinta yang dipendam pada gadis Israel
Semasa hidupnya, diketahui Mahmoud Darwish pernah mencintai seorang gadis Israel. Kisah cinta tersebut ia pendam dan disembunyikan dari publik hingga belasan tahun lamanya.
Hal ini dikarenakan kondisi yang tak memungkinkan di antara keduanya di mana Mahmoud adalah aktivis Palestina sementara gadis yang ia cintai berdarah Israel yang kemudian dipaksa masuk IDF (tentara pertahanan Israel).
Meski demikian, ia kemudian menuangkannya lewat salah satu puisinya yang berjudul "Rita and The Riffle."
"Rita dan Senapan’. Di antara Rita dan mataku Ada senapan Dan siapa pun yang mengenal Rita Berlutut dan bermain Kepada keilahian di mata berwarna madu itu Dan aku mencium Rita Ketika dia masih muda Dan aku ingat bagaimana dia mendekat."
Demikian penggalan puisi tersebut.
Kaitan puisi-puisi Darwish dengan situasi Gaza terkini
Di negeri di mana permusuhan dan kebencian telah membentuk lapisan yang tidak dapat ditembus, masyarakat kembali menangis dan gemetar karena kesedihan dan kemarahan. Banyak warga Israel yang terbunuh. Banyak warga Palestina yang terbunuh. Tua dan muda.
Situasi mengerikan di Gaza sangat menyedihkan. Darwish meninggal pada tahun 2008 pada usia 67 tahun.
Salah satu puisinya berbunyi, “Sejarah mengolok-olok para korban dan pahlawannya/ Ia melirik mereka sambil lalu dan terus berjalan/ Laut adalah milikku/ Udara segar adalah milikku.”
Advertisement
Kampanye Boikot Israel Hantam Merek-Merek Barat di Negara Arab, Bikin Penjualan Turun
Pada suatu malam baru-baru ini di Kairo, seorang pekerja membersihkan meja di sebuah restoran McDonald's yang kosong. Cabang-cabang rantai makanan cepat saji Barat lainnya di ibu kota Mesir itu juga tampak sepi.
Semuanya terkena dampak kampanye boikot akar rumput yang spontan atas serangan militer Israel di Jalur Gaza sejak serangan mematikan Hamas di Israel selatan pada 7 Oktober.
Menurut laporan Reuters, merek-merek Barat merasakan dampaknya di Mesir dan Yordania, dan ada tanda-tanda kampanye ini menyebar di beberapa negara Arab lainnya termasuk Kuwait dan Maroko. Pun demikian, partisipasinya tidak merata dan dampaknya hanya kecil di Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.
Beberapa perusahaan yang menjadi sasaran kampanye boikot Israel ini dianggap mengambil sikap pro-Israel, dan beberapa lainnya diduga memiliki hubungan keuangan dengan Israel atau melakukan investasi di sana.
UNICEF Sebut 1.200 Anak Gaza Masih Berada di Bawah Reruntuhan Bangunan Akibat Serangan Israel
Kepala badan anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yakni UNICEF mengatakan pada Rabu (22/11/2023) bahwa Jalur Gaza yang terkepung saat ini menjadi tempat paling berbahaya di dunia bagi anak-anak. Bahkan, pihaknya menyebut bahwa gencatan senjata yang saat ini disepakati oleh Israel dan Hamas tidak cukup untuk menyelamatkan hidup anak-anak di sana.
Direktur eksekutif UNICEF Catherine Russell mengatakan kepada Dewan Keamanan PBB (DK PBB) bahwa lebih dari 5.300 anak di Gaza tewas sejak serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober. Angka tersebut mencapai 40 persen dari total kematian yang dilaporkan di sana.
"Ini belum pernah terjadi sebelumnya. Saya dihantui oleh apa yang saya lihat dan dengar," kata Russell, yang baru saja kembali dari perjalanan ke Gaza selatan, seperti dilansir CNA, Kamis (23/11/2023).
Advertisement