Metode Pemotongan Pajak Karyawan Diubah Mulai 2024, Simak Penjelasan DJP

Nantinya, tarif efektif pemotongan PPh Pasal 21 ini tidak hanya berlaku untuk memotong pajak atas penghasilan yang diterima karyawan, tetapi juga berlaku atas penghasilan yang diterima nonkaryawan.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 24 Nov 2023, 19:45 WIB
Suasana pelayanan pajak di Kantor KPP Pratama Jakarta Jatinegara, Matraman, Jakarta Timur, Kamis (21/7/2022). Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak resmi memulai penerapan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) untuk memudahkan masyarakat dalam mengakses layanan perpajakan ke depannya. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengungkapkan bahwa tarif efektif rata-rata (TER) untuk pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) 21 akan mulai berlaku pada 2024.

Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu, Suryo Utomo mengatakan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) terkait tarif efektif pemotongan PPh Pasal 21 sudah siap ditandatangani dan akan terbit dalam waktu dekat.

"Insya Allah mulai masa Januari 2024 sekiranya semuanya dapat terlaksana dengan baik, tertandatangani dan terpublikasikan, mulai dapat kita jalankan,” kata Suryo dalam Konferensi Pers APBN Kita Edisi November 2023, Jumat (24/11/2023).

 

“Jadi Insya Allah tahun depan kita sudah mulai menggunakan metodologi pemotongan pemungutan PPh pasal 21 dengan menggunakan tarif efektif rata-rata yang lebih simpel, lebih mudah, dan memberikan kepastian kepada pemotong/pemungut PPh pasal 21,” lanjutnya.

Suryo lebih lanjut menjelaskan, tarif efektif ini digunakan untuk mempermudah, mensimpelkan cara pemotongan dan sifatnya merupakan pembayaran pajak di depan.

“Jadi pada waktu nanti suatu akhir periode tahun, dipungut setiap masa pajak di akhir tahun, akan diperhitungkan. Dari perhitungan ini sebetulnya akan kelihatan apakah kurang dibayar atau lebih dibayar, sehingga di laporan terakhir ujung pajak yang terhutang diharapkan tidak terjadi kelebihan atau kekurangan pembayaran," paparnya.

"Betul-betul jumlah yang dibayarkan tidak berbeda dengan kondisi saat ini sebetulnya, hanya akan mempermudah cara kita melakukan pemotongan, pemungutan yang dilakukan oleh pemberi kerja," tambahnya.

Nantinya, tarif efektif pemotongan PPh Pasal 21 ini tidak hanya berlaku untuk memotong pajak atas penghasilan yang diterima karyawan, tetapi juga berlaku atas penghasilan yang diterima nonkaryawan.


Ini Arah Kebijakan Pajak 2024 Demi Kejar Target Rp 1.988,9 Triliun

Petugas melayani masyarakat yang ingin melaporkan SPT di Kantor Direktorat Jenderal Pajak di Jakarta, Rabu (11/3/2020). Hingga 9 Maret 2020, pelaporan SPT pajak penghasilan (PPh) orang pribadi meningkat 34 persen jika dibandingkan pada tanggal yang sama tahun 2019. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Pemerintah menargetkan penerimaan pajak pada tahun 2024 mendatang sebesar Rp1.988,9 triliun. Angka ini tumbuh 9,4 persen dibandingkan perkiraan realisasi pada tahun 2023 yang mencapai 1.818,2 triliun.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti menyebut bahwa kenaikan target ini seiring dengan kondisi perekonomian yang membaik.

“Penerimaan pajak tahun 2024 diharapkan tumbuh meningkat dibandingkan tahun 2023 sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan didukung oleh berbagai kebijakan pajak yang optimal,” kata Suryo Utomo.

Mencapai target pajak pada tahun 2024 yang lebih tinggi memang tidak mudah. Pasalnya, ada sederet permasalahan yang harus direspons, antara lain tensi geopolitik yang semakin memanas. Mulai dari perang Rusia dan Ukraina yang masih belum usia, kembali bergejolaknya  perang Israel dan Hamas. Ketegangan Amerika Serikat (AS) dan China yang dapat memberikan pengaruh terhadap perdagangan global.

Selain kondisi geopolitik, permasalahan selanjutnya yang tidak bisa dianggap sepele adalah dampak perubahan iklim yang sudah terlihat sekarang dengan kekeringan di mana-mana dan memicu krisis pangan dalam jangka waktu lama. Kemudian yang tidak kalah pelik adalah perkembangan digitalisasi yang teramat cepat.


Penerimaan Pajak Sampai Periode September 2023

Warga mengurus layanan perpajakan di Kantor KPP Pratama Jakarta Jatinegara, Matraman, Jakarta Timur, Kamis (21/7/2022). Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak resmi memulai penerapan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) untuk memudahkan masyarakat dalam mengakses layanan perpajakan ke depannya. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Namun bila berkaca tahun ini, penerimaan pajak pada periode Januari - September 2023 tumbuh positif berkat dukungan kinerja kegiatan ekonomi yang baik. Bahkan realisasinya mencapai Rp1.387,78 triliun (80,78% dari target) atau tumbuh 5,9%.

Penopangnya adalah PPh nonmigas yang sebesar Rp771,75 triliun (88,34 persen) atau tumbuh 6,69 persen. Kemudian PPN dan PPnBM berhasil dikumpulkan Rp536,73 triliun (72,24 persen) atau tumbuh 6,39 persen. Sementara, PBB dan Pajak Lainnya sebesar Rp 24,99 T, serta PPh Migas sebesar Rp 54,31 T.

Kinerja penerimaan memang melambat dibandingkan tahun sebelumnya. Penyebab utamanya adalah penurunan signifikan harga komoditas, penurunan nilai impor, dan tidak berulangnya kebijakan Program Pengungkapan Sukarela (PPS). Ke depannya, penerimaan pajak akan mengikuti fluktuasi variabel ekonomi makro, terutama harga komoditas, konsumsi dalam negeri, belanja pemerintah, aktivitas impor, dan variabel lainnya.

Namun demikian, pertumbuhan penerimaan pada akhir tahun (5,9%) diperkirakan lebih rendah dibandingkan realisasi pertumbuhan Januari-Agustus (6,4%). Alasannya yaitu ada penurunan harga komoditas diperkirakan berlanjut dan perlambatan perdagangan global yang persisten. Hal ini akan menimbulkan tekanan pada PPh/PPN Impor dan PPN DN, serta akan mendorong WP untuk melakukan penurunan angsuran PPh Badan. 


Arah Kebijakan

Pelaporan SPT pajak pribadi karyawan dan staf kesekjenan DPR diharapkan bisa menjadi contoh bagi publik. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Pemerintah memastikan kebijakan umum perpajakan 2024 diarahkan untuk mendukung proses transformasi ekonomi agar terus berjalan di tengah berbagai tantangan. Hal ini dilakukan melalui pelaksanaan kegiatan terkait Pengawasan Pembayaran Masa (PPM) dan Pengawasan Kepatuhan Material (PKM). Selain itu, kebijakan lain juga dilakukan untuk mengoptimalkan capaian penerimaan pada tahun mendatang antara lain mendorong tingkat kepatuhan dan integrasi teknologi dalam sistem perpajakan, memperluas basis perpajakan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi, memperkuat sinergi melalui joint program, memanfaatkan  data, dan melakukan tindakan penegakan hukum.

Pemerintah turut menjaga efektivitas implementasi Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) untuk mendorong peningkatan rasio perpajakan dan insentif perpajakan secara terarah dan terukur guna mendukung iklim dan daya saing usaha, serta transformasi ekonomi yang bernilai tambah tinggi.

Secara teknis, Dwi menambahkan, dalam optimalisasi perluasan basis pemajakan sebagai tindak lanjut UU HPP, langkah yang ditempuh adalah tindak lanjut program pengungkapan sukarela dan implementasi NIK sebagai NPWP.


Kuatkan Ekstensifikasi Pajak

Direktorat Jenderal Pajak memberikan bantuan dengan mengirim petugas langsung ke Gedung DPR. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Kedepannya, Ditjen Pajak juga akan menguatkan ekstensifikasi pajak serta pengawasan terarah dan berbasis kewilayahan, seperti implementasi penyusunan Daftar Sasaran Prioritas Pengamanan Penerimaan Pajak (DSP4) dan prioritas pengawasan atas WP High Wealth Individual (HWI) beserta WP Group, transaksi afiliasi, dan ekonomi digital.

Dari kegiatan penegakan hukum, Ditjen Pajak tetap akan menjunjung tinggi prinsip yang berkeadilan, di mana melakukan optimalisasi pengungkapan ketidakbenaran perbuatan dan pemanfaatan kegiatan digital forensics.

Ditjen Pajak optimis dapat mengatasi seluruh tantangan mengingat Core Tax Administration System (CTAS) akan diimplementasikan pada pertengahan tahun 2024. Melalui implementasi CTAS, diharapkan sistem informasi serta proses bisnis Ditjen Pajak dapat semakin terintegrasi dan andal sehingga menjadikan Ditjen Pajak sebagai institusi penerimaan negara yang kuat, kredibel, dan akuntabel.


Instrumen Pajak Jadi Pendorong Perekonomian

Pajak untuk pembangunan infrastruktur tersebut mulai dari pembangunan jalan, bendungan, perhubungan laut, perhubungan udara, air bersih dan sanitasi hingga pembangunan jalur kereta api tersebut bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat.

Pajak tidak hanya berkaitan dengan penerimaan negara. Pajak juga menjadi instrumen kebijakan fiskal, baik untuk mendukung program pemerintah maupun dalam kondisi darurat (discretionary measures).

Instrumen kebijakan fiskal yang dimaksud meliputi PPN tidak terutang atas pengusaha kecil (omzet sampai dengan Rp4,8 M), PPN dibebaskan atas barang kebutuhan pokok, jasa pendidikan dan kesehatan, Tax Holiday & Tax Allowance, Pengurangan 50 persen tarif PPh bagi WP badan UMKM (omzet s.d Rp50 M), PPh final 0,5% untuk WP dengan omzet usaha tertentu sesuai PP 55 2022, dan pembebasan PPh final untuk WP OP dengan omzet tertentu sesuai PP 55 2022 dengan omzet s.d. Rp500 juta.

Selain itu juga Free Trade Zone (dibebaskan PPN dan PPnBM), Kawasan Ekonomi Khusus (tidak dipungut PPN dan PPnBM), PPN tidak dipungut di Kawasan Berikat, pembebasan PPN atas impor atau penyerahan mesin dan/atau peralatan, PPN tidak dipungut atas alat angkutan tertentu, PPN DTP atas rumah, serta PPN DTP atas mobil listrik. Insentif tersebut sudah berjalan dan diharapkan akan berlanjut pada 2024 mendatang.

Infografis Lapor Pajak dengan E-Filing (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya