Liputan6.com, Jakarta - Pertemuan dengan cinta lama, perjumpaan dengan impian yang tak tercapai, dan perkenalan kembali dengan kenangan yang sulit dilupakan – semua cerita ini dapat ditemukan dalam Buku Antologi Cerpen "Kita di Titik Temu". Buku ini merupakan hasil karya dari komunitas kepenulisan kreatif Semut Merah Kaizen, yang diisi oleh para alumni Kaizen Writing Workshop yang diselenggarakan oleh penulis Dee Lestari.
"Kita di Titik Temu" menjadi buku antologi ketiga setelah buku pertama "Cerita saat Jeda" dan buku kedua "Kita Hanya Sesingkat Kata Rindu." Sebanyak 27 penulis berkontribusi dalam penulisan dengan menghadirkan karya-karya mereka dalam satu koleksi.
Advertisement
Para penulis yang turut serta dalam buku fiksi ini antara lain Elisabeth Ika, Mita Vacariani, Anky Prasetya, Tami Kira, Dita Melia, Smita Diastri, Nuha Azizah, Ade Irawan, Andina Yudiarti, Karla SB, Jia Effendie, Sasa Ahadiah, Lucia Dwi Elvira, Wilis Juharini, Rika Siti Syaadah, Istianatul Muflihah, Khoirun Nikmah, Anggara Palguna, Lidya Dwi Susanti, Rina Dianita, Irishanna, Kiandra Aesha, Altami N.D, Grace Tioso, Johana Melisaa, Stanza Alquisha, dan Puspa Kirana.
Dee Lestari menyampaikan apresiasinya atas penyelesaian buku ini. "Semoga menjadi karya yang memperkaya hubungan kita sebagai alumnus keluarga besar Kaizen Writing," ungkap Dee saat peluncuran Buku Antologi Cerpen "Kita di Titik Temu" yang disleenggarakan secara virtual pada Sabtu malam, 25 November 2023.
"Dari judulnya, dapat diinterpretasikan bahwa karya ini merupakan suatu pertemuan yang berarti. Selamat dan sukses untuk seluruh keluarga besar Kaizen Writing," tambah Dee.
Cerita Telah Dikurasi Berlapis
Rosidayati Rozalina, Direktur MCL Publisher yang bertanggung jawab atas penerbitan buku ini, menyampaikan bahwa kerja sama ini bermula dari proyek antologi dalam rangka penerbitan buku pada 2022.
"Cerpen-cerpen dalam buku ini berkisah tentang pertemuan orangtua dengan anak, kekasih, mantan, bahkan pertemuan dengan alam yang berbeda dan kemudian berpisah dengan alam tersebut," ungkap Rosidayati.
Menurutnya, cerita-cerita ini dapat dinikmati oleh segala usia, baik laki-laki maupun perempuan. "Seluruh tim yang terlibat dalam mengkurasi cerita (juga) menunjukkan tingkat keterlibatan dan antusiasme yang tinggi. Diskusi tidak hanya berkisar pada karya yang dikirimkan, tetapi juga melibatkan proses kreatif lainnya, menciptakan suasana yang hangat di antara tim redaksi," paparnya.
Di sisi lain, Ayu Rianna, Kepala Dusun Cerita Fiktif Surat Merah Kaizen, menceritakan awal mula proyek ini dimulai hanya dari obrolan santai di grup diskusi. "Sebanyak 52 cerpen terkumpul, dan setelah pemilihan, 30 cerpen dipilih untuk diusulkan ke MCL untuk dikurasi lagi. Buku ini menjadi hasil dari kurasi dan editing berulang, dengan proses yang berlangsung selama 4 bulan sejak bulan Juni (2023)," ucap Ayu.
Dia juga menerangkan, MCL Publisher, yang telah menerbitkan 32 buku lintas genre, menjual buku ini melalui toko resmi Semut Merah Kaizen di Tokopedia. Harga normalnya adalah Rp122 ribu, tetapi ada diskon 20 persen hingga 30 November 2023, sehingga harganya menjadi Rp97 ribu.
Advertisement
Cerita di Balik Penulisan Cerpen
Peluncuran buku ini tidak hanya sekadar menampilkan karya-karya penulisnya, tetapi juga dilengkapi dengan cerita pengalaman dari beberapa penulis yang karyanya masuk ke dalam buku tersebut. Salah satunya datang dari Istianatul Muflihah, yang menceritakan bahwa cerpen yang dimuat dalam buku ini merupakan karyanya yang pertama kali terbit dan dicetak.
Judul cerpennya adalah "Pulang tanpa Andai", yang mengisahkan tentang seseorang yang takut bertemu orang lain namun berhasil menemui orang itu dan tidak menyesali pertemuannya. Ia membagikan pengalamannya dalam menulis. Saat pengumuman penulisan cerpen, ia masih bingung mau menulis apa karena laptopnya rusak dan tidak ada cadangan dokumen. Akhirnya, ia menulis cerita tersebut dengan mengingat-ingat, dan draft terakhirnya dibuat melalui HP.
Penulis lainnya, Elisabeth Pitha menceritakan tentang cerpennya yang berjudul "Pulang". Cerita ini berkisah tentang seorang perempuan yang bertemu dengan ayah yang tiba-tiba pulang ke rumah. Pengalaman menulisnya terlalu terbawa suasana, sehingga setiap kali menulis, ia selalu menangis dan selalu terjeda.
Irishanna, penulis cerpen lainnya, menuliskan cerpennya berjudul "Bukan Negeri Dongeng". "Cerita ini mengisahkan seorang perempuan kecil yang sejak kecil tinggal di istana megah dan mengira hidup itu akan berjalan selamanya. Namun pada usia 15 tahun, ia terpaksa meninggalkan istana dan bertemu dengan orang-orang yang membuatnya marah. Akhirnya, ia bertemu dengan Angga, dan Angga membawa cerita yang selama ini ditutupi mengenai si perempuan," terangnya.
Buku yang Mengaduk-Aduk Emosi Pembaca
Irishanna berbagi pengalaman yang paling berkesan, yakni ia begitu bersemangat menulis cerpen sehingga hasilnya sangat mepet dan belum sempat disunting. Meskipun begitu, pengalaman menulisnya tetap menyenangkan karena tema yang diangkat begitu luas dan di luar dugaan.
Ada juga Ade Irawan, seorang penulis lain dalam antologi ini. Cerpennya yang berjudul "Tubuh yang Merekam Lara" mengisahkan perempuan yang berusaha meninggalkan kota untuk mengatasi masalah-masalahnya. Namun di luar kota, ia menemui sesuatu yang mengejutkan. Ade mengungkapkan, strategi penulisan untuk cerpennya kali ini yang digunakan adalah dengan menyajikan cerita per bab, dan itulah yang membuatnya begitu memorable.
Dalam peluncuran virtual ini, hadir juga pengulas-pengulas handal. Ipeh Alena, salah satu pengulas, menyampaikan kesukaannya terhadap buku ini karena ceritanya memiliki perjalanan yang naik turun dan setiap penulis memiliki karakternya sendiri. "Membaca buku ini seperti naik roller coaster emosi, kadang tersenyum, kadang menangis, kadang tertawa," ucapnya.
Ipeh juga menyebutkan bahwa cerpen karya Elisabeth menjadi favoritnya karena berhasil menciptakan ketertarikan sejak halaman pertama dengan hook yang kuat, membuat pembaca penasaran tentang pertemuan dan perpisahan apa yang akan dihadapi tokoh selanjutnya. "Gaya penulisan yang dimiliki oleh para penulis dalam buku ini dianggap sebagai keunggulan tersendiri," sampainya.
Rizky Mirgawati, seorang pengulas lainnya, mencatat bahwa semua karya dalam buku ini memiliki ciri khas masing-masing dan dieksekusi dengan sangat baik. "Dari cerpen pertama sampai terakhir, buku ini mampu mengakomodasi perasaan gado-gado, tapi enak yang menyenangkan untuk dibaca," tuturnya.
Advertisement