Sejumlah Pihak Surati Menkes Budi Tolak Pengetatan Rokok di RPP UU Kesehatan

Surat kepada Menkes Budi Gunadi Sadikin terkait penolakan pengetatan rokok di RPP UU Kesehatan.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 27 Nov 2023, 19:00 WIB
Surat kepada Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin terkait penolakan pengetatan rokok di RPP UU Kesehatan. (Dok Kementerian Kesehatan RI)

Liputan6.com, Jakarta Sejumlah pihak melayangkan surat kepada Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin terkait penolakan pengetatan aturan rokok dalam Rancangan Peraturan Pemerintah Undang-Undang Kesehatan atau RPP UU Kesehatan. Penolakan salah satunya menyoal larangan iklan rokok yang semakin diperketat di media.

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI Siti Nadia Tarmizi menanggapi adanya surat penolakan aturan rokok yang ditujukan kepada Menkes Budi. Ditegaskan, bahwa masukan-masukan akan ditindaklanjuti.

"Kita masih dalam pembahasan dan juga masih terbuka untuk masukan dan diskusi. Jadi, ada masukan seperti ini tentu akan ditindaklanjuti," terang Nadia saat dikonfirmasi Health Liputan6.com, ditulis Senin (27/11/2023).

Surat dari Asosiasi Periklanan dan Industri Kreatif

Dewan Periklanan Indonesia, Asosiasi Periklanan dan Industri Kreatif sebelumnya mengirimkan surat kepada Menkes Budi Gunadi Sadikin. Isinya, terkait dengan penolakan terhadap isi Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pelaksanaan UU Kesehatan 2023 soal Pengamanan Zat Adiktif.

Sebab, dalam aturan itu tertuang bahwa industri tembakau dilarang beriklan dan promosi produk tembakau pada media online, aplikasi elektronik hingga media sosial. Hal ini berdampak buruk pada keberlangsungan industri periklanan dan media di Indonesia.

Aturan pada RPP UU Kesehatan juga semakin memperketat iklan rokok di media penyiaran seperti televisi dan radio. Dalam aturan, jam tayang iklan rokok semakin dibatasi yang sebelumnya dari jam 21.30 sampai 05.00 pagi menjadi 23.00 sampai 03.00.


Berdampak pada Pendapatan Industri Televisi

Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Syafril Nasution berpendapat jam iklan rokok yang semakin diperketat akan berdampak terhadap pendapatan industri televisi.

"Kita mengikuti aturan KPI, ya memang sudah ada jam tayang untuk anak-anak dewasa, remaja. Dan jam 21.30 itu kan sudah masuk jam tayang dewasa. Ini kalau diubah akan berdampak pada pendapatan industri televisi," jelasnya.

"Karena kalau dari jam 23.00 sampai 3 subuh, itu yang nonton setan, tidak ada yang menonton."

Ketua Indonesia Digital Association (IDA) Dian Gemiano menyebut, larangan total iklan rokok di media digital menjadi masalah baru bagi industri tersebut. Larangan iklan rokok di media digital tentu akan menurunkan pendapatan perusahaan.

"Kerugian itu 20 persen dari revenue. Bagi media digital itu sangat signifikan, di tengah disrupsi media digital saat ini juga tengah mencoba bertahan. Kehilangan 20 persen dari revenue itu bukan hanya hilang duit saja, itu dampaknya ke operasional, karena disrupsi, bisnis juga kalau kehilangan 20 persen otomatis kan cut cost cut cost," ujarnya.

Industri kreatif yang terdiri dari berbagai asosiasi periklanan, media digital hingga media penyiaran pun menyurati Menkes Budi Gunadi Sadikin mengenai polemik pengetatan aturan rokok.


Larangan atau Pengetatan Aturan Rokok?

Ilustrasi narasi 'larangan' atau 'pengetatan' belumlah final karena masih dalam kajian. Credit: pexels.com/Andres

Lantas, apakah narasi dalam RPP UU Kesehatan berupa 'larangan' atau 'pengetatan' aturan rokok?

Siti Nadia Tarmizi menegaskan, narasi 'larangan' atau 'pengetatan' belumlah final karena masih dalam kajian. Meski begitu, masyarakat diminta menunggu keputusan terkait pengamanan zat adiktif di RPP UU Kesehatan ini.

"Kalau narasinya ('larangan' atau 'pengetatan') sepertinya belum final, tapi ini kan tentunya ada dua pihak ya yang perlu dipertimbangkan karena pihak lainnya tentunya punya alasan untuk kemudian meningkatkan aturan terkait larangan merokok," tegasnya.

"Ada beberapa yayasan dan Lembaga Swadaya (LSM) juga bergerak dalam kampanye anti rokok yang harus kita pertimbangkan masukannya. Jadi nanti pasti ada kesepakatan dan kesepahaman."

Penerimaan Industri Kreatif Akan Menurun

Berikut ini poin-poin yang disampaikan para pelaku usaha industri kreatif dalam surat yang ditujukan kepada Menkes Budi Gunadi Sadikin:

Pertama, industri kreatif dan penyiaran serta para tenaga kerjanya sangat terancam jika larangan total iklan produk tembakau diberlakukan. Melansir Data TV Audience Measurement Nielsen, iklan produk tembakau bernilai lebih Rp 9 triliun sementara kontribusi tembakau terhadap media digital mencapai sekitar 20 persen dari total pendapatan media digital di Indonesia yaitu sekitar ratusan miliar per tahun.

Terlebih lagi, berdasarkan Data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif di tahun 2021, industri kreatif memiliki lebih dari 725.000 tenaga kerja dan secara umum, multi-sektor di industri kreatif juga mempekerjakan 19,1 juta tenaga kerja.

Dengan kontribusi iklan industri produk tembakau, artinya penerimaan yang diperoleh industri kreatif akan menurun 9-10 persen yang akan berdampak besar terhadap penyerapan tenaga kerja dan pendapatan industri kreatif.


Diskriminatif bagi Industri Kreatif

Kedua, industri kreatif nasional patuh pada aturan iklan produk tembakau yang telah ditetapkan dan turut mendukung upaya pemerintah dalam menurunkan prevalensi perokok anak.

Selama ini, industri kreatif nasional senantiasa mematuhi peraturan yang berlaku dan iklan rokok telah diatur melalui sejumlah regulasi produk tembakau, di antaranya PP 109/2012 serta ketentuan yang telah diatur secara detil dalam Etika Pariwara Indonesia (EPI).

Dalam hal ini, penyempitan jam tayang iklan rokok di TV dalam RPP Kesehatan dinilai diskriminatif bagi industri kreatif nasional yang telah mematuhi segala aturan perikanan produk tembakau.

Ketiga, industri kreatif nasional tidak pernah dilibatkan dalam proses penyusunan dan partisipasi publik RPP Kesehatan.

Dengan ini, para pemangku kepentingan industri kreatif nasional menolak poin larangan total iklan produk tembakau dengan berbagai pertimbangan untuk dapat ditinjau ulang dan berharap penyusunan RPP Kesehatan dapat dilakukan lebih terbuka dengan melibatkan para pihak yang terdampak atas peraturan yang terkandung di dalamnya.

Surat yang dikeluarkan oleh Sekretariat Bersama Asosiasi Bidang Jasa Periklanan, Media Penerbitan, dan Penyiaran tersebut mewakili aspirasi dari beragam asosiasi, yaitu Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P31), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Asosiasi Perusahaan Pengiklan Indonesia (APPINA), Indonesian Digital Association (IDA), Asosiasi Perusahaan Media Luar-griya Indonesia (AMLI), dan Ikatan Rumah Produksi iklan Indonesia (IRPII).

Infografis Pro-Kontra Larangan Iklan Rokok di Internet. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya