, Canberra - Lebih dari 100 aktivis iklim, termasuk lima orang anak di bawah umur dan seorang pendeta berusia 97 tahun ditangkap di Australia pada hari Senin (27/11/2023) waktu setempat. Mereka ditangkap setelah aksi protes yang mereka lakukan telah melewati batas waktu yang ditentukan.
Selama akhir pekan, para aktivis itu melakukan 'blokade terapung' lalu lintas pelayaran di pelabuhan batu bara terbesar di Australia, Pelabuhan Newcastle, dengan menggunakan kayak.
Advertisement
Mengutip DW Indonesia, Senin (27/11), aksi itu mereka lakukan guna menentang ketergantungan negara terhadap ekspor bahan bakar fosil, demikian menurut penyelenggara dari kelompok bernama Rising Tide itu.
Pihak berwenang sebelumnya setuju untuk membiarkan protes berjalan selama 30 jam, tetapi akhirnya melakukan penangkapan setelah para aktivis menolak untuk meninggalkan perairan setelah tenggat waktu berakhir.
"Kami memilih mengambil risiko untuk ditangkap karena para ilmuwan telah memperingatkan bahwa untuk menghindari bencana kehancuran iklim, kita harus segera menghentikan penggunaan bahan bakar fosil," kata Rising Tide dalam sebuah pernyataan.
Kelompok ini terdiri dari warga Newcastle yang giat berkampanye melawan perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia.
Di antara mereka yang ditangkap adalah Pendeta Alan Stuart berusia 97 tahun. Ia mengaku melakukan protes demi "cucu-cucu dan generasi mendatang" yang tidak ingin tinggal dunia dengan "bencana iklim yang semakin parah dan sering terjadi."
Seruan Menghentikan Proyek Batu Bara
Aksi protes yang telah berlangsung setiap tahun sejak 2016 itu sebelumnya giat menyerukan penghentian proyek-proyek batu bara baru dan menyerukan pajak atas keuntungan ekspor batu bara.
Namun, Australia, sebagai produsen batu bara utama, justru dilaporkan sedang merencanakan proyek-proyek batu bara, minyak, dan gas baru.
Beberapa negara bagian Australia juga dilaporkan telah memberlakukan undang-undang yang keras terhadap protes iklim, yang menuai kecaman dari kelompok-kelompok hak-hak sipil dan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Advertisement
6 Aktivis Muda Gugat Pemerintah Eropa terkait Perubahan Iklim
Sebelumnya, aksi dari enam aktivis muda di Eropa juga sempat menjadi sorotan. Mereka menyampaikan argumen bahwa pemerintah di seluruh Eropa tidak melakukan cukup upaya, dalam melindungi masyarakat dari perubahan iklim.
Mereka mengemukakan argumen tersebut di sidang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) Eropa pada Rabu (27/9), sebagai bagian dari kasus aktivis yang menuntut pemerintah untuk segera mengambil tindakan konkret terkait isu iklim.
Tim hukum yang mewakili 32 negara, termasuk 27 negara anggota Uni Eropa, Inggris, Swiss, Norwegia, Rusia, dan Turki, mengajukan keraguan terhadap kelulusan kasus ini dan juga argumen bahwa para penggugat mengalami dampak perubahan iklim sebagai korban.
Melibatkan Aksi Generasi Muda
Namun, pengacara yang mewakili kelompok dari Portugal menyatakan bahwa negara-negara yang mereka tuntut tidak berhasil mengatasi pemanasan global yang disebabkan oleh manusia, sehingga melanggar hak-hak dasar kelompok tersebut. Mereka menyoroti pentingnya tindakan lebih lanjut dan segera untuk mencapai target iklim yang telah ditetapkan hingga akhir dekade ini.
"Kasus hari ini melibatkan para generasi muda. Ini tentang harga yang mereka bayar akibat kegagalan negara-negara dalam mengatasi darurat iklim. Ini tentang kerugian yang akan mereka alami selama hidup mereka, kecuali negara-negara mengambil tanggung jawab mereka," ujar Alison Macdonald, berbicara atas nama para pemuda.
Sudhanshu Swaroop, seorang penasihat hukum dari Britania Raya, menyatakan bahwa pemerintah-pemerintah nasional menyadari ancaman dari perubahan iklim dan berkomitmen untuk mengatasinya melalui kerja sama internasional.
Ia menekankan bahwa para penggugat sebaiknya mengajukan kasus ini di pengadilan nasional terlebih dahulu. Ia juga mencatat bahwa karena mereka bukan warga negara dari negara-negara yang mereka tuntut, kecuali Portugal, maka Pengadilan HAM Eropa tidak memiliki kewenangan untuk mengadili kasus ini.
Advertisement