Liputan6.com, Jakarta Seiring dengan gencarnya perang Israel dan Hamas Palestina di Gaza, memunculkan seruan untuk boikot produk Israel di sejumlah negara termasuk Indonesia.
Namun seruan boikot produk pro Israel justru dinilai akan merugikan ekonomi di dalam negeri. Salah satunya berpotensi memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) massal
Advertisement
Pakar dan Peneliti INDEF Ahmad Heri Firdaus menilai bahwa aksi boikot yang tidak berdasarkan fakta dan menyasar perusahaan-perusahaan multinasional yang memiliki lisensi domestik dapat merugikan ekonomi dalam negeri, terutama tenaga kerja lokal.
Heri menyoroti ketidakbenaran persepsi bahwa boikot akan memotong pendapatan perusahaan dan merugikan Israel secara finansial.
"Artinya, kalau ada aksi boikot nanti yang terkena dampak adalah tenaga kerja yang bekerja di perusahaan-perusahaan tersebut yang adalah tenaga kerja lokal,” jelas Heri, dikutip Senin (27/11/2023).
Dia menunjukkan bahwa aliran dana Israel jauh lebih besar berasal dari pinjaman luar negeri, penjualan migas, hingga transaksi perangkat lunak untuk gawai.
Dengan demikian, seruan dari tokoh-tokoh terkemuka ini menjadi panggilan agar masyarakat bersikap objektif, memahami daftar perusahaan yang menjadi target benar-benar terlibat dalam daftar Boycott, Divestment, and Sanctions (BDS) dengan seksama, dan menghindari boikot yang tidak tepat sasaran, sehingga tidak merugikan perusahaan lokal yang tidak terlibat dalam konflik geopolitik tersebut.
Boikot Produk Israel
Sementara itu, Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menyatakan, ajakan boikot produk Israel harus direspons dengan bijaksana.
"Anda boleh menikmati produk sebaik-baiknya karena telah diberikan label halal," kata Jusuf Kalla dalam kegiatan acara Doa Bersatu Untuk Palestina di Jakarta.
Dia menjelaskan, produk-produk yang ada di Indonesia tentu dibuat menggunakan bahan-bahan serta tenaga kerja dan modal dari dalam negeri. Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) itu mengimbau agar jangan sampai ada masalah lain yang timbul di tengah masyarakat akibat ajakan boikot yang tidak disikapi dengan bijak. "Perusahaan-perusahaan yang betul-betul produk Indonesia dan milik Indonesia tentu dihargai dan saya yakin MUI memahami dan telah memberikan penjelasan itu," katanya.
Diplomasi Kemanusiaan
Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) ini melanjutkan, salah satu cara yang mungkin bisa menghentikan agresi ialah dengan mengajak negara-negara di seluruh dunia bersatu atas nama kemanusiaan. Diplomasi kemanusiaan itu perlu dilakukan secara besar-besaran di samping memberikan bantuan kepada warga Palestina.
"Karena itulah, maka tindakan nyata kita adalah memberikan bantuan secara riil," katanya.
Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Miftahul Huda juga menyatakan bahwa yang diharamkan MUI itu bukan produknya atau zatnya. Dia menjelaskan, produk tetap halal selama masih memenuhi kriteria kehalalan tetapi, yang diharamkan itu aktivitas atau perbuatan.
Dia menerangkan, fatwa MUI nomor 83 tahun 2023 menjelaskan bahwa yang diharamkan adalah mendukung aksi agresi, baik secara langsung dan tidak langsung itu yang diharamkan. Dia meminta masyarakat tidak keliru memahami fatwa tersebut.
"Jadi, yang diharamkan adalah perbuatan dukungan tersebut dan bukan barang yang diproduksi. Jadi, jangan salah dalam memahaminya," katanya.
Advertisement
Pengamat Ingatkan Dampak Boikot Produk Pro Israel
Pengamat Ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada (UGM) Tadjuddin Noer Effendi mengingatkan dampak yang akan terjadi jika masyarakat Indonesia melakukan boikot terhadap produk-produk Israel dan afiliasinya.
Implikasinya, angka pengangguran di Indonesia akan naik karena banyak yang terkena PHK, sehingga akan membuat semakin banyak juga masyarakat yang jatuh miskin.
Dia mengatakan pengusaha-pengusaha Indonesia tidak ada hubungannya sama sekali dengan yang disebutkan sebagai penyumbang dana atau pendukung agresi Israel ke Palestina.
“Pengusaha Indonesia itu hanya membeli license. Memang namanya nama Amerika, tetapi kan sebetulnya sudah dimiliki katakanlah Indonesia. Kemudian itu diboikot, dan kalau mereka tutup akan terjadi PHK. Yang rugi kita sebenarnya seperti itu,” ujarnya dalam keterangan diterima.
Karenanya, dia mengajak masyarakat agar jangan gegabah untuk cepat-cepat melakukan aksi boikot dan melihat secara rasional bahwa perusahaan yang disebut-sebut milik Israel dan afiliasinya, sekarang sudah sebagian besar digerakkan oleh modal Indonesia.
“Dalam hal ini kita hanya membayar fee pada mereka. Tapi, keuntungan bagi kita itu kan adalah Perusahaan-perusahaan itu dapat menyerap pekerja-pekerja kita untuk bekerja di sana dan kemudian dapat membantu menurunkan kemiskinan dan pengangguran,” ucapnya.
Kemiskinan dan PHK
Selain itu, target pemerintah yang ingin menurunkan angka stunting juga akan terhambat karena banyak masyarakat yang tidak lagi bisa memberikan gizi yang baik bagi anak-anak mereka akibat kemiskinan yang dialami karena terkena PHK.
“Jadi, dampaknya banyak. Kalau sudah terjadi kemiskinan, nanti tidak bisa menyekolahkan anak. Secara garis besar, efek berantai dari boikot itu sangat banyak dialami oleh masyarakat kita sendiri,” tuturnya.
Sementara, lanjutnya, angka stunting saat ini saja masih sangat besar, begitu juga dengan angka pengangguran, dan angka kemiskinan.
“Apalagi pukulan Covid beberapa waktu lalu masih belum sepenuhnya normal, Kita dihantam global ekonomi, perang Rusia, sekarang ada perang Israel Palestina yang dampaknya nanti kepada harga minyak dan sebagainya,” tukasnya.
Jadi, kondisi-kondisi berat yang dialami masyarakat itu seharusnya jangan lagi ditambah dengan tindakan-tindakan lainnya seperti aksi boikot.
“Seharusnya kita memikirkanlah agar jangan sampai terjadi lagi masalah-masalah sosial yang dapat merugikan masyarakat kita. Kita harus berpikir secara positif jangan main boikot gitu,” katanya.
Advertisement