Liputan6.com, Jakarta - Meningkatnya seruan dunia untuk memahami efek pemanasan global pada kesehatan manusia semakin meningkat, sehingga mendorong penyelenggaraan hari pertama yang didedikasikan untuk isu tersebut dalam perundingan perubahan iklim PBB yang akan dimulai pekan pertama Desember 2023.
Peningkatan suhu yang ekstrem, tingginya tingkat polusi udara, dan peningkatan penyebaran penyakit yang mematikan adalah beberapa alasan mengapa Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menganggap perubahan iklim sebagai ancaman utama bagi kesehatan manusia.
Advertisement
Melansir dari Phys.org, Senin (4/12/2023), WHO menyatakan bahwa mempertahankan pemanasan global agar tidak melebihi target Perjanjian Paris sebesar 1,5 derajat Celsius adalah langkah penting untuk mencegah efek buruk pada kesehatan dan mencegah jutaan kematian yang terkait dengan perubahan iklim.
Namun, menurut PBB pada pekan terakhir November, berdasarkan rencana pengurangan emisi karbon yang ada saat ini diperkirakan suhu global akan naik hingga 2,9 derajat Celcius pada abad ini.
Walaupun tak ada yang sepenuhnya terhindar dari akibat perubahan iklim, para ahli memprediksi bahwa kelompok yang paling rentan adalah anak-anak, perempuan, lansia (lanjut usia), migran, dan orang-orang di negara-negara berkembang dengan emisi gas rumah kaca yang terbilang rendah, yang turut menyebabkan pemanasan global.
Pada 3 Desember, dalam perundingan COP28 di Dubai, dijadwlkan agenda acara "health day" pertama yang fokus pada isu kesehatan dalam perundingan mengenai iklim.
Ancaman Gelombang Panas Ekstrem dan Dampaknya Terhadap Kesehatan Global
Tahun ini diperkirakan menjadi tahun dengan suhu tertinggi yang pernah tercatat. Akibat pemanasan global yang terus berlanjut, kita diprediksi akan mengalami gelombang panas yang lebih sering dan lebih ekstrem.
Para peneliti pada akhir November menyatakan bahwa panas telah menjadi penyebab lebih dari 70.000 kematian di Eropa selama musim panas tahun lalu. Angka ini merupakan revisi dari jumlah sebelumnya yang mencatat 62.000 kematian.
Menurut laporan Lancet Countdown pekan terakhir November, secara global orang-orang rata-rata mengalami suhu yang mengancam jiwa selama rata-rata 86 hari pada tahun lalu.
Jumlah orang yang berusia di atas 65 tahun dan meninggal karena panas meningkat sebanyak 85 persen dari periode 1991-2000 hingga 2013-2022, demikian disampaikan informasi tersebut. Proyeksi dari Lancet Countdown menyatakan bahwa pada tahun 2050, dalam skenario pemanasan 2 derajat Celcius, jumlah orang yang meninggal akibat panas akan lebih dari lima kali lipat dari jumlah saat ini.
Kondisi kekeringan yang lebih sering juga akan memicu peningkatan kasus kelaparan. Dalam skenario pemanasan sebesar 2 derajat Celcius pada akhir abad ini, diperkirakan 520 juta orang akan mengalami tingkat kelaparan yang berisiko sedang atau parah pada tahun 2050.
Selain itu, cuaca ekstrem seperti badai, banjir, dan kebakaran akan terus mengancam kesehatan masyarakat di berbagai belahan dunia.
Advertisement
Ancaman Kesehatan Akibat Pembakaran Bahan Bakar Fosil dan Upaya Penurunan Dampak Negatifnya
Hampir 99 persen dari populasi global menghadapi tingkat polusi udara yang melebihi standar yang disarankan oleh WHO.
Menurut laporan WHO, Polusi udara luar ruangan yang berasal dari pembakaran bahan bakar fosil telah menjadi penyebab kematian bagi lebih dari empat juta orang setiap tahun.
Dampaknya termasuk peningkatan risiko terkena berbagai penyakit seperti gangguan pernapasan, stroke, penyakit jantung, kanker paru-paru, diabetes, dan masalah kesehatan lainnya. Ancaman tersebut sebanding dengan bahaya yang ditimbulkan oleh tembakau.
Penyebab kerusakan tersebut antara lain adalah mikropartikel PM2.5 yang sebagian besar berasal dari pembakaran bahan bakar fosil. Partikel-partikel kecil tersebut dihirup oleh orang dan bisa masuk ke dalam aliran darah setelah mencapai paru-paru.
Meskipun lonjakan polusi udara seperti yang terjadi di New Delhi, India awal bulan November, menyebabkan masalah pernapasan dan alergi yang nyata, paparan jangka panjang diyakini lebih berbahaya. Namun, tidak semuanya merupakan berita negatif.
Laporan Lancet Countdown menunjukkan bahwa jumlah kematian akibat polusi udara akibat bahan bakar fosil telah mengalami penurunan sebesar 16 persen sejak tahun 2005, terutama karena usaha untuk mengurangi dampak pembakaran batu bara.
Dampaknya pada Kesehatan dan Kecemasan Global
Perubahan iklim mengakibatkan migrasi nyamuk, burung, dan mamalia ke wilayah yang sebelumnya bukan habitat mereka, meningkatkan risiko penyebaran penyakit menular. Penyakit yang ditularkan oleh nyamuk, yang penyebarannya meningkat karena perubahan iklim, antara lain demam berdarah, chikungunya, zika, virus west nile, dan malaria.
Menurut laporan Lancet Countdown, potensi penyebaran demam berdarah dapat meningkat hingga 36 persen akibat kenaikan suhu sebesar 2 derajat Celcius.
Badai dan banjir menciptakan genangan air yang menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk, meningkatkan risiko penyakit yang ditularkan melalui air seperti kolera, tifus, dan diare.
Ilmuwan juga khawatir bahwa perpindahan mamalia ke wilayah baru dapat menyebabkan penularan penyakit antara mereka, yang berpotensi menciptakan virus-virus baru yang bisa menjangkiti manusia.
Kekhawatiran mengenai pemanasan global saat ini dan di masa mendatang telah meningkatkan tingkat kecemasan, depresi, serta stres pasca-trauma, terutama bagi individu yang sudah menghadapi masalah kesehatan mental ini. Para psikolog telah mengingatkan akan hal ini.
Menurut data dari Google Trends yang dilaporkan oleh BBC pada pekan terakhir November, dalam 10 bulan pertama tahun ini, pencarian online untuk istilah "climate anxiety" meningkat hingga 27 kali lipat dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2017.
Advertisement