Liputan6.com, Sanaa - Hari ini tercatat dalam sejarah sebagai momen tewasnya mantan Presiden Yaman, Ali Abdullah Saleh. Ia meninggal dalam pertempuran antara pendukungnya dengan gerakan pemberontak Houthi yang dahulu merupakan sekutunya.
Pejabat dari General People's Congress party atau GPC (Partai Kongres Rakyat Umum menyatakan bahwa beliau meninggal dalam serangan di bagian selatan ibu kota, Sanaa.
Advertisement
Pemimpin Houthi menyambut berita tersebut sebagai "peristiwa besar dan penting".
Abdul Malik al-Houthi mengatakan mereka telah menggagalkan "konspirasi" oleh koalisi pimpinan Arab Saudi yang mendukung pemerintah, target Saleh dalam pendekatan perdamaian.
Pada hari Minggu 3 Desember 2023, anggota Houthi telah menguasai sebagian besar ibu kota dan pertempuran sengit terjadi di sekitar rumah keluarga Saleh dan sekutunya.
Melansir dari BBC, serangan udara koalisi Arab Saudi semalam gagal menghentikan Houthi dan pada hari Senin pagi, 4 Desember 2017, rumah Saleh berhasil direbut. Tak lama setelah itu, laporan mulai muncul bahwa dia telah tewas.
Sebuah video beredar di media sosial yang menunjukkan jasad seorang pria yang menyerupai Saleh dengan luka parah di kepala.
Jasad tersebut dibawa oleh pria bersenjata sambil berteriak "Puji Tuhan!" dan "Hey Ali Affash!" - nama klan Saleh.
Kematiannya Dikonfirmasi
Pejabat dari Kongres Rakyat Umum mengonfirmasi kematian Saleh. Mereka mengatakan sedang berada dalam konvoi bersama pejabat partai lainnya dalam serangan oleh Houthi, saat mereka melarikan diri ke selatan menuju kampung halaman mantan pemimpin Yaman di Sanhan.
Beberapa laporan menyebutkan bahwa dia dikeluarkan dari kendaraannya setelah dihentikan oleh roket RPG dan langsung dibunuh.
Pemimpin Houthi, Abdul Malik al-Houthi merayakan apa yang disebutnya sebagai "hari runtuhnya konspirasi pengkhianatan". Dia juga menegaskan bahwa Houthi "tidak ada masalah" dengan GPC atau anggotanya.
Loyalis Saleh sebelumnya telah berperang bersama Houthi melawan presiden saat itu, Abdrabbuh Mansour Hadi. Namun, perselisihan atas kontrol masjid terbesar di Sanaa pada Rabu 29 November memicu bentrokan bersenjata yang telah menyebabkan lebih dari 125 orang tewas.
Advertisement
Dikutuk Sebagai Geng Kriminal
Sebelumnya pada Sabtu 2 Desember, Saleh menawarkan untuk "membuka halaman baru" dengan koalisi yang dipimpin Arab Saudi jika mereka menghentikan serangan dan blokade yang merugikan Yaman.
Houthi menuduhnya melakukan "kudeta" terhadap "aliansi yang tak pernah dipercayainya". Namun, pejabat GPC yang tak disebut namanya mengatakan kepada TV Al Arabiya yang dimiliki Saudi bahwa rakyat Yaman seharusnya "turun ke jalan dan memberontak terhadap milisi Houthi".
Presiden Yaman pada saat itu, Abdrabbuh Mansour Hadi, menyampaikan belasungkawa kepada keluarga "pria terhormat" yang tewas dalam beberapa hari terakhir di Sanaa, "terutama mantan Presiden Ali Abdullah Saleh". Dia juga memanggil "pemberontakan" terhadap Houthi, mengutuk mereka sebagai "geng kriminal".
PBB Minta Jeda Kemanusiaan
Sementara itu, PBB meminta jeda kemanusiaan dalam pertempuran pada Selasa 5 Desember 2017. Mereka mengatakan warga sipil terjebak di rumah mereka, pasokan makanan dan bahan bakar semakin menipis, dan rumah sakit tidak mampu mengobati yang terluka.
PBB menyebut serangan udara di Sanaa semakin intensif dan pertempuran telah meluas ke wilayah lain seperti Hajjah.
Laporan dari Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan menyebutkan jalan-jalan telah diblokir dan tank-tank berada di jalanan. Beberapa pertempuran terjadi di area diplomatik dekat kompleks PBB.
Palang Merah memperkirakan sedikitnya 125 orang tewas dan lebih dari 230 orang terluka sejak bentrokan terjadi pada Jumat 1 Desember.
Koordinator Kemanusiaan PBB di Yaman, Jamie McGoldrick, meminta jeda kemanusiaan pada 5 Desember untuk memungkinkan warga sipil meninggalkan rumah mereka dan mencari bantuan, serta agar pekerja bantuan dapat melanjutkan program penyelamatan nyawa.
"Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya... Anak-anak dan kaum muda - ini sungguh menyedihkan," ujarnya kepada BBC.
"Buat kami, kami berada dalam situasi di mana kami tidak bisa membantu mereka karena kami juga terkunci dan tidak memiliki kemampuan untuk mengatasi kebutuhan mereka seperti seharusnya."
Advertisement