Liputan6.com, Barcelona - Solusi Dua Negara kembali muncul di tengah gencatan senjata sementara antara Hamas dan Israel di Jalur Gaza. Wacana solusi itu digemakan oleh negara-negara Arab.
Dilaporkan VOA Indonesia, Selasa (28/11), wacana itu kembali muncul saat pertemuan para menteri luar negeri di Kota Barcelona, Spanyol. Acara itu dihadiri Uni Eropa serta negara-negara Timur Tengah dan Afrika, yang berfokus pada upaya diplomatik untuk menghentikan perang Israel-Hamas.
Advertisement
Negara-negara itu juga sepakat bahwa solusi dua negara adalah jawaban dari konflik Israel-Palestina. Kepala urusan luar negeri Uni Eropa, Josep Borrell, mengatakan bahwa Otoritas Palestinalah yang sebaiknya memerintah Gaza.
Solusi dua negara adalah gagasan berdirinya sebuah negara bagi bangsa Palestina di wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza, berdampingan dengan Israel.
“Mereka (Otoritas Palestina) bisa dan perlu memperbaiki fungsinya dan harus ada pemilu sesegera mungkin. Israel juga harus bekerja sama untuk mewujudkannya, tidak seperti yang mereka lakukan di Yerusalem Timur ketika mereka (penduduk Palestina) mencoba menggelar pemilu. Tentu saja kita perlu melakukan semua ini, tentu saja kita perlu memperkuat, melegitimasi dan mendukung Otoritas Nasional Palestina, dan tentu saja mereka tidak bisa melakukannya sendiri. Mereka membutuhkan dukungan dari komunitas internasional dan itulah tujuan keberadaan PBB,” ujar Borrell.
Borrell menambahkan, dukungan komunitas internasional krusial untuk menghindari terjadinya kekosongan kekuasaan di Gaza, yang dinilainya akan menjadi lahan subur bagi berkembangnya organisasi yang sarat kekerasan dan menimbulkan ancaman ketidakamanan.
Dalam forum itu, Menlu Yordania Ayman Safadi menuduh Israel melakukan genosida dengan mengebom Gaza selama enam minggu terakhir. Ia juga mengatakan, pembahasan tentang masa depan bangsa Palestina harus berfokus pada Tepi Barat dan Gaza sebagai satu kesatuan.
Palestina Tidak Meninggalkan Gaza
Otoritas Palestina, yang diwakili Menteri Luar Negeri Riad al-Maliki, mengatakan bahwa pemerintahannya tidak pernah meninggalkan Gaza. Ia mengatakan, mereka memiliki 60.000 pegawai publik yang melayani masyarakat Gaza. Sebagai informasi, Jalur Gaza saat ini diperintah oleh kelompok Hamas, salah satu faksi di wilayah Palestina.
“Saya rasa sekarang, setelah perang mengerikan di Gaza dan kehancuran yang terjadi, akan ada peningkatan layanan yang dibutuhkan masyarakat. Kami harus meresponsnya dengan menambah lebih banyak pegawai publik di Gaza. Tapi kami telah mengambil tanggung jawab dengan serius selama 17 tahun ini dan kami akan terus melakukan hal yang sama. Kami tidak akan pernah berhenti bertanggung jawab dan memberikan layanan yang diperlukan, karena kami otoritas yang bertanggung jawab. Kami memberikan layanan di seluruh wilayah pendudukan Palestina, baik di Jalur Gaza maupun di Tepi Barat,” kata al-Maliki.
Sejak berminggu-minggu sebelum dan selama berlangsungnya gencatan senjata sementara, Qatar, dengan dukungan AS dan Mesir, telah terlibat dalam proses negosiasi intensif untuk mewujudkan dan memperpanjang jeda pertempuran di Gaza. Para penengah mengatakan bahwa jeda tersebut memang dirancang agar dapat diperluas dan diperpanjang.
Advertisement
Proses Pembebasan Tawanan
Selama gencatan senjata pertama, sebanyak 50 sandera warga sipil – perempuan dan anak-anak – rencananya akan dibebaskan oleh Hamas.
Sebagai imbalan, 150 tahanan Palestina yang dikurung Israel juga akan dibebaskan dan bantuan kemanusiaan akan diizinkan memasuki Gaza.
Dalam tiga hari pertama, 39 sandera Israel dibebaskan Hamas dengan imbalan 117 tahanan Palestina yang dikurung Israel sebagai bagian dari kesepakatan.
Sementara itu, melalui negosiasi lain yang secara paralel dilakukan oleh Qatar, sebanyak 17 warga Thailand, satu warga Filipina dan satu warga berkewarganegaraan ganda Rusia-Israel juga telah dibebaskan kelompok militan tersebut.
Jumlah sandera yang akan dibebaskan sejauh ini merupakan yang terbanyak sejak militan Hamas melancarkan serangan ke Israel selatan secara mendadak pada 7 Oktober lalu dalam serangan paling mematikan dalam sejarah Israel.
Israel mengatakan serangan itu menewaskan 1.200 orang, sebagian besarnya adalah warga sipil. Selain itu, sekitar 240 orang disandera, termasuk warga lansia dan anak-anak.
Menanggapi hal itu, Israel melancarkan serangan bom tanpa henti dan serangan darat ke wilayah Gaza yang dikuasai Hamas. Pemerintahan Hamas menyatakan bahwa serangan Israel telah menewaskan 15.000 orang, ribuan di antaranya anak-anak.