Liputan6.com, Kudus - Tidak semua anak yang lahir sesuai dengan harapan dan impian kedua orang tuanya. Dan, tidak semua anak lahir dengan kondisi yang sempurna.
Beberapa dari mereka ada yang terlahir dengan memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan, baik fisik maupun psikis.
Advertisement
Meski demikian, naluri seorang ibu yang memiliki anak-anak istimewa tersebut, tetap menginginkan anaknya bisa tumbuh dan hidup dan lebih baik. Harapan mulia inilah yang dimiliki Nur Chasanah, salah seorang perempuan penyandang tunanetra di Kudus, Jawa Tengah yang dikarunia Tuhan dengan dua anak yang memiliki keterbatasan penglihatan.
Kisah pilu Nur Chasanah yang juga Guru Tidak Tetap (GTT) Mata Pelajaran Agama Islam di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Purwosari Kudus ini, sempat diungkapkannya kepada tim Liputan6.com, Rabu (29/11/2023).
Chasanah (36 tahun) demikian ia biasa disapa, memiliki anak pertama bernama Maulidia Khoirul Adzkia (7 tahun) dan Alfino Akmal Faqih (3 tahun) ini, keduanya memiliki gangguan penglihatan sejak dilahirkan. Maulidia kini duduk di kelas 1 di SLBN Purwosari, sedangkan anak laki-lakinya masih belum bersekolah.
Nur Chasanah berupaya keras berkeinginan kondisi kedua mata anak-anaknya yang terlahir nyaris buta ini, agar bisa melihat indahnya dunia melalui upaya operasi di Rumah Sakit Mata Dr YAP Jogjakarta. Namun apa daya, ia terhimpit dengan kondisi ekonomi dan gaji yang pas-pasan.
“Kedua anak saya terlahir memiliki keterbatasan penglihatan. Namun Alhamdulillah, putri saya kini bisa sedikit melihat setelah salah satu matanya dioperasi di RS YAP Yogjakarta beberapa tahun lalu. Saya berharap kedua mata putri saya bisa melihat seperti anak-anak lainnya, namun apa daya saya tidak memiliki biaya operasi mata yang cukup besar,” ujar Chasanah.
Untuk mengoperasi salah satu mata putrinya, ia mengaku harus mengeluarkan biaya antara Rp25 juta hingga Rp30 juta. Biaya operasi yang cukup besar bagi Chasanah, memang sangat memberatkan baginya. Sebab suami Chasanah juga tunanetra, hanya mengandalkan pendapatan dari profesi jasa pijat yang tak seberapa.
Chasanah yang tinggal di Dukuh Watuputih, Desa Terban, Kecamatan Jekulo Kudus ini berharap ada uluran tangan dari para dermawan, untuk bisa membiayai operasi kedua mata dua anak-anaknya itu.
“Putra saya yang kedua juga penglihatannya terbatas sejak lahir. Karena masih balita, putra saya diasuh suami saat saya mengajar di sekolah. Keinginan seorang ibu dimanapun mengharapkan anak-anaknya bisa tumbuh normal sejak lahir. Namun Allah memberikan saya anak-anak yang istimewa yang harus saya sayangi dan syukuri,” ucapnya.
Simak Video Pilihan Ini:
Mengajar ke Sekolah dengan Naik Ojol
Meski memiliki keterbatasan, Nur Chasanah mengaku tetap bersemangat untuk mengajar murid-muridnya yang juga penyandang tunanetra di SLB Purwosari. Setiap hari, ia harus menempuh jarak hingga 30 kilometer dari rumahnya untuk pergi dan pulang mengajar di sekolah.
Perempuan lulusan Sarjana Kependidikan Islam dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2012 silam ini, mengawali karier sebagai tenaga pengajar di SLB A dan A Ganda Bina Insan Istiqomah Kabupaten Bekasi, Jawa Barat tahun 2013.
Di sekolah tersebut, Chasanah mengabdi selama dua tahun. Menginjak bulan Juli tahun 2016, ia pun hijrah di Kudus dan menjadi guru di SLB Purwosari hingga saat ini.
”Di SLB Purwosari saya menjadi guru kelas 1,2, dan 3 khusus tunanetra jenjang SD dan guru mapel Pendidikan Agama Islam. Namun belakangan ini, saya sudah menjadi guru kelas setingkat SMA atau kelas XI dan XII,” paparnya.
Perjalanan Chasanah dari rumahnya untuk pulang pergi menuju sekolahnya memang cukup jauh. Meski demikian, ia terbiasa menggunakan jasa ojek online untuk menjalani aktifitasnya setiap hari. Ia harus mengeluarkan anggaran Rp 600 ribu sebulan untuk biaya transportasi.
”Kalau berangkat sekolah, saya sekalian bareng sama saudara dan pulangnya saya naik ojek online. Sebulan untuk transportasi 600 ribu. Alhamdulillah masih cukup jika dengan gaji yang saat ini yang saya terima sekitar Rp 2,6 juta,” terangnya.
Rasa capek cukup melelahkan saat perjalanan pun hilang, setelah ia sampai di sekolah dan bertemu dengan murid-muridnya. Chasanah mengaku sejak kecil bercita-cita menjadi guru, karena ingin ilmu yang dimilikinya bermanfaat bagi banyak orang.
”Saya sejak kecil ingin menjadi guru. Saya terinspirasi oleh guru-guru saya terutama kepada Presiden Gusdur yang memiliki masalah penglihatan namun tetap bisa mengabdi kepada Negara dan menjadi orang nomor 1 di Indonesia,” cetusnya bersemangat. (Arief Pramono)
Advertisement