Liputan6.com, Jakarta - Keluarga-keluarga di Gaza berbondong-bondong pulang ke rumah, atau setidaknya bangunan yang tersisa dari tempat tinggal mereka, setelah dibom militer Israel. Salah satunya adalah Taghrid al-Najjar yang mendapati dinding rumahnya runtuh, sementara perabotan mereka terkubur di bawah beton.
Hingga perang terjadi, mengutip Al Jazeera, Jumat (1/12/2023), ibu berusia 46 tahun ini tidak pernah meninggalkan desanya di sepanjang perbatasan dengan Israel di tenggara Jalur Gaza. Sejak Jumat, 24 November 2023, gencatan senjata telah menghentikan pertempuran antara Israel dan Hamas, sehingga memungkinkan mereka kembali ke rumah yang hancur.
Advertisement
"Hanya di sini saya merasa baik," katanya. Al-Najjar melarikan diri ketika pemboman Israel dimulai pada 7 Oktober 2023. Selama berminggu-minggu ia tinggal bersama sembilan anggota keluarganya di Sekolah Khan Younis yang diubah jadi kamp darurat bagi para pengungsi.
Setidaknya 15 ribu orang, sebagian besar warga sipil, tewas dalam perang Israel di Gaza, dan al-Najjar mengatakan puluhan orang di keluarga besarnya telah tewas. Segera setelah gencatan senjata mulai berlaku pada pekan lalu, ia pulang ke Abasan dengan berjalan kaki.
"Saya menemukan bahwa rumah saya telah hancur total. (Perlu waktu) 27 tahun untuk membangunnya dan semuanya hilang!" ia berkata. "Selama dua hari saya tidak bisa makan, lalu saya berkata pada diri sendiri bahwa saya harus terus hidup."
Di tengah berbagai kemalangan, warga Palestina itu tetap menemukan secercah harapan. "Rumah saya hancur, tapi anak-anak saya masih hidup, jadi kami akan membangunnya kembali. Kami sudah melakukannya sekali, kami bisa melakukannya lagi."
Berjejal di 1 Kamar
Setiap malam, keluarga tersebut masuk melalui jendela untuk tidur di satu-satunya kamar yang dindingnya belum seluruhnya roboh. Begitu ada gencatan senjata permanen, kata Najjar, mereka akan mendirikan tenda, namun "cukup lama untuk membangun kembali rumah tersebut."
Ia tidak sendiri. Kekhawatiran utama tetangga Najjar yang berusia 64 tahun, Jamil Abu Azra, adalah keempat cucunya yang masih kecil. "Mereka takut dan trauma," ujar dia. "Bahkan, kami orang dewasa pun takut, tapi kami berpura-pura di depan anak kecil."
Di seberang jalan, Bassem Abu Taaima merenungkan hancurnya rumah keluarganya. "Kami semua adalah petani atau sopir taksi. Kami sebenarnya tidak ada hubungannya dengan perlawanan," katanya. "Jadi, kami tidak mengerti mengapa semua ini terjadi pada kami."
Dengan mengenakan jaket yang diberikan tetangganya dan celana pendek, meski cuaca sangat dingin, ia berkata bahwa ia akan menunggu sampai perang berakhir sebelum mendirikan tenda dan mulai membersihkan dan membangun kembali rumahnya.
Advertisement
Menemukan Gaun Pengantin
Taaima telah menyisir puing-puing rumahnya untuk mencari pakaian hangat, meski semua yang ia temukan telah terbakar atau robek. Di dekatnya, Naim Taaimat (46) membangun tempat berlindung bagi keluarganya dari kayu, beberapa kain, dan beberapa paku.
"Di sinilah saya akan tinggal bersama istri saya, ketujuh anak kami, dan ibu saya setelah perang," katanya.
Lebih banyak tenda akan dibutuhkan karena saudara-saudara laki-lakinya, masing-masing memiliki tujuh anak, juga kehilangan rumah mereka, tambahnya. Saudara-saudaranya "menumpahkan darah" untuk membangun rumah di mana harta benda keluarga mereka kini terkubur di bawah reruntuhan.
Prioritas Taaimat adalah menemukan gaun pengantin putrinya Nivine, karena ia akan menikah minggu depan. Ia menggunakan palu untuk mencoba memecahkan balok beton sebelum menyingkirkannya dengan tangan kosong.
"Sekarang, ia kehilangan rumahnya, tunangannya juga kehilangan rumahnya. Jadi, saya harus menemukan sesuatu agar ia tetap bisa sedikit bahagia," sebut dia.
Abdessamad (12) menyela, "Kami punya (aliran) listrik dan kami punya kayu untuk apinya!"
Berakhirnya Periode Gencatan Senjata
Duduk bersama teman-temannya di lantai tanah dekat sekolah PBB tempat ia dulu belajar, yang kini sebagian hancur akibat bom Israel, Abdessamad tertawa, bernyanyi, dan bercanda.
"Perang benar-benar membuat kami takut, tapi ada kabar baik," kata temannya Nabil (8). Sambil tertawa, dan berharap orangtuanya tidak dapat mendengarnya, ia berkata, "Sekolah hancur dan kami tidak dapat kembali (belajar) untuk sementara waktu."
Beberapa menit setelah gencatan senjata berakhir pada Jumat, 1 Desember 2023, militer Israel mulai menggempur Gaza, menuduh Hamas melanggar jeda terlebih dahulu dengan meluncurkan roket. "Jalur Gaza berada di bawah serangan artileri berat, bahkan pemboman udara oleh pasukan pendudukan (Israel)," kata Tareq Abu Azzoum dari Al Jazeera yang melaporkan dari Khan Younis di Gaza selatan.
"Dalam beberapa jam mendatang, kita mungkin akan menyaksikan peningkatan jumlah serangan Israel di wilayah ini," imbuhnya.
Israel telah menyebarkan selebaran ke bagian selatan Gaza, memperingatkan warga sipil mengungsi ke arah selatan menuju Rafah, di perbatasan dengan Mesir. Selebaran yang disebarkan di Khan Younis mengatakan bahwa kota tersebut sekarang jadi "zona pertempuran berbahaya."
Advertisement