Liputan6.com, Jakarta - Pengadilan tinggi Uni Eropa (UE) memutuskan bahwa negara-negara anggotanya dapat melarang karyawan mengenakan "tanda-tanda keyakinan agama," termasuk hijab, di tempat kerja. Putusan Pengadilan Kehakiman (ECJ) ini dikeluarkan setelah seorang perempuan asal Belgia menuduh pemerintah kota tempat ia bekerja melanggar kebebasan beragama dengan mengatakan bahwa ia tidak boleh berhijab di tempat kerja.
Melansir BBC, Jumat (1/12/2023), pengadilan menambahkan, tindakan seperti itu "harus dibatasi hanya pada hal-hal yang benar-benar diperlukan." Isu berhijab telah "memecah belah" Eropa selama bertahun-tahun, sebut publikasi itu.
Advertisement
Pada 2021, pengadilan memutuskan bahwa perempuan dapat dipecat dari pekerjaannya karena menolak melepas hijab jika mereka bekerja di pekerjaan yang berhubungan dengan publik. Kasus terbaru sampai ke pengadilan setelah seorang pegawai Muslim di kota Ans, Belgia timur, diberitahu bahwa ia tidak boleh berhijab saat bekerja.
Wanita yang bekerja sebagai kepala kantor dan tidak memiliki peran publik itu akhirnya mengajukan gugatan hukum. Pemerintah kota kemudian mengubah ketentuan ketenagakerjaannya, dengan mengatakan bahwa mereka mengharuskan karyawan memperhatikan netralitas yang ketat.
Artinya, "segala bentuk dakwah dilarang dan penggunaan tanda-tanda afiliasi ideologis atau agama secara terang-terangan tidak diperbolehkan bagi pekerja mana pun," lapor outlet tersebut. Mendengar kasus tersebut, Pengadilan Perburuhan di Liege mengatakan tidak ada kepastian apakah kondisi netralitas ketat yang diberlakukan pemerintah kota menimbulkan diskriminasi yang bertentangan dengan hukum UE.
ECJ menjawab bahwa pihak berwenang di negara-negara anggota Uni Eropa mempunyai batas keleluasaan untuk menentukan tingkat netralitas yang ingin mereka tingkatkan. Pihaknya menambahkan bahwa administrasi publik lain akan dibenarkan jika memutuskan mengizinkan pemakaian tanda-tanda keyakinan politik, filosofis, atau agama.
Diklaim Langgar Hukum Sekuler
Prancis telah melarang keras tanda-tanda keagamaan di sekolah-sekolah negeri dan gedung-gedung pemerintah, dengan alasan bahwa hal itu melanggar hukum sekuler. Hijab dan simbol agama lain yang "mencolok" dilarang di sekolah negeri pada 2004.
Pada Agustus 2023, Menteri Pendidikan Perancis Gabriel Attal mengatakan, siswa sekolah negeri akan dilarang memakai abaya, gamis longgar yang dikenakan beberapa wanita Muslim. Pakaian tersebut semakin banyak dikenakan di sekolah-sekolah yang menyebabkan perpecahan politik di sekolah-sekolah tersebut, dengan partai-partai sayap kanan mendorong pelarangan tersebut, sementara partai-partai sayap kiri menyuarakan keprihatinan terhadap hak-hak perempuan dan anak perempuan Muslim.
Mengutip AFP, 8 September 2023, pengadilan tertinggi di Prancis yang menangani pengaduan terhadap otoritas pemerintah mengatakan pihaknya menolak mosi yang diajukan sebuah asosiasi yang menentang larangan penggunaan abaya di sekolah.
Aturan larangan menggunakan abaya disebut sama halnya dengan larangan mengenakan hijab dengan alasan bahwa itu merupakan bentuk afiliasi agama. Sebelumnya, asosiasi yang mewakili umat Islam mengajukan mosi ke pengadilan tertinggi Prancis, menyebut larangan tersebut diskriminatif dan dapat memicu kebencian terhadap umat Islam, serta profil rasial.
Advertisement
Larangan Abaya
Dewan Kepercayaan Muslim Prancis (CFCM), yang dibentuk untuk mewakili umat Islam di hadapan pemerintah, sebelumnya memperingatkan bahwa pelarangan abaya dapat "meningkatkan risiko diskriminasi." Pengacara Aksi untuk Hak-Hak Umat Islam (ADM), Vincent Brengarth, berpendapat selama persidangan bahwa abaya harus dianggap sebagai pakaian tradisional, bukan busana keagamaan.
Ia juga menuduh pemerintah Prancis mencari keuntungan politik dengan larangan tersebut. Presiden ADM Sihem Zine juga mengatakan peraturan itu "seksis" karena hanya mengutamakan anak perempuan dan menargetkan orang Arab. Namun, Kementerian Pendidikan Prancis mengatakan, abaya membuat pemakainya langsung dikenali sebagai penganut agama Islam.
Sekolah-sekolah di Prancis memulangkan banyak siswi karena menolak melepas abaya mereka di hari pertama tahun ajaran pada 4 September 2023. Hampir 300 siswi menentang larangan tersebut, kata Menteri Pendidikan Prancis, Gabriel Attal.
Namun, sebagian besar siswi setuju berganti pakaian, tapi 67 orang menolak dan dipulangkan, katanya. Sekitar 10 persen dari 67 juta penduduk Perancis adalah Muslim, menurut perkiraan resmi.
Situasi Kontras
Kontras dengan itu, sebuah patung baru, yang diyakini sebagai yang pertama di dunia, malah dirancang untuk merayakan perempuan berhijab. Karya seni bertajuk "Strength of the Hijab" ini dirancang Luke Perry dan dipajang di kawasan Smethwick, West Midlands, Inggris, mulai Oktober 2023.
Melansir BBC, 20 September 2023, patung itu tingginya lima meter dan beratnya sekitar satu ton. Proyek ini ditugaskan oleh Legacy West Midlands, sebuah badan amal terdaftar, yang merayakan warisan komunitas migran pascaperang di Birmingham.
Perry berkata, "'Strength of the Hijab' adalah sebuah karya yang mewakili perempuan berhijab pemeluk agama Islam, dan (patung) ini eksis untuk mewakili bagian dari komunitas kita yang selama ini belum mendapat porsi setara, namun sangat penting."
"Mereka membutuhkan visibilitas, ini sangat penting, jadi bekerja sama dengan komunitas untuk menghasilkan desain sangatlah menarik karena sampai sekarang kami tidak tahu seperti apa jadinya," ia menambahkan. Perry sebelumnya telah merancang patung Black British History is British History, bersama Canaan Brown, yang dipajang di Winson Green pada Mei 2023.
Advertisement