Liputan6.com, Jakarta Kebutuhan listrik masyarakat di Jawa, Madura dan Bali (Jamali) antara lain dipasok dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Salah satunya PLTU Paiton di Probolinggo, Jawa Timur.
Komplek Pembangkit Listrik Tenaga Uap ( PLTU ) Paiton merupakan salah satu PLTU terbesar di Indonesia berkapasitas total 4,700 MW. PLTU menggunakan batubara sebagai sumber energi untuk diproses menjadi energi listrik.
Advertisement
Kawasan Paiton terdiri dari beberapa unit pembangkit listrik yang dikelola beberapa perusahaan dan pihak-pihak yang bertanggung jawab.
Seperti PLTU unit 1 dan 2 Paiton dikelola PLN Nusantara Power melalui Unit Pembangkitan (UP) Paiton 1& 2. Pembangkit ini memberikan kontribusi 1.460 Mega Watt (MW) disalurkan melalui saluran tegangan tinggi sistem Jamali melalui jaringan 500 KV sebesar 5% dan untuk kebutuhan listrik regional Jawa Timur 30%.
Kemudian dari IPP milik Paiton Energy unit 7 & 8 ( 2 x 610 MW), Unit 3 (1 x 800 MW ) dan Jawa Power (2 x 61ut0 MW). “Kontribusi PLTU Paiton 4,700 MW sangat signifikan dalam memenuhi kebutuhan listrik di wilayah Jawa-Madura dan Bali. Pasokan listrik ke sistem Jamali sebesar 22 persen dan untuk memenuhi kebutuhan kelistrikan Jawa Timur sebesar 83 %,”ungkap Senior Manager UP Paiton, Agus Prastyo Utomo di Probolinggo, Jumat (1/12/2023).
Bila sebelumnya pembangkit yang dikelola PLN Nusantara PLN semata memakai batu bara sebagai bahan bakar utama, seiring keinginan pemerintah menuju era energi ramah lingkungan demi pengendalian emisi, perusahaanmulai memanfaatkan limbah serbuk kayu (sawdust) melalui biomass co-firing.
Pada prosesnya serbuk kayu dicampur dengan batu bara dalam komposisi tertentu sebagai bahan bakar utama pembangkit di PLTU Paiton 1&2.
Sebelumnya, penggunaan batu bara di PLTU mencapai 18.000 ton/hari. Kemudian seiring penggunaan sumber bahan bakar lain terjadi penghematan melalui cofiring 5% = 328,5 ton/tahun.
Harga biomass sesuai Peraturan Direksi PLN masih di-cap maksimal sama dengan harga batubara . Diversifikasi biomass telah dilakukan melalui uji co-firing 30 % menggunakan sawdust (serbuk kayu), limbah padi, cocopeat, limbah uang kertas (LURK) dan BBJP (Bahan Bajar Jumoutan Padat) tanpa kendala dengan beban 360 MW menggunakan existing auxiliary equipment.
“Penambahan nilai ekonomi sawdust sebesar Rp 550 ribu/ton dan untuk lingkungan menghasilkan penurunan emisi GR23K 471.500 ton CO2 sejak dilakdsanakan tahun 2019. Makanya kami menggunakan sawdust, yang secara harga masih memenuhi Perdir PLN terkait pengaturan harga biomass co-firing Yang perlu dihighlight sebenarnya upaya menghasilkan green energy 5% setara +/- 300 GWH (300rb MWH) tanpa investasi dan modifikasi,”pungkas Agus