Serap 5,98 Juta Tenaga Kerja, Industri Tembakau Perlu Ruang Gerak

Total tenaga kerja yang diserap oleh sektor IHT sebanyak 5,98 juta orang. Selain itu, dari sisi penerimaan negara, IHT juga berkontribusi dalam bentuk Cukai Hasil Tembakau sebanyak Rp218 triliun pada tahun 2022.

oleh Septian Deny diperbarui 04 Des 2023, 20:40 WIB
Total tenaga kerja yang diserap oleh sektor IHT sebanyak 5,98 juta orang. Selain itu, dari sisi penerimaan negara, IHT juga berkontribusi dalam bentuk Cukai Hasil Tembakau sebanyak Rp218 triliun pada tahun 2022.(AFP/AMAN RAHMAN)

Liputan6.com, Jakarta Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menilai Industri Hasil Tembakau (IHT) memiliki serapan tenaga kerja yang besar dan memiliki dampak ganda yang luas. Maka, dalam menyikapi pasal-pasal tembakau di Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan, diharapkan untuk tidak mengabaikan berbagai aspek tersebut.

“Kita perlu melihat bahwa IHT (Industri Hasil Tembakau) menyerap banyak sekali tenaga kerja, mulai dari petani tembakau, cengkeh, pekerja buruh pabrik, buruh tani, pekerja distribusi, ritel, dan lainnya,” ungkap Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kemenperin, Edy Sutopo dikutip Senin (4/12/2023).

Berdasarkan data Kemenperin, total tenaga kerja yang diserap oleh sektor IHT sebanyak 5,98 juta orang. Selain itu, dari sisi penerimaan negara, IHT juga berkontribusi dalam bentuk Cukai Hasil Tembakau sebanyak Rp218 triliun pada tahun 2022. Jumlah ini hanya cukai, belum termasuk penerimaan negara dari pajak seperti PPh badan maupun tenaga kerja di industri ini.

“Kalau kecenderungan kebijakan ini untuk memperketat, ini bukan tidak mungkin dampak positifnya akan berkurang atau hilang. Dampak negatifnya justu akan bertambah. Hal ini akan mempengaruhi bagaimana pekerja dan penghidupan dari jutaan orang yang menggantungkan hidupnya dari IHT,” jelas Edy.

Sebenarnya, lanjut Edy, kebijakan yang ada berdasarkan peraturan sebelumnya, yaitu PP 109/2012, serta dari kebijakan tarif Cukai Hasil tembakau (CHT), dalam konteks pengendalian, dinilai sudah cukup berhasil dan baik untuk terus dijalankan.

Di kesempatan yang sama, Ketua Umum DPP Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Nicholas Mandey, menegaskan harapan pelaku usaha adalah iklim yang kondusif dalam berbisnis, terutama adanya kemudahan berusaha dan kepastian hukum.

“Hampir 10% dari pendapatan negara pada tahun 2022 adalah dari hasil industri tembakau. Kontribusi devisa negara hampir Rp200 triliun. Ini perlu diperhatikan. Kalau ada pengaturan harus diantisipasi bukan dengan larangan tapi pengendaliannya,” tegasnya.

 


Kemenkeu soal RPP Kesehatan: Cukai Rokok Efektif Tekan Konsumsi

Sejumlah batang rokok ilegal diperlihatkan petugas saat rilis rokok ilegal di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memberi masukan terhadap Rancangan Peraturan Pemerintah turunan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (RPP Kesehatan). Regulasi ini tengah digodok, dimana rencananya akan turut mengatur soal produk tembakau atau rokok.

Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo menilai, kebijakan soal pengenaan cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok sejauh ini sudah cukup efektif untuk menekan angka konsumsi.

Pengenaan cukai rokok sendiri diatur dalam dua regulasi terpisah. Antara lain, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191/2022 tentang perubahan atas PMK Nomor 193/2023 tentang Tarif CHT Berupa Rokok Elektrik dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya.

Kemudian, PMK 191/2022 tentang Perubahan Kedua atas PMK 192/2021 tentang Tarif CHT berupa Sigaret, Cerutu, Rokok Daun atau Klobot, dan Tembakau Iris.

"Dari sisi kami, Kemenkeu meyakini cukai rokok itu instrumen yang selama ini cukup efektif untuk menekan konsumsi dan produksi. Jadi kami melihat dari pengaturan yang ada saat ini, itu sudah cukup memadai," kata Prastowo di Four Seasons Jakarta, Selasa (28/11/2023).

Pertimbangkan Berbagai Aspek

Menurut dia, Kemenkeu sudah mempertimbangkan berbagai aspek dalam menegakkan aturan tersebut. Mulai dari sektor ketenagakerjaan, imbas terhadap sektor industri lain, hingga aspek kesehatan.

"Karena kita kan suka mempertimbangkan berbagai aspek. Contohnya kepekerjaan, lalu keberlangsungan usaha, termasuk switching ke sektor-sektor lain. Itu juga harus kita perhitungkan ya, karena ada roadmap-nya ya.Termasuk tentu yang paling utama adalah kesehatan," terangnya.

Sebagai masukan pada RPP Kesehatan, Prastowo mengatakan, Kemenkeu hanya berwenang untuk urusan teknis seperti mengatur besaran cukai rokok.

"Terkait yang sekarang sudah dilakukan biaya cukai saja.Penindakan terhadap rokok ilegal, lalu mengatur besaran tarif, penggulungan dan sebagainya," ujar Prastowo.

 


Ramai RPP UU Kesehatan Larang Iklan Rokok di Media, Begini Respons Pemerhati

Ilustrasi asap rokok mengandung nikotin yang picu gangguan pendengaran pada bayi Foto: Pexels Pixabay.

Publik tengah ramai menyoroti aturan larangan iklan rokok atau produk tembakau di media online dan penyiaran yang termaktub dalam Rancangan Peraturan Pemerintah Undang-Undang Kesehatan atau RPP UU Kesehatan.

Pada regulasi khususnya terkait pengamanan zat adiktif yang sedang digodok Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI ini, pihak-pihak yang berkecimpung dalam periklanan rokok merasa dirugikan dengan aturan tersebut.

Pemerhati perlindungan anak, Lisda Sundari dari Yayasan Lentera Anak justru heran dengan kabar soal larangan iklan rokok atau produk tembakau di Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Undang-Undang (UU) Kesehatan. Sebab, regulasi ini pun masih berupa rancangan, belum disahkan.

"Disebutkan larangan? Enggak kok, cuma pengetatan saja. Yang iklan rokok di televisi, misalnya, jamnya itu diketatkan dari jam 23.00 sampai 03.00, tadinya kan jam 21.30 sampai 05.00. Nah, tapi kan RPP ini belum disahkan, sehingga seolah-olah ini sudah terjadi dan terdampak. Ini salah satu cara untuk melemahkan aturan-aturan pengendalian tembakau," jelas Lisda kepada Health Liputan6.com saat ditemui di bilangan Jakarta Selatan, Rabu (22/11/2023).

"Misalnya juga soal, oh iklan rokok dilarang di media sosial, ya belum ada aturannya. Jadi kalau bicara dampaknya ya belum ada. Belum ada bukti itu berdampak."

Indonesia Belum Ada Pelarangan Iklan Rokok

Apabila dibandingkan negara lain, lanjut Lisda, sebenarnya Indonesia termasuk salah satu negara di ASEAN yang belum ada pelarangan iklan rokok.

"Kita kalah sama Malaysia, Thailand, Singapura yang sudah melakukan iklan pelarangan rokok secara total. Indonesia tuh belum. Kalau tadi seolah-olah terjadi 'iklan rokok di media dilarang' ya hoaks karena RPP-nya saja belum disahkan," katanya.


RPP UU Kesehatan untuk Cegah Anak Terpapar Zat Adiktif

Ilustrasi rokok. (Photo Copyright by Freepik)

Program Manager Komnas Pengendalian Tembakau (Komnas PT) Nina Samidi sependapat dengan Lisda Sundari. Bahwa tidak ada yang namanya iklan rokok atau produk tembakau yang dilarang.

Substansi RPP UU Kesehatan terkait zat adiktif bertujuan mencegah anak-anak terpapar zat tersebut.

"Benar kata Bu Lisda itu hoaks (iklan rokok dilarang). Tidak ada yang namanya iklan dilarang. Yang dilakukan di RPP ini adalah upaya mencegah anak-anak kita terpapar lebih besar zat adiktif di media yang lebih mudah diakses, yaitu media luar ruang," jelas Nina.

"Ya masa sih kita biarkan iklan di internet, tentunya supaya anak-anak tidak lebih jauh terpapar. Jadi temen-temen asosiasi periklanan itu masih bisa bebas menerima klien, membuat iklan di media pers juga."

(Liputan6.com / Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya