Eks Ketua MK Dorong DPR Pakai Hak Angket Terkait Tudingan Jokowi Minta Setop Kasus E-KTP

Hamdan mengatakan, DPR seharusnya gunakan hak konstitusional menanyakan ini kepada Presiden atau gunakan hak angket.

oleh Tim News diperbarui 05 Des 2023, 01:14 WIB
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Hamdan Zoelva, alam acara Seminar Nasional bertema Aspek Hukum Kelembagaan Pengelolaan Keuangan Haji di Universitas Syiah Kuala Aceh (Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Mantan Ketua Mahakamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva mengaku terkejut mendengar pengakuan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2015-2019 Agus Rahardjo dan Mantan Menteri ESDM Sudirman Said perihal tekanan yang diberikan Presiden Jokowi kepada mereka terkait kasus Setya Novanto.

Ia mendorong agar DPR bertindak. "Saya kaget mendengar pengakuan Agus Raharjo (Ex Ketua KPK), Sudirman Said (Ex ESDM). Ditambah masalah putusan MK. DPR seharusnya gunakan hak konstitusional menanyakan ini kepada Presiden atau gunakan hak angket. Apa betul ada intervensi Presiden atau hanya fitnah?," ujar Hamdan melalui cuitannya di akun X @hamdanzoelva.

Sebelumnya, Agus Rahardjo mengaku pernah diminta oleh Presiden Jokowi untuk menghentikan penanganan kasus korupsi pengadaan KTP elektronik (e-KTP) yang menjerat Setya Novanto atau Setnov.

Saat itu, Setnov menjabat Ketua DPR RI dan Ketua Umum Partai Golkar, partai politik yang pada 2016 lalu bergabung jadi koalisi pendukung Jokowi. Status hukum Setnov sebagai tersangka diumumkan KPK secara resmi pada Jumat, 10 November 2017.

Selain itu, Mantan Menteri ESDM yang kini tergabung dalam tim pemenangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Sudirman Said pun mengungkapkan dirinya pernah dimarahi Presiden Jokowi. Dia menuturkan amarah itu terkait laporan terhadap Setya Novanto ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) soal kasus Freeport yang dikenal dengan kasus 'papa minta saham'.

Sementara itu, suara yang lebih keras muncul dari Pengurus Perhimpunan Bantuan Hukum & Hak Asasi Manusia (PBHI) Julius Ibrani. Aktivis HAM itu mendesak DPR melakukan impeachment atau pemakzulan terhadap Presiden Jokowi.

Dia menduga Jokowi telah melakukan obstruction of justice atau menghalangi penyidikan dalam kasus korupsi megaproyek E-KTP yang melibatkan mantan ketua DPR Setya Novanto.

“Kami menyarankan (Jokowi) di-impeachment, bukan hanya interpelasi. Kami menyarankan DPR RI melakukan impeachment,” ujar Julius kepada media, Minggu (3/12).

Julius menuturkan tidak ada dasar hukum Jokowi bisa memanggil eks Ketua KPK Agus Raharjo untuk bertanya terkait dengan kasus yang sedang ditangani oleh KPK.

“Artinya setiap bentuk pertanyaan terhadap perkara, setiap bentuk intip-intipan terhadap perkara itu harus dianggap sebagai bukan hanya intervensi, tetapi perbuatan menghalang-halangi proses hukum,” ujarnya.

 


Respons Jokowi

Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan pidato dalam sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta, Senin, 3 Juli 2023. (Foto: Instagram @jokowi)

Presiden Joko Widodo atau Jokowi membantah dirinya meminta mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2015-2019, Agus Rahardjo menghentikan kasus korupsi pengadaan e-KTP yang menjerat Setya Novanto. Jokowi mengatakan dirinya justru meminta Setya Novanto mengikuti proses hukum di KPK.

"Ini yang pertama coba dilihat, dilihat di berita tahun 2017 di bulan November saya sampaikan saat itu, 'Pak Novanto, Pak Setya Novanto, ikuti proses hukum yang ada'. Jelasberita itu ada semuanya," kata Jokowi kepada wartawan di Halaman Istana Merdeka Jakarta, Senin (4/12/2023).

Selain itu, kata dia, proses hukum terhadap Setya Novanto tetap berjalan. Bahkan, mantan Ketua DPR RI itu divonis 15 tahun hukuman penjara atas kasus korupsi e-KTP.

"Yang kedua, buktinya proses hukum berjalan. Yang ketiga pak Setya Novanto sudah dihukum divonis dihukum berat 15 tahun," ujarnya.

Jokowi mengaku heran kasus e-KTP tersebut kembali diramaikan di ruang publik. Dia pun bertanya-tanya apa kepentingan dibalik isu intervensi kasus e-KTP.

"Terus untuk apa diramaikan itu, kepentingan apa diramaikan itu, untuk kepentingan apa," jelas Jokowi.

Jokowi juga menegaskan tak ada pertemuan dirinya dengan Agus Rahardjo untuk meminta kasus e-KTP dihentikan. Dia telah meminta Menteri Sekretariat Negara untuk mengecek agenda pertemuan tersebut. Hasilnya, tidak ada agenda pertemuan Jokowi dengan Agus Rahardjo.

"Saya suruh cek, saya sehari kan berapa puluh pertemuan, aya suruh cek di Setneg, enggak ada agenda (bertemu Agus) yang di Setneg. Tolong di cek lagi aja," tutur Jokowi.

 

 

 


Pengakuan Agus Rahardjo

Ketua KPK periode 2019-2023 Firli Bahuri (kiri) bersalaman dengan Ketua KPK periode 2015-2019 Agus Rahardjo usai pelantikan di Istana Negara, Jakarta, Jumat (20/12/2019). Upacara pelantikan lima pimpinan KPK periode 2019-2023 dipimpin langsung Presiden Joko Widodo. (Foto: Biro Pers Setpres)

Melalui program Rosi yang ditayangkan di kanal YouTube Kompas TV pada Jumat 1 Desember 2023, Agus Rahardjo mengungkapkan ia pernah menemui Presiden Jokowi ditemani oleh Menteri Setneg Pratikno.

"Saya terus terang pada waktu kasus e-KTP, saya dipanggil sendirian oleh presiden. Presiden pada waktu itu ditemani oleh Pak Pratikno (Menteri Setneg). Jadi saya heran 'biasanya manggil (pimpinan KPK) berlima ini kok sendirian'. Dan dipanggilnya juga bukan lewat ruang wartawan tapi lewat masjid kecil," ujar Agus, Jumat 1 Desember 2023.

Kemudian, Agus mengungkapkan, saat itu Presiden Jokowi marah dan berteriak padanya dengan kata 'Hentikan'. Agus menjelaskan jika dirinya diminta untuk menghentikan kasus e-KTP yang menjerat Setya Novanto.

"Begitu saya masuk Presiden sudah marah, menginginkan, karena begitu saya masuk beliau sudah teriak "hentikan". Kan saya heran yang dihentikan apanya," ucap dia.

"Setelah saya duduk saya baru tahu kalau yang disuruh dihentikan itu adalah kasus Pak Setnov, Ketua DPR waktu itu mempunyai kasus e-KTP supaya tidak diteruskan," sambung Agus.

Infografis Jokowi dan Keluarga Dilaporkan Kolusi-Nepotisme ke KPK. (Liputan6.com/Abdillah)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya