Liputan6.com, Agam - Erupsi Gunung Marapi yang terjadi pada Minggu (3/12/2023) menyisakan duka bagi banyak orang. Pasalnya, letusan itu mengakibatkan puluhan pendaki terjebak di atas gunung.
Data sementara dari Kantor SAR Padang menyebutkan, dari 75 total pendaki saat erupsi, 49 langsung turun pada hari yang sama erupsi terjadi, kemudian 26 lainnya terjebak di atas Gunung Marapi.
Advertisement
Lalu pada Senin (4/12/2023) tim gabungan berhasil mengevakuasi total 8 orang, 5 orang di antaranya meninggal dunia dan 3 lainnya selamat. Sementara korban lainnya masih dalam upaya evakuasi pada Selasa (5/12/2023).
Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Sumatera Barat, Ade Edward memandang bencana ini seharusnya sudah menjadi bencana nasional. Ia menilai ada unsur kelalaian di balik jatuhnya banyak korban.
"Gunung Marapi ini statusnya waspada level II sejak Agustus 2011, dievaluasi terus dan trennya sama tidak pernah turun," ujarnya kepada Liputan6.com, Selasa (5/12/2023).
Menurutnya Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumbar adalah pihak yang mesti bertanggungjawab atas dampak korban jiwa dalam bencana ini.
Ade menjelaskan, status waspada level II itu, gunung api sewaktu waktu dapat meletus membahayakan manusia. Sehingga Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) mengeluarkan rekomendasi untuk tidak boleh mendekati puncak gunung dala radius 3 kilometer.
"Iya karena tidak ada yang tahu kapan akan meletusnya makanya tidak boleh didekati, tapi oleh BKSDA malah dibuka sebagai wisata," jelasnya.
Ade mengatakan, satu-satunya instansi yang berwenang dalam hal gunung api ialah Kementerian ESDM yakni PVMBG.
Jika ada instansi lain yang membuka dengan tujuan wisata, lanjutnya, maka mitigasi bencananyanya menjadi tidak jelas apalagi jika tidak berkoordinasi dengan pihak terkait.
"Masalahnya dalam pembukaan kawasan ini mulai dari pemerintah daerah, provinsi dan BKSDA setuju untuk pembukaan taman wisata alam yang dikelola BKSDA ini," ujarnya.
Keluarga Korban Bisa Tuntut BKSDA
Ade menilai, BKSDA sudah melanggar ketentuan Undang-Undang 24 Tahun 2007 Penanggulangan Bencana. Pengelolaan Gunung Marapi menjadi tempat wisata, menurut Ade itu di luar kewenangan BKSDA, karena itu geologi dan gunung api.
Ia menyampaikan, pihak keluarga korban yang terdampak atas bencana erupsi Gunung Marapi kali ini bisa melaporkan dan menuntut secara pidana BKSDA Sumbar ke pihak kepolisian.
"Ada kelalaian, bisa dilaporkan dengan pidana oleh keluarga korban," ia menambahkan.
Sementara Plh Kepala BKSDA Sumbar, Eka Dhamayanti mengatakan sebelum pembukaan jalur pendakian Gunung Marapi sebagai Taman Wisata Alam (TWA) pada Juli 2023 ini, pihaknya sudah berdiskusi dengan masyarakat dan pemerintah daerah untuk proses pengelolalan Marapi.
"Dari hasil kesepakatan dengan memperhatikan kondisi aktivitas gunung yang menurun pascaerupsi awal tahun kita memutuskan membuka dengan sistem baru dengan online," katanya.
Namun demikian, kata Eka, karena status waspada level II maka pihaknya melakukan pembatasan dan menerapkan upaya mitigas risiko bencana erupsi dan bencana alam.
"Misalnya mitigas dengan memberi pengarahan dan imbauan, memberikan informasi kepada pengunjung tentang kerawanan bencana serta juga ada papan informasi," ujarnya.
Akan tetap, jelas Eka, pihaknya tidak bisa membatasi ruang gerak pengunjung ketika sudah berada di kawasan TWA. Pihaknya mengaku SOP yang diterapkan sudah mengatur bagaimana perjalanan pendakian sesuai tepat waktu dan keselamatan pengunjung.
Terkait adanya indikasi kelalaian dari BKSDA, Eka menyebut bahwa semuanya proses mulai dari pembukaan TWA sudah melalui pertimbangan.
Lalu terkait adanya rekomendasi dilarang mendekati kawah radius 3 kilometer, Eka menilai hal itu sifatnya imbauan dari PVMBG.
"Imbauan itu juga sudah kita antisipasi dengan upaya mitigasi," ia menambahkan.
Advertisement