Liputan6.com, Denpasar Ketua Forum Komunikasi Desa Wisata (Forkom Dewi) Bali, Made Mendra Astawa menilai bahwa lonjakan jumlah desa wisata di Bali pasca Pandemi Covid-19 dapat menghadirkan alternatif destinasi wisata baru. Sebelumnya, desa wisata yang ada di Bali berjumlah 179 dan usai Pandemi Covid-19 menjadi 238 desa wisata.
“Penambahan itu diharapkan dapat menghadirkan alternatif destinasi yang baru dan dibangun sendiri oleh rakyat,” ujarnya pada Rabu (6/12/2023).
Advertisement
"Penambahan itu menghadirkan tantangan agar desa wisata terus meningkatkan kualitasnya. Saat ini baru ada tiga desa wisata yang masuk golongan mandiri, yakni, desa Panglipuran (Bangli), Tenganan (Karangasem) dan Pemuteran di Buleleng," jelas Mendra.
Ia juga menyebut, terdapat 27 desa berstatus maju dan 110 desa berstatus rintisan. Mendra pun menegaskan, selebihnya masih dalam tahap penataan.
Di sisi lain, lonjakan tersebut pun menghadirkan kebutuhan untuk melakukan pendampingan yang menjadi tugas Forkom Dewi. Mendra mengaku sudah menggandeng para akademisi, pengusaha pariwisata dan pihak asosiasi seperti Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), ASITA dan PUTRI, dan lain-lain.
“Saat ini sangat mudah karena orang di desa pun memiliki handphone dan bisa memanfaatkan media sosial,” ujar Mendra.
"Yang masih menjadi masalah adalah kemampuan membuat narasi atau cerita yang menarik berdasarkan kondisi nyata di desa," jelasnya.
Potensi Beragam
Mendra mengungkapkan bahwa potensi di setiap desa wisata sangat beragam. Ia menyebut, secara umum desa bisa menawarkan keindahan alam dan keunikan suasana.
“Ini yang harus dikemas dari hulu ke hilir disertai dengan peningkatan standar hospitality-nya,” ungkapnya.
Mendra mencontohkan, dirinya pernah mengemas paket perjalanan untuk turis Polandia menuju kawasan Jatiluwih, yang di mana perjalanan justru dilakukan dengan menggunakan bemo. Kemudian turis disambut oleh anak-anak desa dan disuguhi atraksi budaya di desa.
"Ternyata perjalanan semacam itu menjadi pengalaman baru yang menarik. Pun demikian halnya dengan tempat menginap dimana turis tak diinapkan di vila tapi justru di rumah penduduk," katanya.
Di sisi lain, Mendra menjelaskan, terkait persoalan kelembagaan, Desa Wisata saat ini bisa dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) sehingga memiliki legalitas hukum yang jelas. Baginya, pihak desa dapat menginvestasikan dana desa untuk membiayainya dan dapat menarik pendapatan secara resmi.
"Di sejumlah desa ada permasalahan karena selain Desa Dinas, di Bali juga ada lembaga Desa Adat. Selain itu, ada juga Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) yang sudah ada sebelumnya diperkenalkan adanya Desa Wisata," jelasnya.
“Yang seperti ini sebaiknya didiskusikan agar tak terjadi benturan. Juga karena adanya kepentingan bersama untuk memajukan desa,” imbuh Mendra.
Advertisement
Profil Made Mendra Astawa
Sebelum dipercaya sebagai Ketua Forkom Dewi, Made Mendra sudah jatuh bangun di dunia pariwisata Bali. Pria kelahiran 1 Mei 1970 ini, sudah mengawali karirnya sebagai sopir yang mengantar tamu di tahun 1987.
“Tahun itu saya mengalami pengalaman terburuk karena sempat hanyut di laut saat menemani tamu Jepang bermain surfing,” ujar Mendra.
Untungnya dia bisa selamat dan kemudian mengambil kuliah di jurusan pariwisata Polteknik Negeri Bali. Di sinilah Mendra mulai bergaul dengan banyak tamu asing khususnya dengan menjadi Liasion Officer saat-saat konferensi Inetrnasional digelar di Bali.
Mendra pun menuturkan bahwa dirinya sempat bekerja di perusahaan water sport dan akhirnya membuka usahannya sendiri. Namun gara-gara bom Bali 2002, usahanya itu pun bangkrut. Akhirnnya dia bergabung dengan perusahaan milik Ketua Bali Tourism Board (BTB) Ida Bagus Sudibya untuk mengelola destinasi wisata di pedesaan.
Kemudian, Wendra kembali membangun usaha sendiri di bidang travel sekaligus menjadi pengurus Asita Bali. Sampai kemudian dia ditawari untukmengikuti kegiatan Forkom Dewi yang menggelar kegiatan penilaian Desa Wisata pada 2017.
“Dari situlah pengabdian saya dimulai hingga saat ini,” ujar Mendra.
(*)