Liputan6.com, Jakarta - Draf Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) yang menyebut gubernur dan wakil gubernur Jakarta usai tak jadi Ibu Kota bakal ditunjuk oleh presiden atas usulan DPRD tengah menjadi sorotan.
Partai NasDem pun mengeluarkan pernyataan resmi terkait wacana tersebut. Pernyataan bertajuk 'Selamatkan Jakarta dari Tirani Kekuasaan' ini diteken Ketua Umum (Ketum) Partai NasDem Surya Paloh.
Advertisement
Menurutnya, meski Jakarta telah lama menjadi daerah khusus dalam kehidupan bernegara, pembuatan payung hukum baru bagi Jakarta pasca-tidak lagi menjadi Ibu Kota Negara harus dilakukan secara bijaksana.
"Perumusan kebijakan atau undang-undang terkait eksistensi kota Jakarta semestinya dilaksanakan penuh hikmat dan kebijaksanaan, bukan rumusan yang penuh muslihat dan potensial mendatangkan syak wasangka dalam kehidupan demokrasi kita," kata Surya Paloh dalam keterangan tertulis, diterima Kamis (7/12/2023).
Surya Paloh menilai, memberikan status khusus kepada Jakarta lewat RUU DKJ adalah sikap yang penuh hikmat dan kebijaksanaan. Namun, dia memandang penunjukkan gubernur oleh presiden adalah hal yang gegabah.
"Merumuskan klausul bahwa pemilihan kepala daerah khusus ini, khususnya posisi Gubernur DKJ melalui mekanisme pemilihan langsung oleh seorang presiden, adalah sebuah langkah yang gegabah, tidak menikmati kehidupan demokrasi yang telah berlangsung selama hampir 25 tahun ini, serta mencederai rasa keadilan politik warga negara, khususnya warga Kota Jakarta," ucap dia.
Surya Paloh menyampaikan, setelah memerhatikan rumusan RUU DKJ dengan seksama, mendengar masukan berbagai pakar dan ahli, serta aspirasi publik secara umum, maka DPP Partai NasDem menyatakan sikapnya sebagai berikut:
5 Sikap Partai NasDem
1. Memerintahkan Fraksi Partai NasDem untuk menolak RUU DKJ sepanjang klausul mekanisme pemilihan Gubernur DKJ diserahkan langsung kepada pejabat Presiden. Pilkada adalah salah satu mekanisme yang dibangun demi termanifestasikannya demokrasi dalam kehidupan politik kita. Maka tidak sepatutnya praktik politik yang menjadi amanat Reformasi '98 ini diubah dengan semena-mena.
2. Tiap-tiap daerah yang memiliki keistimewaan memiliki kekhususannya masing- masing. Selama ini, posisi gubernur Kota Jakarta serta pemilihan anggota DPRD- nya dilaksanakan melalui mekanisme demokrasi, yakni pilkada. Adapun posisi walikota dan bupati, dipilih dan ditetapkan oleh gubernur terpilih.
Inilah kekhasan yang dimiliki oleh Kota Jakarta selama ini merujuk pada kenyataan wilayah, politik, dan kebutuhan faktualnya sebagai kota terbesar di Tanah Air,
3. Mengetuk nurani dan kepekaan para perumus kebijakan, khususnya pihak eksekutif dan legislatif, untuk mengingat dengan penuh hikmat bahwa demokrasi telah menjadi pilihan kita dalam mengelola sirkulasi kekuasaan.
Oleh karena itu, sudah seharusnya dan sepatutnya, rumusan terkait pelimpahan kekuasaan kepada seseorang yang akan memimpin DKJ dilaksanakan dalam sebuah pemilu sebagaimana telah berlangsung selama ini.
Inilah kebijaksanaan yang telah dihasilkan dari dialektika kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini.
4. Memanggil seluruh warga negara dan anak bangsa untuk senantiasa dan terus menerus berkesadaran politik. Bahwa politik bukanlah semata hak dan kewajiban partai politik, melainkan hak dan kewajiban segenap warga negara
Memilih pemimpin, baik nasional maupun daerah adalah hak setiap warga. Sudah semestinya praktik pilkada langsung yang telah berjalan selama ini, khususnya di Kota Jakarta tetap berlangsung sebagaimana mestinya
5. Mengajak segenap kekuatan prodemokrasi untuk menggugat RUU DKJ selama rumusan pemilihan pemimpin daerahnya mencederai semangat demokrasi dan otonomi daerah sebagai amanat dari Reformasi '98
Advertisement
DPRD Jakarta Tolak Wacana Gubernur Dipilih Presiden
Sejumlah fraksi DPRD DKI Jakarta menolak wacana kebijakan gubernur dipilih langsung oleh presiden usai Ibu Kota berpindah ke IKN, Kalimantan Timur.
Pertama, Ketua Fraksi NasDem DPRD DKI Jakarta Wibi Andrino mengaku tidak setuju dengan kebijakan tersebut. Menurutnya, aturan tersebut merenggut hak rakyat untuk memilih langsung gubernur dan wakil gubernur melalui Pilkada.
"Kami tegas menolak karena ini merenggut hak rakyat untuk memilih pada Pilkada langsung Jakarta," kata Wibi dalam keterangan tertulisnya, Rabu (6/12/2023).
Wibi menambahkan, Pilkada merupakan tempat masyarakat menggunakan hak konstitusinya. Mereka akan menilai rekam jejak tokoh-tokoh untuk memimpin Jakarta ke depan.
"Kami dari NasDem tentu akan memperjuangkan agar gubernur dan wakil gubernur DKI akan dipilih secara langsung melalui pilkada," tambahnya.
Selanjutnya, Fraksi PKS juga dengan tegas menolak. Sekretaris I Fraksi PKS DPRD DKI Jakarta Muhammad Taufik Zoelkifli (MTZ) menilai, kebijakan ini sama seperti orde baru.
"Kalau kembali ditunjuk oleh presiden ya kembali ke order baru dong ya dan juga kemudian ini kok cuma Jakarta doang yang lainnya gimana?" ujar MTZ.
"Jadi lucu nanti Jakarta walaupun bukan Ibu Kota lagi, tapi ternyata khusus Jakarta, gubernurnya ditunjuk presiden. Terlepas dari siapa lagi presiden nanti ya sesudah Pemilu 2024 ya," sambungnya.
Wewenang Presiden Terbatas
Lebih lanjut, MTZ berharap RUU ini dapat diubah sebelum nantinya ditetapkan di waktu yang akan datang.
"Seharusnya teman-teman kita di DPR menolak lah atau mengubah itu kan ini masih rancangan. Mengembalikan ke fungsi yang semula," tambah MTZ.
Senada dengan yang lainnya, Fraksi PDIP pun dengan tegas menolak. Anggota Fraksi PDIP DPRD DKI Jakarta Gilbert Simanjuntak merasa heran dengan munculnya wacana ini.
"Semangat reformasi dan amandemen UUD yang ada semuanya menguatkan otonomi daerah. Salah satu alasan pilkada langsung adalah karena sentralistik orde baru yang mengangkat kepala daerah sehingga isu saat itu adalah militer, Jawa, dan penunjukan Presiden. Sangat aneh apabila sekarang timbul ide neo orba untuk sentralistik," kata Gilbert.
Gilbert pun mengingatkan bahwa Presiden memiliki keterbatasan wewenang, yaitu hanya dapat mengangkat menteri dan duta besar, tetapi gubernur dipilih oleh rakyat.
"RUU ini sangat tidak masuk karena memberi wewenang baru kepada Presiden lewat UU, harusnya lewat amandemen UUD memberi kekuasaan kepada Presiden lebih luas termasuk mengangkat Gubernur," jelas Gilbert.
Advertisement