RPJPD Sumsel 2025-2045 Hadapi Banyak Tantangan, dari Isu Global Hingga Pertumbuhan Penduduk

Draft Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Sumsel 2025-2045 menghadapi tantangan yang besar.

oleh Nefri Inge diperbarui 08 Des 2023, 22:00 WIB
Ilustrasi masalah sosial, kemiskinan. (Photo by Bui Hoang Lien on Unsplash)

Liputan6.com, Palembang - Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Sumatera Selatan (Sumsel) tahun 2025-2045 yang disusun mengalami banyak tantangan yang dihadapi.

RPJDP yang akan dirancang untuk 20 tahun ke depan tersebut, membutuhkan pendalaman dan masukan dari seluruh pemangku kebijakan. Sehingga menjadi rencana yang sesuai dengan kebutuhan, kondisi dan kebijakan nasional.

Hal tersebut diungkapkan Sekretaris Daerah (Sekda) Sumsel Supriyono, saat membuka Forum Konsultasi Publik Rancangan Awal Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Sumsel, di Hotel Novotel Palembang, Rabu (6/12/2023).

Menurutnya, RPJPD Sumsel dihadapkan dalam kondisi tidak menguntungkan. Karena berbagai macam isu, mulai dari isu global, isu lingkungan dan pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali.

“Jika kita pikirkan 20 tahun ke depan, banyak tantangan seperti isu global, emisi karbon, efek rumah kaca, ekonomi hijau, ketidakseimbangan jumlah perempuan dan laki-laki dan lainnya. Dari kondisi inilah, kita bisa menarik program yang luas. Bagaimana memanfaatkan ekonomi hijau ke dalam suatu sistem,” ucapnya dalam kegiatan yang diselenggarakan Bappeda Sumsel berkolaborasi dengan ICRAF Indonesia, Kamis (7/12/2023).

Salah satu yang menjadi tantangan RPJPD Sumsel yakni masalah angka kemiskinan di Sumsel. Di mana, Perpres Nomor 59 berisi tentang kemiskinan yang harus dihapuskan. Namun dalam RPJPN dan RPJPD, masih di tahap menurunkan angka kemiskinan.

Apalagi di Sumsel, angka kemiskinan hingga tahun 2023 mencapai 11,8 persen dari 8 jutaan penduduk di Sumsel atau sekitar 1 jutaan penduduk miskin, bahkan bisa disebut miskin ekstrem.

“Apakah miskin ekstrim bisa dihilangkan atau sangat temporer. Masih bisa diperbaiki atau sama. Jika sama, tidak bisa menghapus miskin ekstrem. Ada satu wilayah yang penduduknya kaya dan menengah ke atas. Tapi kondisi tempatnya tinggal tidak menguntungkan secara geologis, seperti bencana alam, bisa jadi miskin mendadak,” ujarnya.

Menurutnya, rencana menurunkan angka kemiskinan tersebut tidak linier dan ambigu dengan isi Perpres 59. Karena kenyataannya, pemerintah daerah masih berkutat dalam menurunkan kemiskinan.

Lalu, Sumsel dihadapkan pada kondisi di tahun 2045 tentang bonus demografi. Pertumbuhan penduduk hingga 2045 bisa bertambah 68 persen dari jumlah penduduk Sumsel saat ini.

“Angkatan kerja harus bisa diakomodir, bagaimana tenaga kerja bisa dimaksimalkan, seperti program agroforestry. Itu tidak begitu susah, karena ada perkebunan, persawahan hingga peternakan,” katanya.

Untuk sektor perkebunan, diakuinya ada jenis perkebunan monokultur seperti sawit yang tidak bisa dikelola sebagai agroforestry, cuma bisa mengandalkan ternak sapi saja. Namun untuk perkebunan lain seperti kakao, karet dan lainnya, sistem agroforestry bisa dilakukan.

 


Agroforestry Perkebunan

Sekda Sumsel Supriyono (Liputan6.com ./ Nefri Inge)

Dia mencontohkan perkebunan karet di Kabupaten Musi Banyuasin (Muba) Sumsel, yang bisa disimbosiskan dengan tanaman hutan. Contoh perkebunan tersebut yang harus diadopsi oleh pemerintah daerah, bagaimana caranya lahan terbatas bisa dimanfaatkan secara maksimal.

Ekosistem gambut juga tidak boleh diganggu, apalagi jika pemerintah membuka ruang investasi yang masuk. Ekosistem gambut akan terganggu, tutupan wilayah semakin berkurang.

Terlebih di lahan gambut di Sumsel mempunyai kedalaman 1-3 meter, dengan risiko kebakaran hutan dan lahan (karhutla) dan emisi karbon yang tidak bisa dikendalikan jika dirusak.

Tantangan lainnya di tahun 2030 mendatang, tidak bisa lagi mengeksplorasi batubara. Yang berdampak pada angka pengangguran yang tinggi.

“Tidak bisa malku mengeksplorasi karbon, khususnya batubara. Ini sensus internasional, kita akan berhadapan dengan yang cukup besar. Itu yang kami takutkan (angka pengangguran tinggi),” katanya.

Salah satu solusi menekan angka pengangguran, dengan menyerap 68 persen tenaga kerja produktif. Yakni dengan menyusun program vokasi bersama Kementerian Pendidikan.

“Kita menyambut alumni dari SMK atau politeknik agar bisa masuk ke pasar kerja. Program vokasi inilah untuk menciptakan (tenaga kerja produktif),” katanya.


Pertumbuhan Ekonomi Hijau

Feri Johana, Green Growth Planning and Policy Specialist ICRAF Indonesia (Liputan6.com / Nefri Inge)

Untuk itu dia berharap RPJPD Sumsel 2025-2045 bisa memberikan solusi yang terbaik untuk Sumsel, terutama dalam menghadapi tantangan-tantangan besar tersebut.

“Melalui perencanaan jangka panjang yang menjunjung penerapan ekonomi hijau, masyarakat bisa mendorong praktik budidaya yang sesuai tata ruang dan daya dukung wilayah serta pemanfaatan lahan tidur dengan praktik agroforestri guna menunjang perwujudan rencana jangka panjang Sumsel yang berkelanjutan,” ucapnya.

Feri Johana, Green Growth Planning and Policy Specialist ICRAF Indonesia berujar, ICRAF Indonesia merekomendasikan agar Pertumbuhan Ekonomi Hijau (Green Growth Plan, GGP) diintegrasikan ke dalam RPJPD Sumsel 2025-2045.

Ada empat hal yang disampaikan untuk pembangunan Sumsel berkelanjutan, yakni penerapan pembangunan komprehensif dan berkelanjutan melalui pertumbuhan ekonomi hijau dan adanya integrasi rencana pembangunan dengan rencana tata ruang.

“Lalu, perhatian rencana pembangunan terhadap isu yang relevan dan akan ditemui di masa yang akan datang seperti perubahan iklim dan perhatian pada isu spesifik yang menjadi penciri wilayah, seperti potensi lahan gambut dan optimalisasi daya dukung wilayah,” katanya.

Menurutnya, Sumsel perlu mendorong pengembangan sektor berbasis lahan sebagai kekuatan ekonomi wilayah. Yang meliputi optimalisasi sumber daya alam, seperti melalui peningkatan produktivitas dan hilirisasi yang perlu memperhatikan karakteristik spesifik wilayah.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya