Larangan Iklan Rokok Berpotensi Matikan Industri Kreatif

Industri kreatif dinilai akan sangat terdampak pada sejumlah larangan bagi produk tembakau. Salah satunya soal rencana larangan iklan rokok.

oleh Septian Deny diperbarui 09 Des 2023, 14:15 WIB
Sejumlah batang rokok ilegal diperlihatkan petugas saat rilis rokok ilegal di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Industri kreatif dinilai akan sangat terdampak pada sejumlah larangan bagi produk tembakau. Salah satunya soal rencana larangan iklan rokok.

Adanya larangan tersebut berpotensi menciptakan gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) masal bagi sejumlah industri kreatif.

Wakil Ketua Dewan Periklanan Indonesia (DPI), Janoe Arijanto, mengungkap bahwa berbagai pelarangan memberatkan industri kreatif dan periklanan.

Hal ini menurutnya didasarkan beberapa hal. Pertama, adanya larangan beriklan hampir 100% di platform online. Padahal, platform media digital dikatakannya bisa efektif untuk kebutuhan personalisasi, memilih segmen, serta memilih siapa konsumen siapa yang dituju.

"Jadi kalau mau ke (usia) 18 ke atas atau di daerah tertentu, atau bahkan di jam tertentu itu bisa (dipersonalisasi), tapi malah dilarang," ujarnya.

Kedua, larangan tersebut juga akan membuat produk olahan tembakau tidak dapat menempatkan iklan di berbagai event, seperti musik, budaya dan sebagainya.

Pengurangan Jam

Selanjutnya, iklan produk tembakau juga mengalami pengurangan jam dalam iklan. Iklan yang sebelumnya dapat dimulai pukul 21.30 WIB, juga akan mundur menjadi 23.30 WIB hingga 3.00 WIB.

"Itu jam hantu, gak ada yang nonton," tambah Janoe.

Hal ini tentunya juga akan menjadi kerugian secara finansial untuk pengusaha dan karyawan yang bekerja di industri kreatif yang mencapai 800 ribu orang. Dia mencatat, pemasukan media paling utama atas iklan produk tembakau bisa mencapai Rp 9 triliun.

Janoe juga mengungkapkan bahwa para pencetus kebijakan tersebut belum pernah melibatkan DPI untuk berdiskusi. Padahal, pihaknya sudah sering mengajak untuk berdiskusi, namun selalu menghadapi tantangan untuk bertemu.


Larangan Penjualan Rokok Eceran Ancam Pekerja Sektor Tembakau

Ratusan buruh Indonesia bekerja di pabrik tembakau memproduksi rokok kretek di Malang Jawa Timur, (24/6/2010). (AFP/AMAN RAHMAN)

Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) ikut menyoroti soal rencana larangan penjualan rokok eceran dan larangan iklan, promosi, dan sponsor produk tembakau. Aturan ini dinilai akan turut berdampak pada pekerja di industri hasil tembakau (IHT).

Hal ini lantaran dinilai akan mematikan keberlangsungan mata pencaharian dari jutaan orang yang menggantungkan hidupnya di industri tembakau.

Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Kemnaker, Indah Anggoro Putri mencontohkan soal rencana larang penjualan rokok eceran dan memajang rokok di tempat penjualan.

“Berdasarkan data BPS, ada 25 juta pekerja yang akan terdampak dari larangan tersebut," kata dia dikutip Selasa (5/12/2023).

Kemudian, terkait larangan iklan, promosi, dan sponsor produk tembakau. Ini juga dinilai akan berdampak negatif terhadap para pekerja lintas sektor dan industri, termasuk industri periklanan.

“Yang jelas kami dari Kemnaker khawatir akan ada pengurangan tenaga kerja, tidak hanya di IHT, tapi juga di periklanan, khususnya di produksi iklan,” tambahnya.

 


Tak Dilibatkan

Industri rokok telah menyumbang kontribusi ekonomi terbilang besar. Tahun lalu saja, cukai hasil tembakau (CHT) mencapai Rp139,5 triliun.

Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Periklanan Indonesia (DPI), Janoe Arijanto, mengaku pihaknya dan asosiasi periklanan dan media kreatif lainnya tidak pernah dilibatkan dalam diskusi perumusan dalam aturan tersebut. Sementara, potensi dampak dari aturan tersebut terus menghantui keberlangsungan industri.

“Kawan yang bergerak di industri kreatif jumlahnya kurang lebih 800 ribu tenaga kerja. Sementara, iklan produk tembakau sendiri kontribusinya bisa mencapai Rp9 triliun. Bayangkan bila aturan ini diberlakukan, kawan di billboard juga tidak bisa menayangkan iklan produk tembakau dan pendapatannya akan berkurang cukup signifikan,” keluh Janoe.

Janoe mengatakan, industri periklanan dan media kreatif telah mematuhi etika periklanan yang berlaku (PP 109/2012), termasuk mengatur bagaimana rokok harus diiklankan dan diatur, seperti aturan yang tidak boleh memperlihatkan aktivitas merokok dan tidak boleh ditonton oleh anak di bawah umur 18 tahun.

 

Infografis Pro-Kontra Larangan Iklan Rokok di Internet. (Liputan6.com/Abdillah)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya