Presiden China Xi Jinping Sebut Pemulihan Ekonomi Masih Tahap Kritis

Presiden China Xi Jinping mendorong langkah-langkah untuk meningkatkan perekonomian.

oleh Agustina Melani diperbarui 09 Des 2023, 17:11 WIB
Presiden China Xi Jinping mengatakan, pemulihan ekonomi China “masih berada pada tahap kritis”.(AP Photo/Mark Schiefelbein)

Liputan6.com, Jakarta - Presiden China Xi Jinping mengatakan, pemulihan ekonomi China "masih berada pada tahap kritis". Hal ini seiring lesunya aktivitas domestik dan masalah sektor properti menyeret pemulihan setelah pandemi COVID-19.

Dikutip dari Channel News Asia, Sabtu (9/12/2023), China catat pertumbuhan ekonomi yang moderat 4,9 persen pada kuartal III 2023. Pertumbuhan ini sedikit di bawah target lima persen yang ditetapkan Beijing. Ini salah satu target terendah dalam beberapa tahun terakhir.

"Saat ini, pemulihan ekonomi negara ini masih berada pada tahap kritis,” ujar Xi Jinping pada pertemuan Politburo Partai Komunis.

Xi mendesak langkah-langkah untuk meningkatkan perekonomian. Ia menuturkan, situasi pembangunan yang dihadapi negara ini rumit dengan meningkatnya faktor-faktor buruk dalam lingkungan politik dan ekonomi internasional.

"Penting untuk fokus pada percepatan pembangunan sistem industri modern, memperluas permintaan domestik dan mencegah dan mengurangi risiko,” ujar Xi.

Xi juga menekankan perlunya memperkuat “kemandirian di sektor ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mempercepat pembangunan tata letak baru.

Pejabat telah berjuang untuk mempertahankan pemulihan ekonomi dampak pandemi COVID-19, bahkan setelah hapus tindakan pembatasan yang ketat pada akhir 2022.

Ekspor naik pada November 2023 untuk pertama kalinya dalam tujuh bulan meski angka tersebut dibandingkan dengan angka lebih rendah dari tahun lalu saat dampak kebijakan COVID-19 teratas.

Ekspor China yang selama ini menjadi pendorong utama pertumbuhan, sebagian besar telah mengalami penurunan sejak Oktober lalu, kecuali pemulihan jangka pendek pada Maret dan April.

Penurunan impor yang mengejutkan pada November menunjukkan lemahnya aktivitas konsumen di dalam negeri.

 


Sektor Properti Jadi Hambatan

Warga yang memakai masker melintasi persimpangan di Beijing, China, Jumat (2/12/2022). Lebih banyak kota melonggarkan pembatasan, memungkinkan pusat perbelanjaan, supermarket, dan bisnis lainnya dibuka kembali menyusul protes akhir pekan lalu di Shanghai dan daerah lain di mana beberapa orang menyerukan Presiden Xi Jinping untuk mengundurkan diri. (AP Photo/Ng Han Guan)

Lembaga pemeringkat internasional Moody’s pada Selasa, 5 Desember 2023 menurunkan prospek peringkat kredit negara itu menjadi negatif dari stabil. Hal ini dengan alasan risiko penurunan yang luas terhadap kekuatan fiskal, ekonomi dan institusi.

Kementerian Keuangan China mengatakan, pihaknya kecewa dengan Keputusan Moody’s. Pemerintah juga menambahkan, kalau kekhawatiran terhadap perekonomian China tidak perlu.

Namun, kesengsaraan di sektor properti yang merupakan salah satu pertumbuhan tradisional telah memperburuk kekhawatiran.

Sektor real estate China yang terperosok dalam krisis utang yang parah dengan beberapa pengembang terbesar di China berutang ratusan miliaran dolar Amerika Serikat dan terancam bangkrut.

Pihak berwenang berada dalam kondisi tegang karena kekhawatiran utang memicu ketidakpercayaan pembeli, anjloknya harga rumah, dan yang terpenting mengancam akan berdampak pada sektor lain.

Adapun sektor konstruksi dan real estate menyumbang sekitar seperempat produk domestik bruto (PDB) China. Ekonom Nomura, Ting Lu menuturkan, masalah properti menjadi hambatan terbesar yang pengaruhi ekonomi China.


S&P: Ekonomi China Loyo, India Bakal Pimpin Pertumbuhan Asia Pasifik

Ilustrasi ekonomi. (Photo created by rawpixel.com on www.freepik.com)

Sebelumnya diberitakan, ketika perekonomian Tiongkok melambat, mesin utama pertumbuhan Asia-Pasifik diperkirakan akan beralih ke kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara.

Hal itu diungkapkan oleh lembaga pemeringkat S&P Global.

Melansir CNBC International, Jumat (1/12/2023) S&P memperkirakan ekonomi India akan semakin menguat dalam tiga tahun ke depan, memimpin pertumbuhan di kawasan Asia-Pasifik.

S&P meramal, PDB India untuk kuartal pertama 2024 diperkirakan mencapai 6,4 persen, lebih tinggi dari perkiraan mereka sebelumnya sebesar 6 persen.

S&P mengaitkan perubahan ini dengan peningkatan konsumsi domestik India yang menyeimbangkan inflasi pangan yang tinggi dan aktivitas ekspor yang buruk.

Demikian pula, negara-negara berkembang lainnya seperti Indonesia, Malaysia dan Filipina diperkirakan akan mengalami pertumbuhan PDB yang positif pada tahun ini dan tahun depan karena kuatnya permintaan domestik.

Namun, S&P menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonomi India menjadi 6,5 persen pada tahun fiskal 2025, turun dari prediksi mereka sebelumnya sebesar 6,9 persen.

Ekonomi India diperkirakan akan naik kembali menjadi 7 persen pada tahun fiskal 2026.

Sebagai perbandingan, pertumbuhan Tiongkok diperkirakan sebesar 5,4 oersen pada tahun 2023, 0,6 persen lebih tinggi dari perkiraan S&P sebelumnya.

Sementara pertumbuhan pada tahun 2024 diperkirakan sebesar 4,6 persen, lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya sebesar 4,4 persen.

"Persetujuan Tiongkok baru-baru ini terhadap penerbitan obligasi negara senilai 1 triliun renminbi Tiongkok (RMB) dan tunjangan bagi pemerintah daerah untuk memenuhi sebagian kuota obligasi tahun 2024, berkontribusi terhadap perkiraan pertumbuhan PDB riil kami," kata S&P dalam catatannya.

 


Sektor Real Estate

Ilustrasi Properti (Unsplash/Tierra Mallorca)

Namun, S&P memperingatkan bahwa gejolak di sektor real estat Tiongkok akan terus menjadi ancaman bagi perekonomiannya.

"Permintaan terhadap properti baru masih lesu, sehingga mempengaruhi arus kas pengembang dan penjualan lahan," kata Eunice Tan, kepala penelitian kredit Asia-Pasifik di S&P Global.

"Di tengah terbatasnya likuiditas, kendaraan pembiayaan pemerintah daerah (LGFV) yang memiliki banyak utang dapat menyebabkan tekanan kredit semakin meningkat dan berdampak pada posisi permodalan bank-bank Tiongkok," jelasnya.

Dampak Konflik Israel-Hamas

Terlepas dari optimisme S&P di Asia-Pasifik, guncangan energi akibat konflik Israel-Hamas dan risiko penurunan ekonomi AS menyebabkan lembaga S&P menurunkan perkiraannya untuk wilayah tersebut (tidak termasuk Tiongkok) tahun depan menjadi 4,2 persen dari 4,4 persen.

 

Infografis Bank Dunia Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Bakal Terjun Bebas. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya