Liputan6.com, Washington, DC - Pemerintahan Joe Biden mengatakan pada Sabtu (9/12/2023), pihaknya telah menyetujui penjualan hampir 14.000 butir amunisi tank senilai lebih dari USD 106 juta ke Israel ketika negara itu mengintensifkan operasi militernya di Jalur Gaza Selatan.
Langkah ini diumumkan ketika permintaan pemerintahan Biden atas paket bantuan senilai hampir USD 106 miliar untuk Ukraina, Israel, dan keamanan nasional lainnya mandek di Kongres.
Advertisement
Beberapa anggota parlemen dari Partai Demokrat telah menggarisbawahi bahwa usulan bantuan Amerika Serikat (AS) senilai USD 14,3 miliar untuk Israel bergantung pada langkah nyata pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengurangi korban sipil di Jalur Gaza. Demikian seperti dilansir AP, Senin (10/12).
Kementerian Luar Negeri AS menyebutkan pihaknya memberi tahu Kongres tentang penjualan tersebut pada Jumat (8/12) malam setelah Menteri Luar Negeri Antony Blinken menetapkan keadaan darurat yang memerlukan penjualan segera amunisi demi kepentingan keamanan nasional AS.
Itu berarti pembelian tersebut mengabaikan persyaratan peninjauan Kongres atas penjualan peralatan militer ke pihak asing. Menurut AP, keputusan semacam itu jarang terjadi, namun bukan pula hal baru, terutama ketika pemerintah melihat adanya kebutuhan mendesak akan pengiriman senjata tanpa menunggu persetujuan anggota parlemen.
"AS berkomitmen terhadap keamanan Israel dan sangat penting bagi kepentingan nasional AS untuk membantu Israel mengembangkan dan mempertahankan kemampuan pertahanan diri yang kuat dan siap pakai. Penjualan yang diusulkan ini konsisten dengan tujuan tersebut," ungkap Kementerian Luar Negeri AS. "Israel akan menggunakan peningkatan kemampuan tersebut sebagai pencegah ancaman regional dan memperkuat pertahanan dalam negerinya."
Langkah Tidak Biasa
Penjualan tersebut tepatnya bernilai USD 106,5 juta atau sekitar Rp1,6 triliun. Perlengkapannya sendiri akan berasal dari inventaris Angkatan Darat AS.
Melangkahi Kongres lewat keputusan darurat untuk penjualan senjata adalah langkah tidak biasa yang di masa lalu mendapat penolakan dari anggota parlemen, yang biasanya memiliki jangka waktu untuk mempertimbangkan usulan transfer senjata dan dalam beberapa kasus, memblokirnya.
Advertisement
Pernah Digunakan Era Trump dan Bush Sr.
Pada Mei 2019, menteri luar negeri AS saat itu Mike Pompeo membuat keputusan darurat untuk penjualan senjata senilai USD 8,1 miliar ke Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Yordania setelah jelas bahwa pemerintahan Donald Trump akan kesulitan mengatasi kekhawatiran anggota parlemen mengenai perang di Yaman yang dipimpin Arab Saudi-Uni Emirat Arab.
Pompeo mendapat kecaman keras atas tindakan tersebut, yang diyakini sebagian orang mungkin melanggar hukum karena banyak senjata yang terlibat belum dibuat dan tidak dapat dikirimkan segera. Namun, dia dibebaskan dari segala kesalahan setelah penyelidikan internal.
Setidaknya empat pemerintahan telah menggunakan otoritas tersebut sejak tahun 1979. Presiden George H.W. Pemerintahan Bush menggunakannya selama Perang Teluk untuk mengirim senjata dengan cepat ke Arab Saudi.