Liputan6.com, Jakarta - Gunung Marapi dan Merapi, menjadi dua gunung berapi aktif yang memiliki kemiripan nama. Namun, tak hanya sekadar mirip namanya, kedua gunung berapi tersebut mengalami letusan yang berdekatan pada seminggu terakhir ini. Lantas, seberapa sering kedua gunung api ini erupsi?
Terbaru, Gunung Marapi berketinggian 2.891 mdpl yang terletak di Sumatera Barat mengalami erupsi pada Mingu (3/12/2023). Sejak Agustus 2011, Gunung Marapi berada pada level II atau Waspada dan menunjukkan aktivitas vulkanik yang perlu diawasi secara rutin.
Advertisement
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPNB) melalui laman resminya memaparkan letusan Marapi pada Minggu lalu ditandai dengan adanya muntahan kolom abu berisi material vulkanik hingga 3.000 meter dari puncak kawah yang disertai suara gemuruh.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) mencatat aktivitas vulkanik gunung Marapi pada awal tahun 2023 didominasi oleh terjadinya erupsi eksplosif yang berlangsung sejak 7 Januari 2023 sampai 20 Februari 2023 dengan tinggi kolom erupsi berkisar antara 75–1000 meter dari puncak.
Selanjutnya, erupsi berhenti dan aktivitas kegempaan lebih didominasi oleh Gempa Tektonik Lokal dan Tektonik Jauh. Tingkat aktivitas pada saat ini berada pada Level II (WASPADA) sejak 3 Agustus 2011. "Kejadian erupsi tanggal 3 Desember 2023 Pukul 14.54 WIB tidak didahului oleh peningkatan gempa vulkanik yang signifikan. Tercatat Gempa Vulkanik-Dalam (VA) hanya terekam 3 kali antara tanggal 16 November 2023-2 Desember 2023," sebut keterangan resmi PVMBG.
Ironisnya, letusan Marapi Minggu (3/12/2023) sekitar pukul 14.54 WIB ini telah memakan korban jiwa. Sebanyak 23 pendaki gunung Marapi tewas karena letusan yang dikatakan sebagai "tiba-tiba" ini. PVMBG sebelumnya pernah memaparkan ada gejala peningkatan aktivitas vulkanik Gunung Marapi yang dapat terjadi erupsi serta bersifat eksplosif.
Hal ini sudah berlangsung sejak Januari 2023 sehingga gunung api ini tetap berstatus di level II (level Waspada). Sebab, sewaktu-waktu dapat erupsi seperti yang terjadi Minggu silam. Kendati demikian, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Barat tetap membuka kembali jalur pendakian ke Marapi pada 24 Juli 2023 lalu.
Sejarah letusan gunung yang terletak di Kabupaten Agam dan Tanah Datar, Sumatera Barat ini memang sudah terjadi pada era 1800-an. Keterangan tertulis dari Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, mencatat Gunung Marapi mengalami letusan pada 8 September 1830 dan mengeluarkan awan pekat berbentuk kembang kol abu-abu kehitaman, dengan ketinggian 1.500 meter di atas kawah, disertai dengan suara gemuruh.
Sumber lain mencatat erupsi Marapi telah terjadi pada tahun 1822 hingga mengeluarkan lava. Bahkan, pada tahun 1807 Gunung Marapi telah aktif beraktivitas mengeluarkan kepulan asap vulkanik. Redaksi mengimpun informasi bahwa Gunung Marapi sejak era 1800 hingga Desember 2023 telah mengalami sebanyak lebih dari 50 kali aktivitas vulkanik. Di mana letusan eksplosif di antaranya terjadi pada tahun 1987, 1988, 1989, 1990. Kemudian, Oktober 2005 terjadi letusan abu hampir setiap hari dan kembali erupsi pada 2017 dan Januari 2023.
Sementara itu, selang beberapa hari sejak Minggu (3/12/2023) gunung lain yang bernama mirip, yakni Merapi juga mengalami peningkatan aktivitas vulkanik. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut aktivitas vulkanik Gunung Merapi di perbatasan Jawa Tengah dan Yogyakarta itu masih tinggi. Kondisi itu berpotensi menimbulkan guguran lava dan awan panas di sektor selatan dan barat daya serta tenggara.
"Aktivitas vulkanik Gunung Merapi masih cukup tinggi berupa erupsi efusif. Keadaan ini berpotensi menghasilkan guguran lava dan awan panas pada sektor selatan-barat daya serta sektor tenggara," kata Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari dikutip Minggu (10/12/2023).
Gunung Merapi selama ini memang dikenal sebagai gunung yang sangat aktif. Laman resmi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan berdasarkan data yang tercatat sejak tahun 1600-an, Gunung Merapi telah meletus lebih dari 80 kali. Jika dihitung, gunung ini rata-rata sekali meletus dalam 4 tahun.
Letusan Gunung Merapi yang terletak di Sleman, Magelang, Boyolali, dan Klaten ini memang kerap terjadi, baik letusan kecil maupun besar. Misalnya letusan dasyat pada tahun 1930 dengan total korban tewas mencapai 1.369 orang. Letusan ini juga meluluhlantakkan berhektar-hektar lahan pertanian dan rumah penduduk. Kemudian, Merapi kembali meletus pada tahun 1954 dan menyebabkan korban tewas hingga 60 jiwa.
Letusan Merapi kembali terjadi pada tahun 1961 dan menjadi salah satu yang terparah. Letusan ini menyebabkan hujan abu yang membuat Kabupaten Sleman dan sekitarnya gelap gulita. Lalu, tahun 2006 Merapi kembali meletus dan pada 2010 erupsi Merapi menjadi sejarah kelam.
Letusan gunung setinggi 2.930 mdpl ini menjadi yang terbesar dalam 100 tahun terakhir. Letusan tahun 2010 menyebabkan 337 orang meninggal dunia, termasuk di dalamnya juru kunci Merapi, Raden Ngabehi Surakso Hargo atau dikenal sebagai Mbah Maridjan. Terakhir, sejak tahun 2021, gunung Merapi berada pada status Siaga.
Balai Penyelidikan Dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi atau BPPTKG Yogyakarta menyatakan hingga jelang akhir tahun 2023 ini, aktivitas vulkanik Gunung Merapi masih cukup tinggi yang ditandai aktivitas erupsi efusif.
Status aktivitas Gunung Merapi pun hingga kini masih ditetapkan dalam Level III atau Siaga, alias belum turun atau naik ke level di bawah atau di atasnya sejak dinaikkan pertama pada November 2020 silam. Kepala BPPTKG Yogyakarta Agus Budi Santoso mengatakan Gunung Merapi memasuki masa erupsi efusif dengan tipe erupsi Tipe Merapi sejak tanggal 4 Januari 2021.
"Sejak memasuki masa erupsi efusif, tercatat sebanyak 512 kejadian awan panas guguran di Gunung Merapi," katanya, Sabtu (9/12/2023).