Liputan6.com, Jakarta - Mendaratnya pengungsi Rohingya di Indonesia, tepatnya di Provinsi Aceh, dalam beberapa bulan terakhir tengah menjadi sorotan, baik dari publik maupun pemerintah. Ini lantaran banyaknya jumlah pengungsi yang datang dan kehadiran mereka dinilai cukup mengganggu warga lokal Aceh. Terlebih, ini bukan kali pertama mereka menepi di Indonesia dan meminta bantuan.
Sebelumnya, badan pengungsi PBB (UNHCR) mengatakan bahwa 1.200 orang Rohingya, minoritas yang teraniaya dari Myanmar, telah mendarat di Indonesia sejak November 2023. Terbaru, kepala komunitas nelayan Aceh mengatakan perahu-perahu bobrok yang membawa sekitar 400 pengungsi etnis Rohingya tiba di Aceh pada Minggu (10/12/2023).
Advertisement
Perdebatan mengenai posisi Indonesia menghadapi kehadiran pengungsi tersebut pun tengah bergulir.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pernyataannya pada Senin (11/12) mengatakan bahwa, pengungsi Rohingya yang terdampar di Indonesia akan ditampung sementara. Namun, dia tak menjawab di mana para pengungsi Rohingya akan ditampung.
Di sisi lain, Wakil Presiden (Wapres) RI, Ma'ruf Amin membuka kemungkinan untuk menampung para pengungsi tersebut di Pulau Galang, Provinsi Kepulauan Riau.
Terlepas dari itu, Indonesia perlu melakukan langkah jangka panjang dalam menangani kedatangan para pengungsi Rohingya. Dalam hal ini, pemerintah Indonesia bisa melakukan sejumlah hal, termasuk merelokasi pengungsi, kemudian melakukan upaya di tingkat nasional, regional hingga internasional.
Pertama, pemerintah Indonesia dapat menerapkan beberapa solusi bagi pengungsi Rohingya seperti kembali ke negara asal dengan sukarela (voluntary repatriation), penempatan di negara ketiga dan integrasi sosial-ekonomi.
Kedua, dalam tingkat nasional, Indonesia dapat melakukan perubahan dan perbaikan Perpres 125 tahun 2016, yang mengatur tentang penanganan pengungsi dari luar negeri.
"Selain itu, diperlukan pengaturan bantuan logistik darurat kepada pemerintah daerah yang menangani kedatangan pengungsi Rohingya," tutur Pengamat sekaligus Anggota Human Rights Resource for ASEAN, Rafendi Djamin, dalam diskusi oleh BRIN, Senin (11/12).
Ketiga, dalam tingkat regional, Rafendi menyebut Indonesia sebagai ketua ASEAN tahun 2023, dapat memanfaatkan kerja sama antara negara-negara Asia Tenggara.
"Dari segi penanganan kejahatan lintas negara dengan meneruskan kepemimpinan di tingkat ASEAN, Indonesia dapat membentuk working group baru khusus untuk menangani people smuggling atau penyelundupan manusia," sambungnya.
Lebih jauh, Indonesia juga dapat mendorong AHA Center unuk menyalurkan bantuan kemanusiaan bagi pencari suaka dan mengambil alih kepemimpinan dalam negosiasi penyelesaian krisis Rohingya melalui ASEAN.
Keempat, dalam tingkat internasional, Rafendi mengatakan bahwa Indonesia dapat meneruskan komitmen dan program pemberdayaan pengungsi untuk mempercepat penempatan di negara ketiga.
Sejarah Kelompok Rohingya Cari Perlindungan di Berbagai Negara
Rohingya adalah kelompok etnis muslim dari Myanmar yang mengalami diskriminasi dan persekusi selama beberapa generasi.
"Mereka tidak diakui sebagai warga negara Myanmar dan merupakan populasi tanpa warga negara (stateless) terbesar di dunia," jelas advokat dari Jesuit Refugee Service (JRS) Gading Gumilang Putra, dalam forum diskusi yang sama.
Gading menjelaskan secara singkat bagaimana sejarah masyarakat Rohingya tersebar untuk mencari perlindungan.
Bermula pada tahun 1977, lebih dari 200 ribu pengungsi kehilangan kewarganegaraan dan membuat mereka mengungsi ke Bangladesh. Kemudian pada tahun 1992, akibat terjadinya serangan militer yang berujung pada kerja paksa hingga pembunuhan, lebih dari 250.000 orang mengungsi ke Bangladesh sehingga terbentuk lebih dari 20 kamp pengungsian di Cox Bazaar. Pada tahun 2006, dari 20 kamp, hanya tersisa dua kamp di Nayapara dan Kutapalong. Kondisi kamp sangat memprihatinkan, di mana lebih dari 50 persen anak-anak dan dewasa kekurangan gizi. Kondisi mereka juga diperparah dengan banjir.
Pada tahun 2016, dengan dalih penyerangan milisi ke pos polisi, kampanye anti Rohingya dilakukan dengan kekerasan dan mengakibatkan kematian lebih dari 6.700 orang. Hingga puncaknya pada kejadian kudeta militer yang terjadi di tahun 2021, kondisi kamp pengungsian semakin buruk karena adanya kekerasan hingga kebakaran, membuat mereka hanya bisa mengandalkan bantuan internasional.
Advertisement
Meningkatnya Gelombang Kedatangan Pengungsi pada November-Desember 2023
Gilang menyebut bahwa tingkat kedatangan pengungsi Rohingya meningkat dan lebih intensi dibanding tahun sebelumnya karena kondisi yang memburuk di Bangladesh.
Selain itu, berita yang tersebar di media sosial membuat situasi semakin panas, termasuk soal adanya penolakan, kebencian dan banyaknya hoaks yang tersebar.
"Dampaknya langsung terlihat di lapangan. Kapal yang sudah mendarat tidak mendapat respon yang biasanya terjadi secara ad hoc maupun sesuai Perpres," kata Gilang.
"Bahkan, pengungsi yang sudah mendarat, diminta kembali naik ke kapal," sambungnya.
Kewajiban Pemerintah Indonesia
Dalam perspektif HAM, sebut Rafendi, para pengungsi Rohingya berupaya mencari perlindungan internasional.
"Komunitas Rohingya ini mempunyai hak mencari perlindungan internasional di bawah dasar hukum HAM dan Humaniter Internasional yaitu konvensi Perlindungan Pengungsi (Refugee Convention 1951) dan protokolnya, serta semua Konvensi HAM Internasional PBB," tutur Rafendi.
Maka dari itu, pemerintah Indonesia sebagai pemegang kewajiban harus melaksanakan konvensi HAM internasional yang telah diratifikasi dan menjadi bagian dari kerangka hukum nasional.
"Semua tingkat pemerintah, baik pusat maupun daerah, memiliki tanggung jawab HAM internasional yang sama," imbuhnya.
Advertisement