Liputan6.com, Jakarta Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bakal menerapkan kenaikan tarif cukai rokok pada 2024, tahun depan. Hal ini dikhawatirkan akan meningkatkan pemborongan cukai rokok menjelang tutup tahun.
Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai, Nirwala Dwi Heryanto menerangkan, pemborongan (forestalling) pita cukai rokok tidak akan terjadi di penghujung tahun ini. Mengingat, aturan kenaikam cukai rokok sudah ditetapkan sejak tahun lalu.
Advertisement
"Forestalling segala macam itu kan sebetulnya dipicu oleh kebijakan yang ditunggu-tunggu gak keluar-keluar kan," kata dia di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (12/12/2023).
"Kalau ini kan sudah ditetapkan di PMK 192/2022 kan, jadi mereka sudah memperhitungkan itu, jadi gak perlu forestalling kalau itu," sambung Nirwala.
Diketahui, ketentuan kenaikan tarif cukai rokok tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomo 192 Tahun 2022 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/PMK.010/2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Rokok Elektrik dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya.
Dalam beleid itu, cukai rokok naik sebesar 10 persen di 2024. Hal yang sama yang sudah terjadi di 2023.
Nirwala menegaskan, kalau batas waktu pelekatan pita cukai rokok dilakukan paling lambar 1 Februari 2024. Dengan begitu, jika produsen ingin mengambil keuntungan melalui pengambilan pita cukai 2023, hanya berselang satu bulan. "Kalau ini kan ngambil keuntungan istilahnya tarifnya kan hanya bulan Januari (2024) aja kan, batas pelekatan kita kan sampai 1 Februari (2024) aja, jadi gak terlalu ini," pungkasnya.
Tarif Cukai Rokok Berhasil Tekan Konsumsi
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memberi masukan terhadap Rancangan Peraturan Pemerintah turunan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (RPP Kesehatan). Regulasi ini tengah digodok, dimana rencananya akan turut mengatur soal produk tembakau atau rokok.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo menilai, kebijakan soal pengenaan cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok sejauh ini sudah cukup efektif untuk menekan angka konsumsi.
Pengenaan cukai rokok sendiri diatur dalam dua regulasi terpisah. Antara lain, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191/2022 tentang perubahan atas PMK Nomor 193/2023 tentang Tarif CHT Berupa Rokok Elektrik dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya.
Kemudian, PMK 191/2022 tentang Perubahan Kedua atas PMK 192/2021 tentang Tarif CHT berupa Sigaret, Cerutu, Rokok Daun atau Klobot, dan Tembakau Iris.
"Dari sisi kami, Kemenkeu meyakini cukai rokok itu instrumen yang selama ini cukup efektif untuk menekan konsumsi dan produksi. Jadi kami melihat dari pengaturan yang ada saat ini, itu sudah cukup memadai," kata Prastowo di Four Seasons Jakarta, Selasa (28/11/2023).
Advertisement
Pertimbangkan Berbagai Aspek
Menurut dia, Kemenkeu sudah mempertimbangkan berbagai aspek dalam menegakkan aturan tersebut. Mulai dari sektor ketenagakerjaan, imbas terhadap sektor industri lain, hingga aspek kesehatan.
"Karena kita kan suka mempertimbangkan berbagai aspek. Contohnya kepekerjaan, lalu keberlangsungan usaha, termasuk switching ke sektor-sektor lain. Itu juga harus kita perhitungkan ya, karena ada roadmap-nya ya.Termasuk tentu yang paling utama adalah kesehatan," terangnya.
Sebagai masukan pada RPP Kesehatan, Prastowo mengatakan, Kemenkeu hanya berwenang untuk urusan teknis seperti mengatur besaran cukai rokok.
"Terkait yang sekarang sudah dilakukan biaya cukai saja.Penindakan terhadap rokok ilegal, lalu mengatur besaran tarif, penggulungan dan sebagainya," ujar Prastowo.
Kekhawatiran Industri
Industri hasil tembakau (IHT) terus dirundung tekanan. Menjelang 2024 IHT dihadapkan pada penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan yang mendorong pembatasan lebih jauh bagi produk tembakau.
Selain itu, IHT juga akan menghadapi kenaikan cukai rokok sebesar 10% mengacu pada PMK Nomor 191 Tahun 2022.
Ketua Harian Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) Heri Susianto melayangkan kritiknya pada penyusunan RPP tersebut. Menurutnya, apabila disahkan, rancangan peraturan turunan UU Kesehatan tersebut akan berdampak signifikan terhadap IHT.
"Pasti akhirnya berguguran. Dan kalau (industri) berguguran, akibatnya pasti akan banyak PHK," kata Heri dia dikutip Senin (20/11/2023).
Ia mengambil Kota Malang sebagai contoh. Heri mengatakan, dulu di sana terdapat 367 perusahaan rokok. Sekarang, hanya tersisa 20 persennya saja atau sekitar 77 perusahaan.
Heri juga mengkritisi wacana kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) sebesar rata-rata 10% untuk tahun 2024. Ia mengatakan pemerintah perlu melihat kondisi industri saat ini, salah satunya dari fakta merosotnya penerimaan CHT di tahun ini.
Menurut Heri, sejak penetapan kenaikan cukai multiyear sebesar 10%, target penerimaan Bea Cukai sepanjang 2023 masih tidak terpenuhi. Hingga September 2023, penerimaan Bea Cukai hanya tercatat senilai Rp144,8 triliun atau turun 5,4% dibanding periode yang sama tahun lalu. Artinya, kenaikan ini berdampak pada kinerja industri hasil tembakau yang kian melemah.
"Jadi saya pikir ini tergantung pemerintah akan bagaimana. (Penerimaan) tahun ini saja tidak terpenuhi, bagaimana tahun depan? Kalau (cukai rokok) tetap naik itu ya berat," ungkapnya.
Dalam menentukan kebijakan cukai, Heri menegaskan pemerintah perlu melihat dampaknya pada industri yang telah banyak menyumbang penerimaan bagi negara. Sebagai contoh yaitu industri rokok golongan 1 sebagai penyumbang penerimaan cukai terbesar selalu mendapat kenaikan tarif cukai tertinggi.
Advertisement