Liputan6.com, Jakarta - Google baru saja menghadapi kekalahan telak dalam kasusnya melawan Epic Games. Juri akhirnya memutuskan bahwa Google menjalankan monopoli ilegal dalam Play Store dan layanan penagihan dalam aplikasi.
Keputusan ini menjadi pukulan besar bagi Google, setelah Epic Games menggugat mereka atas dugaan pelanggaran monopoli.
Advertisement
Dalam putusannya, juri menyatakan bahwa Google memiliki kekuatan monopoli di pasar distribusi aplikasi Android dan layanan penagihan dalam aplikasi. Demikian seperti dikutip dari The Verge, Rabu (13/12/2023).
Mereka juga menilai tindakan Google bersifat anti-persaingan dan merugikan Epic Games. Juri juga mengakui adanya hubungan ilegal antara Play Store dan layanan pembayaran Google Play Billing.
Wakil Presiden urusan dan kebijakan publik Google Wilson White mengumumkan bahwa perusahaan akan mengajukan banding terhadap putusan ini. Meskipun demikian, persidangan telah memperlihatkan bahwa persaingan antara Google dan Apple di App Store serta perangkat Android semakin ketat.
Di sisi lain, Epic Games menyambut putusan ini sebagai kemenangan bagi pengembang aplikasi dan konsumen di seluruh dunia. Mereka menegaskan bahwa praktik ilegal Play Store telah menghambat persaingan, menarik biaya yang terlalu tinggi, dan mengurangi inovasi.
Meskipun belum ada kepastian mengenai solusi yang akan diambil, Epic Games berharap pengadilan akan menyatakan bahwa setiap pengembang aplikasi memiliki kebebasan penuh untuk memperkenalkan Play Store dan sistem penagihan sendiri di Android.
Hakim James Donato akan memutuskan solusi yang tepat pada pertemuan berikutnya pada bulan Januari.
Meskipun Epic tidak menuntut ganti rugi, CEO Epic Games Tim Sweeney menyatakan potensi pendapatan ratusan juta hingga miliaran dolar jika mereka tidak harus membayar biaya kepada Google. Adanya kasus ini membawakan dinamika persaingan toko aplikasi yang sehat di industri teknologi.
Google Tawari Epic Games Rp 2,3 Triliun agar Fortnite Ada di Play Store, Tapi Ditolak
Sebelumnya, Google mengungkapkan mereka pernah menawarkan kesepakatan senilai USD 147 juta (sekitar Rp 2,3 triliun) ke Epic Games. Informasi ini diungkap di sebuah persidangan. Tawaran tersebut diberikan agar game Fortnite dapat diluncurkan di Google Play Store untuk perangkat Android.
Wakil Presiden Kemitraan Play Google Purnima Kochikar menyatakan kesepakatan tersebut telah disetujui dan diajukan kepada Epic, namun tidak diterima.
Kesepakatan itu melibatkan pemberian pendanaan tambahan selama tiga tahun hingga 2021 kepada Epic, sebagai upaya untuk mencegah aplikasi populer seperti Fortnite lepas dari toko resmi Android dan menghindari biaya pembelian dalam aplikasi Google.
Epic sebelumnya meluncurkan Fortnite di Android pada 2018 melalui situs web mereka sendiri. Akan tetapi, game tersebut didepak dari Play Store karena menjual mata uang dalam game, V-Bucks, tanpa membayar komisi ke Google.
Meskipun demikian, pada 2020, Epic mengakui keputusan awal tersebut merugikan mereka terutama karena masalah keamanan dan faktor lainnya.
Di tahun sama, Epic melayangkan gugatan antimonopoli dengan klaim keputusan awal perusahaan membuat Google khawatir akan ‘risiko penularan’.
Dokumen internal Google diungkapkan di pengadilan menunjukkan kekhawatiran pengembang game lain dapat mengikuti langkah Epic, mengakibatkan kerugian pendapatan besar bagi Google.
Diwartakan The Verge, Minggu (12/11/2023), Google disebutkan mencoba mencegahnya dengan menawarkan manfaat khusus atau membeli Epic.
Google berpendapat, kekhawatiran mereka adalah kehilangan game dari Play Store. Mereka ingin para pengembang memilih Play Store sebagai platform distribusi utama.
Epic menggunakan kesepakatan ditawarkan oleh Google sebagai argumen, Google berusaha mempertahankan monopoli Play Store yang melanggar hukum.
Meskipun kesepakatan tersebut tidak membuktikan hal tersebut, pandangan ini memberikan wawasan menarik tentang cara Google melihat bisnis game mobile mereka.
Advertisement
Apple Tolak Permintaan Google Search untuk Jadi Aplikasi Bawaan iPhone
Di sisi lain, pada tahun 2018, CEO Google Sundar Pichai mengusulkan kepada CEO Apple Tim Cook untuk menyertakan aplikasi Google Search secara otomatis di unit iPhone baru.
Meskipun Pichai menyampaikan hal ini dapat meningkatkan trafik ke Google dan mendatangkan lebih banyak pendapatan bagi Apple, Cook akhirnya tidak menerima ide tersebut.
Pertukaran ide ini terungkap dalam konteks gugatan antitrust yang sedang dihadapi Google dari Departemen Kehakiman AS, demikian diungkap The Verge, dikutip Kamis (2/11/2023).
Pichai berusaha meyakinkan Cook bahwa dengan aplikasi Google Search yang dibenamkan di semua unit iPhone dapat membuat pengguna untuk lebih sering menggunakan pencarian Google di iPhone.
Namun, Apple tidak pernah menyertakan aplikasi pihak ketiga yang sudah terpasang sebelumnya pada iPhone. Maka dari itu, Google Search hanya akan aktif di Safari, atau pengguna harus mengunduhnya sendiri.
Meskipun Google telah membayar sejumlah uang kepada Apple untuk menjadi mesin pencari default di perangkatnya, pangsa pendapatan Apple dari kesepakatan ini turun pada tahun 2018.
Pichai menyarankan untuk membangun aplikasi pencarian Google khusus untuk iOS, tetapi Cook tidak menerima usulan tersebut.
Percakapan antara Pichai dan Cook ini menjadi sorotan dalam persidangan antitrust. Departemen Kehakiman AS menargetkan perjanjian pengecualian antara Google dan perusahaan seperti Apple.
Gugatan ini mencoba menentukan apakah Google memiliki monopoli pencarian yang mempengaruhi persaingan sistem mesin pencarian.
Jika gugatan berhasil, kesepakatan antara Apple dan Google dapat dibatalkan, memungkinkan pengaturan mesin pencari tambahan pada perangkat Apple. Saat ini, Google tetap menjadi opsi mesin pencari default di semua perangkat Apple.
Google Kedapatan Bayar Ratusan Triliun Agar Jadi Mesin Pencari Bawaan di Ponsel
Pengadilan antitrust Google mengungkapkan perusahaan teknologi tersebut membayar total USD 26,3 miliar (sekitar Rp 418,4 triliun) pada 2021 untuk mempertahankan statusnya sebagai mesin pencari bawaan di ponsel dan berbagai browser.
Mengutip Gizmodo, Selasa (31/10/2023), wakil presiden senior dan kepala pencarian Google Prabhakar Raghavan mengungkapkan jumlah yang sangat besar dalam kesaksiannya.
Menurut laporan ini juga, mesin pencari raksasa asal Amerika Serikat ini juga membayar perusahaan seperti Apple.
Raghavan mengklaim bahwa Amazon adalah salah satu dari dua pesaing Google yang paling tangguh dan mengatakan bahwa perusahaan ini tetap mengungguli Google dan mesin pencari lainnya karena terus meningkatkan penelitian dan pengembangannya.
Raghavan mengklaim bahwa Google tetap menjadi mesin pencari teratas karena kualitas dan kemudahan penggunaannya. Ia kemudian menambahkan, pengguna dapat beralih ke mesin pencari lain di browser mereka jika mau, dan Google tidak melarang sama sekali.
"Seperti yang selalu saya ingatkan kepada tim saya, tidak ada orang yang bangun setiap pagi dan berkata bahwa saya harus menjalankan pencarian di Google," ujar Raghavan kepada The Times.
Namun, dalam salinan email internal yang telah disunting dan dirilis pada Jumat (27/10/2023), wakil presiden Android Platform Partnerships Jim Kolotouros menjelaskan bahwa Chrome lahir untuk memenuhi Google Search.
Sehingga, apabila mesin pencari Google tidak menjadi default karena settingan pengguna, maka pengguna Chrome akan turun hingga angka nol.
Sebelumnya, terdapat laporan kalau Google membayar Apple sekitar USD 18 miliar di 2021 untuk mempertahankan Chrome sebagai default di Mac, iPad, dan iPhone.
Laporan tersebut memperkirakan pembayaran Google menyumbang 14 hingga 16 persen dari keuntungan operasional tahunan Apple.
"Google menginvestasikan miliaran dolar untuk menjadi mesin pencari default, karena mereka tahu bahwa orang-orang tidak akan mengubahnya, dan hal ini penting" kata pengacara DOJ Kenneth Dintzer kepada Mehta, dilaporkan CNBC.
Advertisement