Liputan6.com, Jakarta - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengkritik, kebijakan narkotika luput dari pembahasan debat perdana calon presiden 2024. Peneliti ICJR, Girlie Ginting mencatat, seharusnya kebijakan soal narkotika bisa disampaikan saat tengah membahas pemberantasan korupsi dan independensi aparat penegak hukum dan kekuasaan kehakiman.
“Sayangnya ketiga Capres tidak membahas tentang masalah implementasi kebijakan narkotika yang bermasalah, yang mana ini adalah sumber masalah korupsi di sektor peradilan dan masalah independensi peradilan,” kata Girlie seperti dikutip dari siaran pers diterima, Rabu (13/12/2023).
Advertisement
Girlie menambahkan, masalah overkriminalisasi di Indonesia adalah kesalahan fatal kebijakan narkotika. Laporan ICJR pada 2022, sebanyak 103.081 orang pengguna narkotika dikirim ke penjara padahal Laporan Kantor Komasaris HAM PBB tentang Kebijakan Narkotika sudah menekankan bahwa pendekatan punitif hanya akan memberikan dampk buruk terhadap hak asasi manusia.
“Mulai dari permasalahan mengenai akses kesehatan, masalah overcrowding pemenjaraan dan penggunaan penjara yang eksesif, dampak yang timpang terhadap kelompok rentan utamanya anak, pemuda dan perempuan,” urai Girlie.
Girlie menambahkan, kriminalisasi pengguna narkotika sebesar 60% dari seluruh kasus pidana ditangani oleh Aparat Penegak Hukum (APH). Sehingga, hal ini menandakan narkotika sebagai permasalahan inti sistem peradilan pidana di Indonesia.
“Pun juga telah dilaporkan adanya keterlibatan besar APH dalam peredaran gelap narkotika yang didukung dengan aturan yang tidak akuntabel dalam regulasi narkotika. Pasar gelap dikendalikan aparat yang koruptif,” kritik Girlie.
Girlie menambahkan, berdasarkan pemantauan yang dilakukan oleh Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) sejak 2019-2022, total terdapat 178 anggota Polri yang terlibat dalam tindak pidana narkotika. Peranan dari anggota Polri yang terlibat pun beragam.
“Berdasarkan temuan tersebut, dari 178 anggota Polri yang terlibat sebanyak 49 orang adalah pengedar, 58 orang sebagai kurir dan 13 anggota Polri merupakan bandar narkotika,” ungkap Girlie.
“Sayangnya, ketiga Capres tak ada sekalipun yang menyinggung masalah korupsi dengan memaparkan masalah korupsi aparat dalam implementasi kebijakan narkotika yang bermasalah,” sesal dia.
Rekomendasi ICJR untuk Kebijakan Narkotika
Untuk menyelesaikan permasalahan kebijakan narkotika ini, ICJR merekomendasikan perubahan paradigma dalam kebijakan narkotika terhadap pengguna narkotika dengan memperkenalkan dekriminalisasi.
“Dekriminalisasi akan menghilangkan respon hukum pidana terhadap pengguna narkotika menjadi respon kesehatan. Dekriminalisasi menjadi jalan paling efektif untuk mengurangi konsumsi narkotika yang bermasalah dan mencegah orang menjadi ketergantungan,” yakin Girlie.
Dengan dekriminalisasi, lanjut dia, pengguna narkotika tidak akan takut mengakses layanan kesehatan jika membutuhkan. Selain itu, melalui skema ini sumber daya manusia APH yang dapat dialihkan untuk fokus melawan kelompok kejahatan terorganisir yang besar dan paling berbahaya disertai pengawasan yang akuntabel.
“Skema ini harus diatur dalam revisi UU Narkotika untuk menjawab permasalahan kebijakan narkotika,” dia menandasi.
Advertisement