Liputan6.com, Washington, DC - Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden menegaskan kembali bahwa dia adalah seorang Zionis. Ia mengucapkan itu pada acara Hannukah di Gedung Putih pada 11 November lalu.
Hannukah adalah perayaan tradisional bagi kelompok Yahudi. Zionisme merupakan posisi mendukung berdirinya negara Yahudi, yakni Israel, di wilayah Palestina.
Advertisement
"Saya adalah Zionis," tegas Joe Biden, dikutip dari YouTube White House, Kamis (14/12).
Ucapan Joe Biden disambut meriah oleh para hadirin. Joe Biden pun mengingatkan bahwa sudah sejak dulu ia mendukung Zionisme, meski kontroversial.
Presiden tertua dalam sejarah AS itu turut menyentuh isu perang yang sedang terjadi di Jalur Gaza. Biden berkomitmen bahwa AS akan terus membantu Israel.
"Sampai mereka menyingkirkan Hamas," tegas Joe Biden.
Meski begitu, Joe Biden menegaskan bahwa perlu ada kehati-hatian, sebab "opini publik seluruh dunia bisa berubah dalam semalam".
Joe Biden mengaku telah mengenal Bibi (julukan Netanyahu) sejak lama. Ia mengaku menyayangi Netanyahu, tetapi sulit untuk setuju dengannya.
Lebih lanjut, Joe Biden mengaku muak terkait semakin bertambahnya anti-semitisme di Amerika Serikat, termasuk di kampus. Ia pun berkata akan terus memastikan keselamatan warga Yahudi.
Hingga kini, Israel masih belum menunjukkan tanda-tanga ingin melakukan gencatan senjata dengan Hamas. Perang di Jalur Gaza lantas terus berlangsung dan korban jiwa masih terus bertambah.
Israel Bantah Ingin Kosongkan Jalur Gaza dari Warga Palestina
Eylon Levy, juru bicara pemerintah Israel, menolak anggapan bahwa Israel bermaksud mengosongkan Jalur Gaza dari warga Palestina. Dia menyebutnya sebagai tuduhan yang keterlaluan dan salah.
Tujuan Israel, menurut Levy, hanya membujuk warga Palestina agar meninggalkan wilayah pertempuran utama. Demikian seperti dilansir The Guardian, Selasa (12/12/2023).
Namun, PBB dan badan-badan lainnya mengatakan dampak serangan tersebut adalah membuat seluruh Jalur Gaza tidak dapat dihuni dan melumpuhkan upaya kemanusiaan.
Amerika Serikat (AS), yang merupakan sekutu utama Israel, menghadapi kritik keras dari sekutu Arab dan organisasi hak asasi manusia atas keputusannya di Dewan Keamanan PBB yang menentang resolusi gencatan senjata permanen.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengungkapkan otoritas dan kredibilitas Dewan Keamanan sangat dirusak oleh kegagalan resolusi tersebut.
Masalah ini akan diajukan ke Majelis Umum PBB, dalam perdebatan pada Selasa mengenai resolusi serupa, yang kemungkinan besar akan diikuti dengan pemungutan suara. Sebuah resolusi yang disahkan oleh majelis tersebut tidak memiliki otoritas yang mengikat dalam hukum internasional, namun resolusi tersebut diperkirakan akan menggarisbawahi semakin terisolasinya Israel dan AS dalam upaya mereka untuk menolak gencatan senjata.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken pada Minggu menyatakan kembali argumen AS yang menentang gencatan senjata.
"Dengan Hamas yang masih hidup, utuh dan … dengan maksud untuk mengulangi peristiwa 7 Oktober lagi dan lagi, hal itu hanya akan melanggengkan masalah ini," kata Blinken kepada ABC News.
Blinken menegaskan pasukan Israel harus memastikan operasi militer dirancang untuk melindungi warga sipil, namun mengakui bahwa mereka gagal.
"Saya kira niatnya ada. Tapi hasilnya tidak selalu terlihat," ujarnya.
Advertisement
Bujukan AS Tidak Mempan?
Pemerintahan Joe Biden dilaporkan menghadapi pengawasan ketat setelah terungkap pihaknya melangkahi Kongres dalam memasok peluru tank ke Israel. Tidak hanya itu, AS dilaporkan juga tidak melakukan penilaian terus-menerus mengenai apakah Israel melakukan kemungkinan kejahatan perang.
The Washington Post mengutip pejabat yang tidak disebutkan namanya yang mengakui bahwa AS tidak mengikuti pedoman yang ditetapkan Biden pada Februari agar semua transfer senjata ke pemerintah asing harus terus diperiksa berdasarkan catatan penerima dalam konvensi Jenewa dan norma global lainnya dalam melakukan peperangan.
Pers Israel memberitakan secara luas pada Senin (11/12) bahwa AS telah berusaha membujuk Israel menyelesaikan serangannya di Jalur Gaza pada akhir bulan ini, sementara IDF telah meminta lebih banyak waktu hingga akhir Januari, untuk mencapai tujuan perang, yaitu menghancurkan Hamas sebagai kekuatan militer dan politik serta menjamin pembebasan para sandera.
Blinken mengatakan masalah durasi perang telah diangkat dalam diskusi AS-Israel.
"Itu adalah keputusan yang harus diambil Israel," ujar Blinken kepada CNN.
Penasihat keamanan nasional Israel Tzachi Hanegbi menyatakan tidak ada batas waktu bagi Israel untuk mencapai dua tujuan, yakni membubarkan Hamas dan menyelamatkan sandera yang tersisa.
"Evaluasi bahwa hal ini tidak dapat diukur dalam hitungan minggu adalah benar dan saya tidak yakin hal ini dapat diukur dalam hitungan bulan," katanya kepada Channel 12.
Netanyahu mengkritik negara-negara termasuk Prancis dan Jerman yang menyerukan gencatan senjata.
"Anda tidak dapat di satu sisi mendukung penghapusan Hamas dan di sisi lain menekan kami untuk mengakhiri perang, yang akan mencegah penghapusan Hamas," kata Netanyahu.
Italia, Prancis, dan Jerman meminta Uni Eropa menjatuhkan sanksi terhadap Hamas dan pendukungnya melalui surat bersama kepada kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Josep Borrell pada Senin. Menteri Luar Negeri Prancis Catherine Colonna menambahkan pihaknya juga mempertimbangkan menjatuhkan sanksi terhadap pemukim Israel di Tepi Barat yang diduduki.
Upaya Sistematis Mengosongkan Jalur Gaza
Meluasnya serangan darat ke Gaza Selatan, menurut organisasi kemanusiaan, disertai dengan pengeboman besar-besaran, telah menciptakan situasi yang tidak dapat dipertahankan bagi masyarakat. Korban tewas sejauh ini diperkirakan sekitar 18.000 orang dan lebih dari 1,8 juta orang atau sekitar 80 persen populasi, terpaksa meninggalkan rumah mereka sejak konflik meletus pada 7 Oktober.
Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB (UNRWA) mengatakan 1,3 juta pengungsi di Gaza berlindung di 154 fasilitas mereka, yang sangat penuh sesak. Para pejabat bantuan kemanusiaan telah memperingatkan bahwa kolera dan pneumonia merupakan ancaman yang semakin meningkat di antara tenda-tenda darurat yang padat di sepanjang perbatasan Gaza Selatan dengan Mesir, seiring dengan buruknya sanitasi dan suhu malam hari yang menurun.
Sekretaris Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus menggarisbawahi, "Sistem kesehatan Gaza berada dalam kondisi lemah dan runtuh."
Dalam menghadapi situasi kemanusiaan yang sangat buruk, Menteri Luar Negeri Yordania Ayman Safadi pada akhir pekan lalu menuduh Israel melakukan upaya sistematis untuk mengosongkan Jalur Gaza.
Ketua UNRWA Philippe Lazzarini turut menyatakan hal serupa.
"Perkembangan yang kita saksikan menunjukkan adanya upaya untuk memindahkan warga Palestina ke Mesir," tulis Lazzarini di Los Angeles Times.
"Jika jalan ini terus berlanjut, Jalur Gaza tidak akan lagi menjadi tanah bagi warga Palestina."
Para pejabat Qatar, yang membantu menengahi jeda kemanusiaan bulan lalu untuk memungkinkan pertukaran sandera bagi tahanan Palestina, mengatakan hanya ada sedikit prospek terulangnya kesepakatan serupa. Perdana Menteri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani mengungkapkan pemboman tanpa henti yang dilakukan Israel mempersempit peluang untuk mencapai kesepakatan.
Advertisement