Liputan6.com, Jakarta Industri hasil tembakau (IHT) terus dirundung tekanan. Menjelang 2024 IHT dihadapkan pada penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan yang mendorong pembatasan lebih jauh bagi produk tembakau. Selain itu, IHT juga akan menghadapi kenaikan cukai rokok sebesar 10% mengacu pada PMK Nomor 191 Tahun 2022.
Advertisement
Ketua Harian Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) Heri Susianto melayangkan kritiknya pada penyusunan RPP tersebut. Menurutnya, apabila disahkan, rancangan peraturan turunan UU Kesehatan tersebut akan berdampak signifikan terhadap IHT.
“Pasti akhirnya berguguran. Dan kalau (industri) berguguran, akibatnya pasti akan banyak PHK,” kata Heri dalam keterangan tertulis, Kamis (14/12/2023).
Ia mengambil Kota Malang sebagai contoh. Heri mengatakan, dulu di sana terdapat 367 perusahaan rokok. Sekarang, hanya tersisa 20 persennya saja atau sekitar 77 perusahaan.
Heri juga mengkritisi wacana kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) sebesar rata-rata 10% untuk tahun 2024. Ia mengatakan pemerintah perlu melihat kondisi industri saat ini, salah satunya dari fakta merosotnya penerimaan CHT di tahun ini. Menurut Heri, sejak penetapan kenaikan cukai multiyear sebesar 10%, target penerimaan Bea Cukai sepanjang 2023 masih tidak terpenuhi.
Penerimaan Bea Cukai
Hingga September 2023, penerimaan Bea Cukai hanya tercatat senilai Rp144,8 triliun atau turun 5,4% dibanding periode yang sama tahun lalu. Artinya, kenaikan ini berdampak pada kinerja industri hasil tembakau yang kian melemah.
“Jadi saya pikir ini tergantung pemerintah akan bagaimana. (Penerimaan) tahun ini saja tidak terpenuhi, bagaimana tahun depan? Kalau (cukai rokok) tetap naik itu ya berat,” ungkapnya.
Penerimaan bagi Negara
Dalam menentukan kebijakan cukai, Heri menegaskan pemerintah perlu melihat dampaknya pada industri yang telah banyak menyumbang penerimaan bagi negara.
Sebagai contoh yaitu industri rokok golongan 1 sebagai penyumbang penerimaan cukai terbesar selalu mendapat kenaikan tarif cukai tertinggi. Akibatnya, golongan I menunjukkan penurunan paling besar, apalagi kenaikan cukai tinggi dilakukan saat daya beli masyarakat masih lemah.
“Yang sekarang berat itu ya golongan 1. Menurut saya, golongan ini perlu diproteksi. Saya lebih senang golongan 1 tidak naik, golongan kami yang dinaikkan,” ujar Heri.
Ia mengaku telah menyampaikan usulan ini bahkan kepada Presiden Joko Widodo. Namun, bagi Heri yang juga tidak kalah penting adalah pemerintah melakukan evaluasi total terhadap kebijakan kenaikan CHT. “Paling tidak rem dulu. Harapannya, pemerintah melihat fakta dengan merosotnya penerimaan, (kebijakan) ini harus dievaluasi total. Supaya optimalisasi penerimaan itu tercapai,” ucapnya.
Advertisement
Kebijakan Dinilai Tak Adil
Secara terpisah, Anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun menganggap kebijakan pemerintah terhadap pelaku IHT sering kali tidak adil, mulai dari kebijakan kenaikan cukai setiap tahunnya hingga RPP Kesehatan yang di dalamnya banyak mengatur pembatasan produk tembakau.
"Pelaku IHT berkali-kali terkena dampak kenaikan cukai yang eksesif, sekarang sedang khawatir oleh Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan yang mengatur zat adiktif produk hasil tembakau. Membela mereka adalah tugas konstitusional saya," ujarnya pada Kamis (2/11/2023).
Misbakhun juga menyoroti penyerapan tenaga kerja Sigaret Kretek Tangan (SKT) yang besar menjadi bagian dari usaha yang berkontribusi besar bagi Indonesia. Sehingga Misbakhun menegaskan sebaiknya kenaikan cukai hasil tembakau ke depannya, termasuk di segmen SKT, tidak lebih dari lima persen untuk menghindari efek beruntun.
“Dengan naik lima persen saja akan memberikan dampak ikutan yang luar biasa. Ada faktor tingkat penyerapan tembakau dari petani, ketersediaan lapangan kerja, bahkan rokok ilegal dan dampak ekonomi lainnya yang sangat nyata dari kenaikan cukai IHT,” tegasnya.