Hal-Hal yang Harus Diperhatikan Perusahaan Sebelum Go Public

Manajemen dan pemilik perusahaan harus melakukan review atas kegiatan akuntansi yang saat ini berlaku di perusahaan.

oleh Tim Regional diperbarui 15 Des 2023, 21:23 WIB
Seminar mengenai go public dan praktik cybersecurity yang diselenggarakan Grant Thornton berkolaborasi dengan Bursa Efek Indonesia baru-baru ini.

Liputan6.com, Jakarta - Go public tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ada sejumlah hal yang harus diperhatikan perusahaan sebelum go public.

Menurut Tagor Sidik Sigiro, Assurance Partner Grant Thornton Indonesia, dari sisi akuntansi ada hal-hal yang harus diperhatikan sebelum perusahaan akan melakukan go public. Manajemen dan pemilik perusahaan harus melakukan review atas kegiatan akuntansi yang saat ini berlaku di perusahaan.

“Begitu akan melaksanakan IPO, harus diperhatikan lagi kecocokan antara data-data yang ada dengan keputusan perusahaan menjadi perusahaan Tbk,” ujarnya dalam seminar mengenai go public dan praktik cybersecurity yang diselenggarakan Grant Thornton berkolaborasi dengan Bursa Efek Indonesia baru-baru ini.

Fokus auditor biasanya membantu calon emiten dalam persiapan, mulai dari kesiapan laporan keuangan hingga proses registrasi yang harus dipastikan sudah selesai. Apabila, mendekati tanggal registrasi, ada akuisisi, atau terkait kepemilikan aset, itu harus dipastikan sudah clear sehingga auditor bisa menyarankan untuk maju registrasi.

Sementara untuk proses penjatahan saham biasanya ada auditor lain yang melakukan, jadi dua auditor berbeda untuk alokasi dan registrasi. Grant Thornton Indonesia sudah menaungi klien-klien yang IPO.

“Termasuk saat Covid-19, dengan proses kerja yang saat itu membutuhkan adaptasi tinggi kami masih bisa untuk membawa klien kami IPO. Asal manajemennya commit, kami bisa membantu klien untuk IPO,” ucap Tagor.

Sementara pada sesi kedua yang membahas tentang praktik pertahanan serta keamanan data, Goutama Bachtiar, IT Advisory Director Grant Thornton Indonesia menyampaikan pentingnya bagi perusahaan untuk sadar akan keamanan dan daya tahan siber khususnya data, serta bagaimana melakukan praktiknya melalui framework cybersecurity.

Secara global, jenis serangan yang sering terjadi adalah ransomware yang umum dijumpai bukan hanya di Indonesia melainkan menargetkan banyak negara, seperti Amerika Serikat, Kanada, Italia, Spanyol, dan negara lainnya. Serangan lainnya adalah data breach atau kebocoran data.

Dari sisi industri ini menarik, kebocoran data bukan hanya didominasi oleh sektor keuangan namun mulai banyak terlihat di sektor manufaktur, bisnis seperti professional services, dan perusahaan-perusahaan startup,” tuturnya.

Ia menilai, kalau melihat dari data selama lima tahun terakhir, kasus kebocoran data di Indonesia trennya secara agregatif kurang lebih meningkat, untuk itulah diperlukan framework cybersecurity.

Goutama pun turut menyarankan framework yang digunakan yaitu NIST Cybersecurity Framework yang memiliki lima tahapan yaitu identify, protect, detect, respond, dan recover. Dengan praktik yang tepat berdasarkan framework yang digunakan, insiden yang mengancam keamanan dapat terus diminimalisir.

Seperti data dan laporan yang Grant Thornton Indonesia peroleh dari berbagai sumber, frekuensi insiden yang mengancam keamanan meningkat jumlahnya dari tahun ke tahun, dampaknya meningkat secara signifikan, dan tingkat keberhasilan pun makin tinggi. Jika insiden yang mengancam keamanan telah terjadi, maka perusahaan perlu menjaga cyber resilience atau daya tahan siber yang berfokus pada sistem agar dapat terus berjalan seperti biasanya meskipun telah mengalami peretasan.

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya