Liputan6.com, Kuwait City - Emir Kuwait Sheikh Nawaf Al Ahmad Al Sabah meninggal pada usia 86 tahun, Sabtu (16/12/2023).
"Dengan kesedihan dan duka yang mendalam, kami rakyat Kuwait, negara-negara Arab dan Islam, serta warga dunia yang bersahabat - berbelasungkawa atas mendiang Yang Mulia Emir Sheikh Nawaf Al Ahmad Al Jaber Al Sabah yang berpulang kepada-Nya hari ini," demikian pernyataan singkat yang disampaikan oleh Menteri Negara untuk Urusan Kabinet Sheikh Mohammed Abdullah Al Sabah, seperti dilansir AP.
Advertisement
Penyebab kematian emir Kuwait itu tidak disebutkan.
Wakil penguasa Kuwait sekaligus saudara tirinya, Sheikh Meshal Al Ahmad Al Jaber yang kini berusia 83 tahun, disebut akan mengambil alih jabatan penguasa Kuwait. Dia diyakini sebagai putra mahkota tertua di dunia dan mewakili salah satu pemimpin berusia delapan puluh tahun terakhir di negara-negara Teluk Arab.
Pada akhir November, Sheikh Nawaf dilarikan ke rumah sakit karena penyakit yang tidak dijelaskan secara spesifik. Sejak saat itu, Kuwait telah menanti-nanti kabar tentang kesehatannya.
Kantor berita yang dikelola pemerintah sebelumnya melaporkan bahwa dia melakukan perjalanan ke Amerika Serikat (AS) untuk pemeriksaan kesehatan yang tidak dijelaskan secara spesifik pada Maret 2021.
Kesehatan para pemimpin Kuwait disebut menjadi masalah sensitif di negara Timur Tengah, yang sering dilanda perebutan kekuasaan di balik pintu istana itu.
Emir Pengampun
Sheikh Nawaf dilantik sebagai emir pada tahun 2020 di tengah pandemi COVID-19, menyusul meninggalnya pendahulunya, mendiang Syeikh Sabah Al Ahmad Al Sabah. Luas dan dalamnya emosi atas hilangnya Sheikh Sabah, yang dikenal karena diplomasi dan upaya perdamaiannya, dirasakan di seluruh kawasan.
Sebelumnya, Sheikh Nawaf menjabat sebagai menteri dalam negeri dan pertahanan Kuwait.
Sheikh Nawaf dinilai merupakan pilihan emir yang jauh dari kontroversial, meskipun usianya yang semakin lanjut membuat para analis berpendapat bahwa masa jabatannya akan singkat. Faktanya, kematiannya menjadikan dia emir dengan masa jabatan terpendek ketiga sejak klan Al Sabah memerintah Kuwait mulai tahun 1752.
Selama masa jabatannya, Sheikh Nawaf fokus pada isu-isu dalam negeri saat negara tersebut berjuang melalui perselisihan politik – termasuk perombakan sistem kesejahteraan Kuwait – yang menghalangi kerajaan untuk berutang. Hal ini menyebabkan Kuwait hanya memiliki sedikit uang untuk membayar gaji sektor publik yang membengkak, meskipun negara tersebut menghasilkan kekayaan yang sangat besar dari cadangan minyaknya.
Pada tahun 2021, Sheikh Nawaf mengeluarkan dekret amnesti yang telah lama ditunggu-tunggu, mengampuni dan mengurangi hukuman hampir tiga lusin pembangkang Kuwait dalam sebuah langkah yang bertujuan meredakan kebuntuan besar terhadap pemerintah. Dia mengeluarkan keputusan lain tepat sebelum dia sakit, dengan tujuan untuk menyelesaikan kebuntuan politik yang juga menyebabkan Kuwait mengadakan tiga pemilihan parlemen terpisah di bawah pemerintahannya.
"Dia mendapatkan gelarnya – dia punya julukan di sini, mereka memanggilnya 'emir pengampun'," kata Bader al-Saif, asisten profesor sejarah di Universitas Kuwait. "Tidak ada seorang pun dalam sejarah modern Kuwait yang telah bertindak sejauh ini untuk menjangkau pihak lain, untuk membuka diri."
Kuwait dianggap memiliki parlemen paling bebas di Teluk dan memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat.
Advertisement
Belasungkawa dari Inggris
Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak turut menyampaikan belasungkawa atas meninggalnya Sheikh Nawaf.
"Yang Mulia adalah teman baik Inggris dan kami akan mengingat dengan penuh kasih semua yang dia lakukan untuk hubungan bilateral kita dan karyanya untuk meningkatkan stabilitas di Timur Tengah," kata Sunak dalam pernyataan yang dikeluarkan oleh kantornya.
Kuwait, negara berpenduduk sekitar 4,2 juta jiwa, memiliki cadangan minyak terbesar keenam di dunia.
Negara ini telah menjadi sekutu setia AS sejak Perang Teluk tahun 1991. Kuwait menampung sekitar 13.500 tentara AS dan menjadi markas besar Angkatan Darat AS di Timur Tengah.