Liputan6.com, Jakarta - Adalah Noor Reyhan, seorang ibu yang tidak menyangka akan berpisah selama dua bulan dengan bayinya. Ia melahirkan di Rumah Sakit al-Shifa di Kota Gaza dalam usia kandungan delapan bulan pada 6 Oktober 2023, tepat sehari sebelum perang Israel-Hamas meletus.
Melansir Al Jazeera, Sabtu, 16 Desember 2023, si ibu berbagi, "Karena bayi saya prematur, saya tidak sempat menemuinya. Dokter segera membawanya untuk dimasukkan ke dalam inkubator. Saya hanya punya fotonya."
Advertisement
Keesokan harinya, kekacauan terjadi. Pasukan Israel membombardir Gaza utara tanpa pandang bulu, beberapa jam setelah pejuang Hamas menyerang pos-pos militer dan kota-kota Israel di luar jalur tersebut.
Tinggal di kota utara Beit Lahiya, Noor dan suaminya, Huthaifa Marouf, mengetahui dari serangan Israel sebelumnya bahwa daerah mereka akan jadi sasaran. Mereka kemudian meninggalkan rumah dan berlindung di sebuah sekolah di kamp pengungsi Nuseirat.
Di sana, Noor bahkan tidak dapat menemukan kasur dan malah tidur di atas selimut di lantai kelas yang dingin bersama 40 orang lain. "Kami telah mengungsi sejak awal," kata dia. "Rumah kami hancur di minggu pertama Israel menargetkan (serangan militer) ke area tempat tinggal kami."
"Bahkan sebelum saya hamil, kami sudah menyiapkan kamar bayi di rumah kami, tapi semuanya sudah hilang sekarang," aku dia. Noor dan suaminya mencoba membawa bayi mereka, tapi diberitahu bahwa itu akan sangat berbahaya bagi si kecil.
Rumah Sakit Dianggap Tempat Teraman
Selain itu, kerabat dan dokter juga memberi tahu mereka bahwa, menurut aturan perang, rumah sakit adalah tempat teraman. Mereka menamai putra mereka Ayman, yang berarti diberkati, benar atau beruntung, beberapa minggu setelah ia dilahirkan.
Selama beberapa minggu berikutnya, mereka tidak akan tahu apakah si bayi masih hidup. Pada minggu kedua November 2023, pasukan Israel mengepung Rumah Sakit al-Shifa. Selama beberapa hari, rumah sakit tersebut jadi sasaran pengeboman, meneror ribuan keluarga pengungsi yang berlindung di sana dan memaksa mereka pergi.
Di antara lusinan bayi prematur yang dirawat di rumah sakit adalah Ayman dan gadis kembar Rateel dan Raseel. Berbeda dengan Noor dan Huthaifa, Sawsan Abu Odeh, ibu dari Rateel dan Raseel, berlindung di al-Shifa. Namun, ketika pemboman terhadap rumah sakit semakin intensif, perempuan berusia 20 tahun itu harus pergi.
"Itu adalah hari di mana Israel menyebarkan selebaran yang memberitahu orang-orang untuk menuju ke selatan," kata Sawsan. "Saya melihat mereka (si kembar) setiap hari selama sebulan dan akan memompa susu untuk diberikan pada mereka, tapi saya tidak bisa menggendong mereka."
Advertisement
Mau Dibawa Keluar Rumah Sakit, tapi ...
Seminggu sebelumnya ketika bangsal bersalin di lantai lima rumah sakit tersebut terkena serangan udara, Sawsan mengatakan pada dokter di unit perawatan intensif neonatal (NICU) bahwa ia ingin membawa bayi kembarnya keluar dari inkubator dan menuju ke selatan.
"Dokter bilang terlalu berbahaya untuk memindahkan mereka dan mereka akan meninggal jika saya membawanya karena mereka masih mendapat nutrisi melalui infus," katanya. "Dokter menjelaskan bahwa bubuk mesiu di udara dan debu, serta kotoran secara umum akan berdampak lebih besar pada kesehatan mereka dan meyakinkan saya bahwa tempat teraman bagi mereka adalah rumah sakit."
Saat mereka berbicara, halaman rumah sakit di sebelah NICU dibom. Dokter membawa istri dan anak-anaknya, yang tinggal bersamanya di rumah sakit, dan melarikan diri. Keesokan harinya, Sawsan dan ayahnya, Khaled, kembali ke rumah sakit setelah pergi ke pasar untuk membeli pakaian untuk si kembar.
Saat berjalan menuju gerbang masuk, sebuah rudal Israel menghantam mereka. "Seorang pria yang hanya berjarak beberapa meter dari saya kehilangan sebagian besar kakinya," kata Sawsan. "Seorang pria lain yang dekat dengan kami terluka di bahunya. Ayah saya menarik saya, dan kami melarikan diri dari rumah sakit."
Dipertemukan Kembali
Berminggu-minggu kemudian, Kementerian Kesehatan Gaza memastikan nama Noor dan Sawsan ke dalam daftar pelancong medis yang mendesak. Pada 5 Desember 2023, para orangtua ini diberitahu bahwa nama mereka ada dalam daftar perjalanan.
Mereka berdua PUN pergi ke Rumah Sakit Martir Al-Aqsa di Deir el-Balah, di mana ambulans telah menunggu untuk membawa mereka ke perbatasan Rafah. Para ibu mengambil tempat duduk di sebelah pengemudi, masing-masing dengan tas kecil di pangkuannya.
"Saya sangat senang melihat gadis-gadis saya, tapi juga sangat cemas," kata Sawsan. "Ini pertama kalinya saya bepergian ke luar Jalur Gaza. Saya takut dengan apa yang akan terjadi pada mereka jika saya dibunuh atau mereka diculik di Mesir."
Keesokan harinya, tepat dua bulan setelah melahirkan, Noor akhirnya menggendong bayinya, Ayman, di Rumah Sakit El Arish Mesir. Ia mengirimkan foto dan video pada suami dan keluarganya, senyumnya tidak pernah lepas dari wajahnya.
"Saya sangat takut saya tidak dapat melihat anak saya karena genosida," katanya. "Saya berharap perang berakhir, dan kita berdua bisa kembali ke Gaza."
Sawsan harus menunggu satu hari ekstra untuk menemui Rateel dan Raseel setelah staf di Rumah Sakit El Arish memberitahunya bahwa putrinya telah dibawa ke rumah sakit di Kairo.
Karena warga Palestina dari Gaza dilarang melakukan perjalanan melalui Mesir tanpa visa, sebuah ambulans diatur untuk membawa Sawsan dalam perjalanan enam jam melalui gurun Sinai menuju ibu kota. "Anak-anak perempuan saya masih hidup dan sehat," katanya pada Al Jazeera.
Advertisement