Liputan6.com, Jakarta Para peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) meneliti soal berbagai obat untuk mengatasi malaria.
Menurut peneliti dari Pusat Riset Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional BRIN, Yuli Widiyastuti, ada alasan di balik banyaknya riset yang dilakukan untuk menemukan obat antimalaria hingga saat ini.
Advertisement
“Kenapa malaria masih menjadi topik riset sampai saat ini? Karena berbeda dengan infeksi virus, infeksi malaria ini tidak serta-merta mendorong atau membentuk sistem imun pada penderita. Sehingga, potensi untuk relaps dan reinfeksi itu sangat tinggi, apalagi bagi orang yang tinggal di daerah endemis,” kata Yuli dalam Professor Talk BRIN secara daring, Senin (18/12/2023).
Dia menambahkan, malaria masih menjadi masalah kesehatan hampir di semua negara di seluruh dunia, terutama negara-negara yang tinggal di wilayah tropis.
“Indonesia ternyata juga menjadi salah satu negara dengan risiko malaria tinggi yang umumnya terjadi di wilayah timur Indonesia yaitu Papua dan NTT.”
Ada tiga pilar pengendalian malaria, lanjut Yuli, yakni:
- Deteksi kasus yang dilakukan melalui surveilans
- Vaksinasi
- Pemberian obat massal.
“Obat lini pertama yang saat ini diberikan kepada penderita malaria di Indonesia adalah DHP atau dihydroartemisinin-piperaquine. Namun, beberapa tahun terakhir sudah ada laporan terkait kegagalan pengobatan berbasis artemisinin.”
Dengan adanya resistensi obat berbasis artemisinin, dunia tertantang untuk mencari obat baru berbasis bahan alam maupun sintesa untuk mengatasi malaria di masa yang akan datang.
Pencarian Obat Malaria Baru
Menurut Yuli, penemuan dan pengembangan obat antimalaria baru masih dilakukan secara intensif di seluruh dunia.
Pengembangan obat baru untuk antimalaria dilakukan melalui eksplorasi senyawa antimalaria dan tanaman obat yang secara empiris digunakan secara tradisional untuk pengobatan malaria.
Menurut hasil penelusuran pustaka sejak 1996 hingga 2019, telah dilakukan skrining pada 652 spesies tumbuhan dari 146 famili untuk uji aktivitas antimalaria. Ditemukan 134 senyawa antimalaria dari 39 spesies, 2 formula herbal dan 4 jenis hewan.
“Sebagian juga ada kandidat senyawa yang berasal dari produk hewani. Ada empat jenis hewan yang dilaporkan memiliki aktivitas sebagai antimalaria."
Advertisement
Teliti Tumbuhan Johar sebagai Obat Malaria
Yuli pun melakukan penelitian soal khasiat tumbuhan johar (Cassia siamea) sebagai obat malaria. Penelitian terhadap tumbuhan johar dilakukan berdasarkan pengetahuan empiris masyarakat.
“Johar ini sejak zaman dulu kala di pustaka-pustaka pun disebutkan, daun johar digunakan untuk pengobatan malaria. Jadi, ini basisnya adalah informasi empiris atau informasi etnomedisin.”
Selain digunakan secara empiris untuk mengobati malaria, daun johar juga digunakan untuk berbagai keluhan kesehatan. Seperti penyakit kuning, hepatitis, darah kotor, dan cacingan.
Daun johar juga termasuk sebagai salah satu bahan baku obat herbal yang dikembangkan di Thailand untuk antidepresan atau antiinsomnia.
Diteliti Sejak 1990
Sejak 1990-an, telah dilakukan riset secara intensif terhadap daun johar. Penelitian dilakukan di Pusat Penelitian Farmasi di Badan Litbang Kesehatan.
“Penelitian itu mulai dari pengembangan standarisasi ekstrak sampai uji klinik fase satu. Untuk mengevaluasi terkait aspek keamanan bagi manusia dan bekerja sama dengan Universitas Airlangga.”
Johar ini termasuk tanaman yang mudah tumbuh hampir di semua provinsi di Indonesia umumnya sebagai peneduh dan sebagai tanaman penghijauan kembali atau reboisasi.
“Salah satu keunikan dan kelebihan dari tanaman ini adalah tahan kekeringan. Tanaman ini disebut asli dari India dan Indonesia. Di literatur awal tumbuhan ini hanya ditemukan di Sumatera maupun Jawa, tapi sekarang bisa ditemukan hampir di seluruh provinsi di Indonesia mulai Sabang sampai Merauke,” jelas Yuli.
Bagian yang digunakan untuk obat adalah daun, bagian yang selalu bisa beregenerasi secara cepat.
“Sehingga kalau ini dikembangkan jadi kandidat obat maupun kandidat herbal baru, maka ini tidak mengancam kepunahan atau pengurangan populasinya di alam secara cepat.”
Dari penelitian yang dilakukan, Yuli menyimpulkan bahwa daun johar memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai obat malaria meski masih jauh dan risetnya perlu banyak evaluasi.
“Kita bisa menyimpulkan bahwa johar memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai bahan baku obat malaria meskipun ini masih jauh. Jadi, riset-riset ini perlu banyak evaluasi dan riset tambahan yang membuktikan secara in vivo dan klinis bisa setara dengan obat malaria golden standard,” tutup Yuli.
Advertisement