Transaksi EBUS di BEI Tembus Rp 133 Triliun hingga November 2023 Melalui SPPA

Nilai transaksi dari penerbitan efek bersifat utang dan sukuk (EBUS) telah tembus Rp 133 triliun hingga November 2023, dan naik 12 persen dibandingkan periode sama.

oleh Elga Nurmutia diperbarui 18 Des 2023, 20:04 WIB
Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat nilai transaksi dari penerbitan efek bersifat utang dan sukuk (EBUS) telah mencapai Rp 133 triliun (Foto: Liputan6.com/Elga N)

Liputan6.com, Jakarta Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat nilai transaksi dari penerbitan efek bersifat utang dan sukuk (EBUS) telah mencapai Rp 133 triliun hingga November 2023. Raihan tersebut didapat melalui sistem penyelenggara pasar alternatif (SPPA).

Direktur Keuangan dan Sumber Daya Manusia BEI Risa E. Rustam menuturkan, capaian tersebut meningkat sebesar 12% jika dibandingkan dengan nilai transaksi per November 2022 sebesar Rp 119 triliun. 

"Market share perdagangan EBUS melalui SPPA terus meningkat dari tahun ke tahun, dan mencapai 8,8% di November 2023," ujar dia dalam peluncuran Electronic Indonesia Bond Market Directory di Main Hall BEI, Senin (18/12/2023). 

Ia melanjutkan, hingga saat ini ada 33 perusahaan yang terdiri dari 19 bank umum dan 13 sekuritas serta 1 pialang pasar uang telah tergabung sebagai pengguna SPPA.

"Insya Allah pada 2024 BEI akan melakukan implementasi perdagangan repurchase agreement atau Repo SBN JPY, SPPA serta implementasi integrasi front-end trading supaya SPPA semakin mudah diakses oleh seluruh pelaku pasar surat utang," kata dia. 

Di samping itu, sampai dengan November 2023, jumlah pelaporan transaksi EBUS melalui sistem Penerima Laporan Transaksi Efek (PLTE) yang dilakukan oleh 126 partisipan dengan rata-rata mencapai 3.410 pelaporan per hari, dan rata-rata value transaksi mencapai 40% atu Rp 9,9 triliun per hari. 

Dengan demikian, BEI berkomitmen untuk terus melakukan pengembangan pasar surat utang bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK), DJPPR, Kementerian Keuangan, Bank Indonesia dan Self Regulatory Organization (SRO) dengan menjadikan SPPA sebagai sentral dan ekosistem perdagangan surat utang dan juga pasar uang. 

 

 

 


Suku Bunga Acuan Naik, Lebih Menarik Investasi Obligasi atau Saham?

Suasana di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (2/11/2015). Pelemahan indeks BEI ini seiring dengan melemahnya laju bursa saham di kawasan Asia serta laporan kinerja emiten triwulan III yang melambat. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Sebelumnya diberitakan, Bursa Efek Indonesia (BEI) menyebut kenaikan suku bunga domestik maupun global bakal memberikan dampak terhadap instrumen investasi seperti saham. Ini mengingat, minat investor berpotensi beralih terhadap instrumen lain yang lebih menguntungkan. 

Direktur Pengembangan BEI Jeffrey Hendrik menilai kenaikan suku bunga yang terjadi di ranah domestik hingga global ini menjadi angin segar bagi obligasi pemerintah. Sehingga, secara otomatis minat masyarakat terhadap saham akan menurun. 

"Kalau kita melihat suku bunga yang naik terus di domestik maupun di global kemudian mengakibatkan obligasi pemerintah naik itu otomatis minat terhadap instrumen pada saham turun masyarakat memilih investasi di pasar modal lain seperti obligasi," kata Jeffrey saat ditemui di BEI, Kamis (26/10/2023). 

Sementara itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencermati keputusan BI yang kembali mengerek suku bunga acuan atau BI Rate ke level 6 persen akan memberikan dampak terhadap minat investor untuk melakukan investasi ke pasar modal Indonesia. 

Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon OJK, Inarno Djajadi menuturkan, kenaikan suku bunga acuan BI tersebut berdampak terhadap minat investor untuk berinvestasi ke pasar modal Indonesia. 

"Tentunya ada sedikit koreksi ya, per 23 Oktober, indeks mengalami koreksi tercatat 6.741 atau koreksi sebesar 1,6 persen year to date (ytd)," kata Inarno dalam Opening Ceremony Capital Market Summit and Expo (CMSE) 2023.

Dengan demikian, ia menyarankan agar para investor memperkuat pemahaman terkait ekonomi global yang dapat berdampak terhadap kinerja perusahaan dan harga saham.

Selain itu, OJK juga terus memantau kondisi perekonomian dan pasar modal Indonesia. Jika diperlukan, otoritas akan mengambil langkah-langkah strategis untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dan mendukung pertumbuhan ekonomi.

Pertumbuhan investor hingga 19 Oktober 2023 telah mencapai 11,83 juta investor atau SID. Angka itu meningkat 4 kali lipat dalam lima tahun terakhir, mayoritas masih didominasi milenial dan generasi Z (Gen Z) di bawah 30 tahun dengan persentase sebesar 57,4 persen. Sedangkan, hingga saat ini penghimpunan pasar melebihi Rp 200 triliun. 

 


Menyibak Prospek Pasar Obligasi di Indonesia

Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (BEI). (Foto: Liputan6.com/Elga N)

Sebelumnya diberitakan, PT Batavia Prosperindo Aset Manajemen menilai volatilitas di pasar obligasi ke depannya  masih tinggi. Ini mengingat, kebijakan suku bunga bank sentral AS dan Bank Indonesia tidak bisa turun dalam waktu yang cepat. 

“Kondisi globalnya inflasi tinggi, the Fed turunkan suku bunga enggak cepet amat, walaupun di Indonesia inflasi oke, suku bunga enggak bisa turun terlalu cepat juga. Sehingga pasar obligasi ke depannya volatilitasnya masih tinggi,” kata CEO Batavia Prosperindo Aset Manajemen Lilis Setiadi dalam konferensi pers, Rabu (4/10/2023). 

Meski demikian, ia menyebut, BI mampu dan akan berkomitmen untuk melakukan intervensi di pasar, mata uang, pasar obligasi, meski tidak terlalu agresif.

“Kita lihat volatilitas jangka pendek ini masih ada di obligasi, dari sisi supply risk, supply obligasi engga jor-jor an banyak, pemerintah enggak keluarkan terlalu banyak jadi enggak kebanjiran itu bisa menjaga yield karena volatilitas global yang pengaruhinya,” kata dia. 


Ada Peluang

Karyawan memfoto layar pergerakan IHSG, Jakarta, Rabu (3/8/2022). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan di Bursa Efek Indonesia, Rabu (3/08/2022), ditutup di level 7046,63. IHSG menguat 58,47 poin atau 0,0084 persen dari penutupan perdagangan sehari sebelumnya. (Liputan6.com/Angga Yuniar)IHSG menguat 58,47 poin atau 0,0084 persen dari penutupan perdagangan sehari sebelumnya. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Di sisi lain, Lilis juga mencermati masih ada peluang agar investor mendapatkan imbal hasil atau keuntungan dari investasi obligasi. Hal itu akan tercermin dari tren suku bunga yang ada. Jika suku bunga turun maka harga obligasi ini akan bagus. 

“Kami lihat ada ruang bagi investor untuk tetap mendapatkan return yang baik cuma mesti pilih tenor yag mana, obligasi itu mudahnya suku bunga turun harga obligasi naik. Ke depannya entah  di bulan kapan inflasi di AS turun pasti the Fed turunkan suku bunga, Bi juga, sehingga obligasi harganya akan semarak lagi kalau itu terjadi,” kata dia. 

Menurut ia, apabila tren suku bunga turun terjadi, maka obligasi tenor panjang ini bakal menjadi yang paling diuntungkan. Sedangkan, untuk obligasi jangka pendek akan bergerak fluktuatif alias naik turun.

Namun, bagi investor yang ingin melakukan trading obligasi, Lilis menyarankan untuk memilih obligasi tenor menengah 7-12 tahun.

 

Infografis Bank Dunia Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Bakal Terjun Bebas. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya