Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) bakal gelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 20-21 Desember 2023. Pelaku pasar turut mencermati hasil RDG, seiring sinyal penurunan suku bunga oleh Bank Sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve atau The Fed. Sementara, Analis memperkirakan BI masih akan mempertahankan suku bunga saat ini.
"Suku bunga masih diduga tetap. Kebijakan lebih terkait instrumen moneter demi memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah, salah satunya melalui penerbitan tiga instrumen BI yakni Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI), Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI) untuk menarik aliran dana," ujar Pengamat Pasar Modal yang juga founder Traderindo.com, Wahyu Laksono kepada Liputan6.com, Selasa (19/12/2023).
Advertisement
Secara umum, sinyal penurunan suku bunga The Fed memiliki konsekuensi positif untuk bursa global. Secara historis, pelonggaran moneter cenderung menguntungkan emiten yang sensitif terhadap suku bunga, khususnya bidang keuangan perbankan antara lain emiten perbankan, asuransi, properti dan real estate.
"Jika demikian, maka fokus utama akan wajar kepada emiten bank. Dari emiten bank tersebut lebih selektif lagi yang punya fundamental bagus, kinerja bagus, valuasi bagus, serta market cap mantap," kata Wahyu.
Untuk perbankan, Wahyu jagokan saham Bank Central Asia Tbk (BBCA), Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI), Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI), dan Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI). Untuk potensi target 2024, masing-masing saham yakni BBCA pada 9.300-9.700, BBRI 5.600-5.900, BMRI 6.000-6.400, dan BBNI pada 5.300-5.600.
Masih mengacu pada kinerja fundamental, selain perbankan Wahyu jagokan sektor komoditas dan energi. Sektor tersebut dinilai masih sangat potensial baik jangka menengah dan panjang .
"Kondisi ekonomi global, geopolitik, serta isu lingkungan dan perubahan iklim memastikan bahwa energi sangat vital dan strategis. Bahkan untuk komoditas yang belum bersih seperti coal," imbuh Wahyu.
Emiten komoditas energi yang dapat dicermati yakni saham PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) dengan potensi target 2024 pada rentang 7.000-12.000, PT Bayan Resources Tbk (BYAN) 20.000-30.000, dan PT Amman Mineral Internasional Tbk(AMMN) pada rentang 7.000-10.000.
Disclaimer: Setiap keputusan investasi ada di tangan pembaca. Pelajari dan analisis sebelum membeli dan menjual saham. Liputan6.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian yang timbul dari keputusan investasi.
Sinyal The Fed Pangkas Suku Bunga, Bagaimana Imbasnya ke Pasar Modal Indonesia?
Sebelumnya diberitakan, Bank Sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve (the Fed) mempertahankan suku bunga pada pertemuan ketiga secara berturut-turut. The Fed memberikan sinyal paling jelas tren kenaikan suku bunga agresif mungkin telah selesai.
Kondisi tersebut meningkatkan spekulasi pasar mengenai serangkaian pemangkasan suku bunga pada tahun depan sebagai pelonggaran kebijakan di tengah ancaman merosotnya perekonomian AS.
Pengamat Pasar Modal, Lanjar Nafi mencermati sikap yang lebih dovish pada kebijakan moneter dalam konteks ini adalah suku bunga Amerika, menyebabkan penurunan minat akan USD secara global. Terlihat pada dolar indeks yang merosot dan menjadi sentimen positif dalam terapresiasinya secara signifikan nilai tukar rupiah terhadap USD.
"Tentu hal ini menjadi suatu hal yang positif untuk pasar modal. Selain itu Langkah the Fed juga akan membawa Langkah serupa untuk Bank Indonesia yakni memangkas suku bunga," kata dia kepada Liputan6.com, Kamis (14/12/2023).
Spekulasi arah suku bunga yang lebih rendah akan menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi dan para pelaku bisnis. Lanjar mengatakan pelaku bisnis atau usaha dapat mengembangkan bisnis lebih agresif dengan biaya bunga yang relatif lebih rendah.
"Imbas untuk pasar obligasi pun positif. Pemotongan suku bunga cenderung membuat obligasi yang ada lebih menarik, karena investor mencari imbal hasil yang lebih tinggi di tengah suku bunga yang lebih rendah," imbuh dia.
Economist CGS-CIMB Sekuritas Indonesia, Wisnu Trihatmojo menilai suku bunga The Fed saat ini telah mencapai puncak dan akan mengalami tren turun pada paruh kedua 2024. Berangkat dari asumsi tersebut, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada 2024 diperkirakan sentuh level 7.960.
Advertisement
Tarik Investor
"Kalau kita asumsikan ekonomi Amerika Serikat tahun depan softlanding dan ada penurunan suku bunga, baseline IHSG untuk 2024 akan di kisaran 7.960 dibandingkan angka (IHSG) 2023 pada level 7.250. Jadi ada peningkatan sekitar 10 persen di IHSG," kata Wisnu.
Menurut Wisnu, Kondisi demikian akan menarik investor untuk masuk pasar Indonesia mulai sekarang. Meski begitu, Wisnu juga mewanti-wanti kemungkinan sebaliknya jika The Fed mempertahankan suku bunga atau bahkan kembali mengambil kebijakan untuk menaikan suku bunga acuan.
"Karena pendorongnya kalau The Fed turunkan suku bunga, maka risiko downside adalah kebalikannya. Yaitu kalau The Fed terus mempertahankan suku buka atau amit-amit masih naikin suku bunga tahun depan. Itu akan jadi downside risk yang efeknya besar untuk pasar Indonesia," tutur Wisnu.
Sentimen kedua yang patut dicermati adalah ekspektasi perbaikan pasar China. Sebab jika kondisi pasar negeri tirai bambu itu masih koyak, akan berdampak pada ekonomi global dan potensi resesi di Amerika Serikat semakin besar. Selanjutnya, inflasi akibat harga pangan global yang terus meningkat akan berimbas negatif untuk impor Indonesia dan berdampak pada Rupiah.
The Fed Tahan Suku Bunga Acuan di 5,25%-5,5%
Sebelumnya diberitakan, Federal Reserve (The Fed) kembali mempertahankan suku bunga acuannya dan bersiap untuk melakukan beberapa pemangkasan pada 2024 mendatang. Ini merupakan langkah ketiga kalinya bank sentral Amerika Serikat mempertahankan suku bunga.
Mengutip CNBC International, Kamis (14/12/2023) para pengambil kebijakan di Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) dengan suara bulat memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan pinjaman dalam kisaran 5,25%-5,5%.
Seiring dengan keputusan untuk tetap mempertahankan suku bunga, anggota komite memperkirakan setidaknya tiga kali penurunan suku bunga pada tahun 2024, dengan asumsi kenaikan seperempat poin persentase.
Jumlah tersebut kurang dari empat harga pasar, namun lebih agresif dari yang diindikasikan para pejabat The Fed sebelumnya.
"Inflasi telah mereda dari titik tertingginya, dan hal ini terjadi tanpa peningkatan pengangguran yang signifikan. Itu kabar baik," demikian pernyataan Ketua Jerome Powell saat konferensi pers.
Suku Bunga The Fed ke Level Tertinggi
Pasar telah mengantisipasi secara luas keputusan untuk tetap mempertahankan suku bunga tersebut, yang dapat mengakhiri siklus kenaikan suku bunga sebanyak 11 kali, mendorong suku bunga The Fed ke level tertinggi dalam lebih dari 22 tahun.
Namun terdapat ketidakpastian mengenai seberapa ambisius FOMC dalam melakukan pelonggaran kebijakan.
Ekspektasi masing-masing anggota menunjukkan empat pemangkasan suku bunga pada 2025, atau satu poin persentase penuh.
Kemudian berlanjut dengan 3 kali pengurangan suku bunga AS pada tahun 2026 akan menurunkan suku bunga dana Fed Fund menjadi antara 2%-2,25%, mendekati perkiraan jangka panjang, meskipun terdapat perbedaan besar dalam perkiraan untuk dua tahun terakhir.
Advertisement
Inflasi AS
Namun, pasar menindaklanjuti pertemuan dan konferensi pers Ketua Jerome Powell dengan memperkirakan jalur penurunan suku bunga yang lebih agresif, mengantisipasi penurunan suku bunga sebesar 1,5 poin persentase pada tahun depan, dua kali lipat kecepatan yang ditunjukkan FOMC.
Dengan kemungkinan kenaikan suku bunga telah berakhir, pernyataan tersebut mengatakan bahwa komite akan mempertimbangkan berbagai faktor untuk apa pun pengetatan kebijakan lagi, sebuah kata yang belum pernah muncul sebelumnya.
"Meskipun cuaca di luar masih dingin, The Fed telah menyarankan potensi pencairan suku bunga tinggi yang dibekukan selama beberapa bulan ke depan, kata Rick Rieder, kepala investasi pendapatan tetap global di manajemen aset BlackRock.
Seiring dengan kenaikan suku bunga, The Fed telah mengizinkan hasil obligasi hingga USD 95 miliar per bulan yang jatuh tempo untuk dikeluarkan dari neracanya.
Proses tersebut terus berlanjut, dan belum ada indikasi bahwa The Fed bersedia membatasi porsi pengetatan kebijakan tersebut.
Pejabat The Fed memprediksi inflasi inti AS akan turun menjadi 3,2 persen pada tahun 2023 dan 2,4 persen pada tahun 2024, kemudian menjadi 2,2 persen pada tahun 2025.
Terakhir, inflasi AS diproyeksi kembali ke target 2 persen pada tahun 2026.