Ali Ghufron Mukti: Pasien BPJS Kini Bisa Nunggu Antrean Sambil Minum di Warung Kopi

Program Jamkesmas yang pertama kali diterapkan di Yogyakarta ini tidak lepas dari rasa kepedulian Ali Ghufron terhadap kesehatan masyarakat.

oleh Rinaldo diperbarui 22 Des 2023, 19:53 WIB
Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Nama Ali Ghufron Mukti tak bisa dipisahkan dari yang namanya 'kesehatan'. Bahkan, untuk karier pun juga tak jauh-jauh dari kata tersebut. Misalnya, Ali Ghufron pernah menjabat Wakil Menteri Kesehatan pada Kabinet Indonesia Bersatu II (19 Oktober 2011–20 Oktober 2014) dan Penjabat Sementara Menteri Kesehatan menggantikan Endang Rahayu Sedyaningsih yang wafat (30 April 2012–14 Juni 2012).

Lahir di Blitar, Jawa Timur, pada 17 Mei 1962, Ali Ghufron sejak remaja sudah mencuri perhatian dengan meraih nilai matematika sempurna untuk ujian kelulusan SMA Negeri 1 Blitar. Di sisi lain, dia juga merupakan santri di pesantren Budi Mulia, Yogyakarta.

Usai menamatkan SMA, ia menempuh pendidikan S1 di Fakultas Kedokteran UGM dan tamat pada tahun 1988. Gelar S2 diraihnya dengan keahlian khusus dari Tropical Medicine, The Department of Tropical Hygiene, Mahidol University, Bangkok, Thailand (1991). Setelah itu ia mendapatkan gelar doktor dari Faculty of Medicine, University of Newcastle, Australia (2000) dan memperoleh izin profesi Ahli Asuransi Kesehatan (AAK) dari Pamjaki (2002).

Pada 2004 Ali Ghufron menjabat sebagai Ketua Pengelola Gama Medical Center di mana kemudian lembaga ini menjadi cikal bakal adanya Jamkesmas dan Jamkesda yang belakangan diadopsi pemerintah pusat dan daerah. Dia juga menjadi salah satu penyokong pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Program Jamkesmas yang pertama kali diterapkan di Yogyakarta ini tidak lepas dari rasa kepedulian Ali Ghufron terhadap kesehatan masyarakat. Dia berharap program kesehatan yang dibuatnya bisa berjalan dengan baik khususnya bagi masyarakat yang kurang mampu untuk mendapatkan pelayanan kesehatan terbaik dengan catatan orang kaya harus tetap membayar.

Pada tahun 2008, Ali Ghufron mencoba peruntungan dengan mendaftar ikut seleksi menjadi Dekan Fakultas Kedokteran UGM. Mengaku hanya coba-coba, dia mendaftar dua jam sebelum pendaftaran ditutup, yang ternyata justru membawa keberuntungan. Ali Ghufron kemudian terpilih dan menjadi dekan termuda di fakultas tersebut pada usia 46 tahun.

Saat menjabat sebagai dekan, Ali Ghufron tergolong berhasil membawa Fakultas Kedokteran UGM masuk dalam Top World University. Menempati urutan ke-103 dari sekitar 1.000 fakultas kedokteran di dunia dari sebuah lembaga survei, Time Higher Education Survey (THES)-QS World University Rankings 2009 untuk kategori bidang ilmu Life Sciences and Biomedicine.

Prestasi membanggakan bagi Fakultas Kedokteran UGM yang diraih selama tiga tahun berturut-turut ini tidak lepas dari terobosan-terobosan yang dilakukan Ali Ghufron. Di antaranya melakukan perubahan dengan memperbesar pemberian insentif dan perbaikan SDM di fakultas tersebut. Dia juga menggelar program subsidi silang yang memungkinkan anak-anak fakir miskin dapat berkuliah di fakultas bergengsi itu.

Selain itu meningkatkan proses pembelajaran dan penambahan keahlian bagi lulusan dokter. Serta manajemen pengelolaan yang lebih akuntabel, partisipatif dengan memanfaatkan teknologi informasi kepada staf pengajar, tenaga kependidikan, dan mahasiswa.

Pemikirannya yang memberikan banyak manfaat pada masyarakat membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang waktu itu baru terpilih kembali untuk periode kedua mempercayakan jabatan Wakil Menteri Kesehatan pada Ali Ghufron dan dilantik pada 19 Oktober 2011.

Usai menjabat sebagai Wakil Menteri Kesehatan, Ali Ghufron diangkat sebagai Direktur Jenderal Sumber Daya Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Pendidikan Tinggi (SDID), Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Pada 22 Februari 2021, Ali Ghufron dilantik sebagai Direktur Utama BPJS Kesehatan oleh Presiden Joko Widodo.

Lantas, apakah BPJS Kesehatan sudah tampil sebagaimana idealnya atau masih harus ada perbaikan? Berikut petikan wawancara Ali Ghufron Mukti dengan Teddy Tri Setio Berty dalam program Bincang Liputan6.


Ke Cikeas, Ganti Baju di Pom Bensin

Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Apakah benar sejak kecil Bapak Memang bercita-cita menjadi seorang dokter?

Betul, betul. Jadi ketika masih kecil itu saya sempat diperiksa seorang dokter. Nah di situ tidak saja dimarahi, tapi juga harus bayar mahal. Karena itu saya punya cita-cita, kalau saya bisa jadi dokter gimana bayarnya bisa murah dan terjangkau, setiap orang bisa berobat gitu.

Rupa-rupanya benar, akhirnya jadi dokter, jadi Dekan di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada dan jadi Ketua Dekan-Dekan seluruh Fakultas Kedokteran seluruh Indonesia. Di ASEAN juga sebagai ketua untuk One Health yang pertama kali di ASEAN dan tentu di WHO membantu sekitar dua tahun untuk merencanakan namanya strategic planning untuk Human Resources and Health di seluruh dunia sampai tahun 2030.

Bapak juga dikenal sebagai sosok yang kemudian menggagas program Jamkesmas dan Jamkesda. Dari mana awal munculnya gagasan tersebut?

Awal itu kami bikin yang namanya GMC, Gadjah Mada Medical Center, itu untuk seluruh mahasiswa di UGM. Jadi tidak berhenti di situ, karena daerah-daerah itu mengembangkan satu sistem waktu itu, sebetulnya Kementerian Kesehatan mendorong ada JPKM daerah, maka kami kasih nama Jamkesda, kebetulan dari kami nama itu, Jaminan Kesehatan Daerah.

Nah di Jogja juga waktu itu namanya Jamkesda, kemudian ada Jamkesta, Jaminan Kesehatan Semesta. Nah terus kemudian kami jadi konsultan kalau Jamkesmas itu waktu menterinya Ibu Siti Fadilah. Nah waktu itu ada Askeskin. Saya sampaikan, Bu kalau Askeskin itu asuransinya untuk orang miskin, masa sesama miskin berasuransi, agak berat ini, maka lebih baik Jamkesmas, Jaminan Kesehatan Masyarakat.

Penerapan Jamkesmas dan juga Jamkesda awal-awal di Yogyakarta itu seperti apa?

Kalau di Gadjah Mada itu setiap mahasiswa, awalnya mahasiswa baru, karena kalau mahasiswa lama suka protes, yang baru masuk nggak protes, itu untuk sekaligus bayar iuran itu preminya ya itu baru Rp 4.250. Itu pun setelah berjuang mati-matian beberapa tahun akhirnya naik menjadi Rp 5.000.

Nah di BPJS Kesehatan ini kami juga berjuang dengan waktu itu Wakil Menteri Keuangan ya sekarang di OJK, Pak Mahendra Siregar ya, itu Beliau punya kesempatan dan punya uang itu maksimal Rp 15 ribu. Padahal hitungan kita dengan aktuaris, kalau itu saya sudah di Jakarta ya, itu paling tidak Rp 22.500, jadi masih kurang.

Sehingga memang sejak didirikan BPJS ini kurang uangnya jadi defisit gitu. Defisit terus sampai ya 2021 kebetulan kami masuk di sini dan cashflow sudah tidak defisit, tetapi asetnya itu masih defisit dan di akhir 2021 sudah tidak defisit.

Nah, sebagai Dekan termuda Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, apakah benar waktu mendaftar jadi calon dekan hanya coba-coba?

Istilahnya didorong-dorong gitu, didorong-dorong sama teman-teman. Dan dua jam sebelum ditutup pendaftaran itu baru daftar, pikirannya paling-paling ya kalah lah dari orang-orang yang lebih mantep gitu daripada saya. Rupa-rupanya akhirnya malah terpilih.

Setelah terpilih saya kemudian juga jadi Ketua Dekan-Dekan seluruh Indonesia untuk fakultas dokteran, kemudian diminta setelah itu di Kementerian Kesehatan jadi Wakil Menteri Kesehatan. Kita juga waktu itu terpaksa ya akhirnya jadi Plt Menkes ya sebentar kemudian pulang ke Jogja.

Saya kemudian ke Jakarta lagi jadi Dirjen Sumber Daya yang tidak berdaya gitu. Kemudian Rektor Trisakti hampir lima tahun dan Staf Ahli Menristek, kemudian di BRIN, terus membantu di Bank Mandiri Inhealth dan bersamaan lalu ke BPJS.

Boleh juga dong diceritakan bagaimana ketika Bapak diminta Presiden SBY menjadi Wakil Menteri Kesehatan Republik Indonesia?

Jadi saya itu nggak tahu ya, waktu saya jadi konsultan di daerah Banten tiba-tiba ditelepon Pak Sudi Silalahi almarhum. Ditelepon pagi-pagi diminta ke Cikeas, saya bilanglah Cikeas itu mana ya? Nggak tahu saya. Lalu ke sopir taksi, kita mau ke Cikeas Pak. Sopir taksinya bilang pernah dengar, tapi nggak tahu juga. Itu saya lagi di Banten.

Saya memang nggak tahu Cikeas itu, karena domisili saya di Jogja, cuma pas kebetulan konsultasi di Banten untuk membentuk Jamkesda dan sistem daerahlah. Nah kemudian karena saya itu biasanya pakai batik, saya dipinjemin batik di daerah dekat Cikeas sana. Akhirnya di pom bensin ganti batik ke Cikeas, tempatnya Pak SBY.

Jadi waktu itu tidak ada ekspektasi apa-apa ya, Pak?

Oh tidak ada, ya tidak ada. Tapi sebelumnya memang kami bantu banyak hal, ada program SIKIB, ada Indonesia Sehat, Indonesia Pintar, Indonesia Hijau kayak gitu. Nah, saya bantu di Indonesia Sehat itu.

 


Tak Lagi Defisit, BPJS Kini Memberi Uang Muka

Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Setelah hampir tiga tahun ini Bapak memimpin BPJS Kesehatan, apa saja perubahan yang telah dilakukan oleh BPJS Kesehatan?

Ya tentu paling bagus tanyanya ke masyarakat ya, kalau saya mungkin dianggap wah kok persepsinya dari saya gitu. Tapi yang jelas yang kami catat itu bahwa dulu itu defisit, tadi sudah saya sampaikan, nah kemudian menjadi positif. Setelah positif itu kita berharap kepada rumah sakit dan faskes-faskes di mana biasanya kita punya utang, bahkan waktu itu utang sekian.

Dan di DPR pun dianggap masih punya utang banyak gitu. Nah padahal kita sudah beresin utang itu, itu yang pertama. Setelah utang kita beresin dan kita berharap sampai saat ini pun nggak punya utang ke rumah sakit.

Yang kedua kemudian kita berikan uang muka, karena saya dengar beberapa direktur rumah sakit itu, kepada supplier-nya dia punya utang karena dibayar terlambat ya punya utang. Nah itu kita berikan uang muka, mereka pada senang. Jadi belum kita verifikasi sudah dapat uang muka.

Sekarang ini sekitar Rp 4 triliun ya untuk seluruh Indonesia uang muka kita berikan pada rumah sakit dan faskes itu. Nah, tidak berhenti di situ, dengan Kementerian Kesehatan kita naikkan tarifnya, pada happy-lah ya.

Untuk masyarakat kita sampaikan sekarang kita transformasi mutu, pokoknya kalau dulu didiskriminasi banyak kan, wah ini peserta BPJS penuh, nggak ada lagi tempat gitu. Atau maksimum tiga hari Anda harus sudah pulang, padahal nggak ada itu. Makanya kita tekankan transformasi mutu itu teorinya banyak, tetapi di BPJS kita tekankan tiga saja indikatornya, satu mudah, cepat, setara atau non-diskriminatif.

Kami juga mencatat suara-suara dari publik bahwasanya akses pelayanan kesehatan BPJS Kesehatan masih belum maksimal dan dirasa masih timpang tindih, baik itu di kota maupun di pedesaan. Bagaimana BPJS Kesehatan melihat situasi ini?

Ya perlu kami sampaikan ya, orang sering tidak bisa membedain mana yang sebetulnya supply-side tadi, faskesnya jelek, belum berkembang dengan baik, dokternya nggak ada, kosong, faskesnya sekali lagi jauh kaya gitu ya. Di pedesaan terutama atau di pulau-pulau terkecil, nah ini untuk kita sampaikan BPJS itu tidak bertanggung jawab di situ sebetulnya.

Jadi ini banyak masyarakat tidak tahu, jadi ada Kementerian Kesehatan, ada pemerintah daerah dan lain sebagainya yang bertanggung jawab terhadap supply-side tadi. Kalau BPJS tanggung jawabnya terhadap demand-side, bukan supply-side.

Jadi demand-side itu adalah permintaan atau kebutuhan dari masyarakat untuk bisa akses, tapi aksesnya ini faskesnya seperti apa, dokternya, BPJS nggak pernah menempatkan dokter, nggak pernah, bangun rumah sakit juga nggak pernah gitu, karena itu bukan tanggung jawabnya BPJS, ini tidak dipahami oleh masyarakat luas.

Jadi rumah sakit itu tanggung jawab pemerintah?

Jadi itu kalau yang urusannya rumah sakit pusat miliknya Kemenkes, jadi pemilik, yang daerah RSUD miliknya daerah dan tanggung jawabnya daerah untuk ada dokternya, nggak kosong segala macam. Kalau swasta ya swasta, BPJS nggak pernah. Jadi BPJS itu di demand-side. Tapi bagaimana orang bisa akses with quality of healthcare without financial hardship tanpa kesulitan ekonomi, tanpa kesulitan keuangan ya, jadi gitu.

Jadi di sini kalau dari sisi demand-side sudah cukup bagus. Sekarang mohon maaf, banyak negara datang ke BPJS ya, bahkan nanti kita bisa sampaikan bagaimana kita punya command center itu yang data riil ratusan juta, bahkan klinik rumah sakit kita bisa zoom bisa tahu perilakunya seperti apa.

Jadi kalau dari demand-side mantaplah, kita bisa dibandingkan di banyak negara, bahkan di Amerika sekarang itu belum mencapai apa yang dicapai Indonesia untuk dari sisi jaminannya ya. Tetapi kalau tadi supply-side-nya sama outcome-nya nah itu itu menjadi persoalan memang, tapi bukan tanggung jawabnya BPJS.

Meski begitu, maka BPJS tadi di demand-side itu ada UKP, upaya kesehatan perorangan, bukan yang public health, contohnya dulu Covid ataupun tuberculosis ya. Meski begitu, tuberculosis yang sekarang juara dunia nomor dua Indonesia, BPJS ikut menyelesaikan.

 


Sudah Online, Tak Ada Lagi Antrean Panjang Pasien

Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Keluhan yang juga banyak disuarakan adalah terkait antrean pasien BPJS yang sangat panjang di rumah sakit, bagaimana Bapak menanggapinya?

Memang kalau tiga tahun, empat tahun lalu, bahkan dulu sandal pun ikut antre. Untuk diketahui, sandalnya ikut antre, tapi kalau sekarang sudah banyak berubah. Jadi saya waktu mau dilantik Februari setelah SK dari Presiden keluar yang menugaskan saya mengelola BPJS, masyarakat yang kenal saya sudah WA-WA, ada congratulation, selamat segala macam.

Tapi yang protes jugab banyak, antara lain mengatakan, gara-gara kami peserta BPJS kami harus antre enam jam, masak enam jam antre. Ada yang pagi-pagi buta, Pak, kami sudah harus antre segala macem. Saya sampaikan, sebentar-sebentar dilantik saja belum Anda sudah protes, tunggu dulu dong, tunggu dulu.

Akhirnya sekarang ini dengan antrean online ya untuk diketahui antre bisa dari warung kopi. Di Senayan City bisa sambil ngopi, kayak gitu bisa sekarang antre dan rata-rata sudah kami rekam tercatat itu 2,5 jam. Di situ ada jam katakanlah berapa mau dikasi layanan, tinggal kira-kira dari rumah berapa lama gitu.

Kalau soal diskriminasi layanan bagi peserta dan juga non-peserta BPJS, bagaimana BPJS Kesehatan meminimalisasi diskriminasi tersebut?

Betul, jadi bagi masyarakat yang merasa didiskriminasi ya, karena kadang juga tidak didiskriminasi karena sakit, maunya VIP, inginnya privilege, inginnya paling cepat ya, memang orang sakit gitu.

Tapi kalau memang didiskriminasi dan memang dulu banyak yang didiskriminasi, tapi oknum ya tidak semua rumah sakit seperti itu, bisa dilaporkan baik melalui WA 0811-8165-165, bisa di web juga bisa Care Center di 165, bisa di BPJS Satu, rumah sakit hubungi BPJS Satu yang siap membantu.

Jadi sudah ada layanan untuk itu ya?

Tidak berhenti di situ, kami di dalam kontrak dengan rumah sakit itu, rumah sakit harus berjanji, janjinya itu cukup bisa menerima dengan KTP saja. Bahkan kalau kartu BPJS hilang, KTP cukup. Tidak berhenti di situ, KTP-nya hilang sekaligus NIK-nya masih ingat itu cukup.

Tidak berhenti di situ, bahwa janji ini namanya Janji Pelayanan harus ditempelkan di depan yang strategis sehingga pasien mudah baca, termasuk salah satu janji yaitu melayani dengan ramah tanpa diskriminasi.


Rencana Menghapus Kelas Rawat Inap

Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Upaya preventif menjadi penting dalam menjaga kesehatan masyarakat dan jauh lebih murah daripada mengobati. Program apa yang dilakukan BPJS Kesehatan untuk memaksimalkan kesehatan masyarakat?

Oh banyak sekali ya, meskipun tadi saya sampaikan kalau public health murni ya yang empowerment, kemudian memberdayakan masyarakat jadi masyarakat bagaimana biar pengetahuan kesehatan itu meningkat, itu bukan tanggung jawab BPJS karena itu public health.

Tapi meski begitu, UKP ini menyangkut juga promosi, prevensi, kurasi, dan rehabilitasi. Jadi BPJS sekarang itu biar lebih cost effective membuat semacam screening riwayat kesehatan. Jadi masyarakatnya ini belum banyak ya, baru sekitar 23 juta untuk tahun 2023 itu yang mengisi form, dia bisa mengisi di Mobile JKN, screening, riwayat kesehatan.

Kalau sudah diisi ada sekitar 42 atau 46 pertanyaan gitu, dia akan dikasih tahu ada feedback langsung apakah seseorang itu berisiko untuk sebuah penyakit. Katakanlah dia risiko DM dan nanti dianjurkan untuk bisa periksa gula darah itu dan lain sebagainya.

Nah, kami juga dapat informasi, menurut rencana kelas rawat inap 1, 2, 3 dari BPJS Kesehatan akan dihapuskan per 1 Januari 2025. Kira-kira berapa kisaran iuran BPJS nantinya dan manfaat apa saja yang bisa didapatkan oleh masyarakat?

Yang bagus ya kita tunggulah Februari 2024. Tetapi kalau Pemilu 2024 sampai dua putaran gitu ya berarti sekitar Juni ya? Tetapi yang jelas bahwa seperti apa kebijakannya, sampai sekarang belum ada perubahan.

Nah, kalau ditanya kira-kira iurannya berapa? Itu yang jelas tadi kan ada beberapa alternatif, apakah iuran kita naikkan setelah 2024? Apakah nanti ada cost sharing? Apakah gaji yang sebagai dasar untuk memotong iuran peserta itu dinaikkan batasannya?

Contohnya batasannya sekarang itu Rp 12 juta. Jadi seseorang yang gajinya Rp 100 juta ya kita hitung Rp 12 juta. Kalau 1 persen dari Rp 12 juta kan Rp 120 ribu, jadi 1 persen padahal untuk 5 orang berarti satu orangnya tidak sampai Rp 25 ribu. Padahal untuk bayar PBI itu satu orang kira-kira Rp 42 ribu.

Kemudian bagaimana juga BPJS Kesehatan memandang rencana kolaborasi dengan perusahaan asuransi? Apakah nantinya akan ada penyesuaian pada layanan yang sudah ada?

Kita sampaikan ya, pembiayaan di banyak negara itu hanya publik saja tidak cukup. Kalau swasta saja itu juga tidak cukup, maka yang bagus itu public private partnership. Jadi partner kerja sama antara swasta dan pemerintah. Nah, titik kerja samanya itu di mana, seperti apa? Ini yang perlu kita cari bersama.

Tetapi sekarang ini sebetulnya BPJS sudah bisa kerja sama dengan swasta. Tidak saja untuk diketahui ya, dari sisi rumah sakit yang kerja sama dengan BPJS ini 64 persen, lebih banyak dari 50 persen ya artinya lebih banyak dari separuh itu adalah swasta.

Nah, meski begitu, kalau peserta BPJS ini yang kelas 2, kelas 1 ya jangan yang kelas 3, kelas 3 kan banyak yang dibayari juga. Yang kelas 2, kelas 1 itu bisa minta untuk kelas eksekutif ya untuk rawat jalannya, bisa bayar tambahan atau perusahaan bayar tambahan boleh juga maksimum katakanlah Rp 450 ribu.

Kalau rawat inap ya mau kelas 1, terus mau pindah ke VIP boleh juga ya, nah itu ada tambahan dan bisa kerja sama entah perusahaan atau swasta. Tapi kalau yang bersangkutan nggak punya perusahaan, enggak punya asuransi ke swasta tadi maka rumah sakit boleh menarik karena dia naik kelas tadi hanya maksimum 75 persen dari tarif INA-CBGs-nya BPJS.

Nah, menyambut 2024 apakah ada layanan tambahan yang akan diberikan oleh BPJS Kesehatan terkait peningkatan mutu. Seperti diketahui, sejumlah deteksi dini penyakit seperti diagnosis kanker paru yang merupakan pemeriksaan mutasi sel seperti ALK, PD-L1, ROS-1 belum di-cover oleh BPJS Kesehatan. Hal itu apakah akan berdampak pada terapi bagi pasien kanker?

Ya, bahwa kanker ini termasuk salah satu spending di BPJS, 10 terbesar ya kita biasa sebut katastropik itu ya, penyakit yang membutuhkan biaya besar. Nomor 3 atau 2 itu adalah kanker, nomor 1 jantung. Tentu di dalam bidang kedokteran inovasi itu tiada henti terus ada tiap hari, tidak hanya bagaimana pemeriksaan kanker di paru ya, tapi di banyak penyakit-penyakit itu paru terus.

Termasuk bahkan di BPJS ini sudah bisa menemukan seseorang ini sudah minum obat atau belum, bayangkan negara maju belum tentu bisa, tapi BPJS sudah bisa nih. Sudah tahu seseorang itu sudah minum obat, terutama obat TB atau belum, itu kita sudah tahu.

Tetapi tentu resources di dalam BPJS itu always limited ya. Tidak hanya di BPJS di mana pun resources always limited, sumber daya selalu terbatas, sedangkan permintaan, inovasi tadi untuk katakanlah pemeriksaan yang baru, prosedur baru, terus tidak terbatas.

Nah, oleh karena itu, sepanjang penemuan baru itu dilihat, dinilai, yang namanya HTA, Health Technology Assessment, dan itu bagus dan hasilnya lebih konstruktif, kenapa tidak di-cover? Bisa kita masukkan kerja sama dengan Kementerian Kesehatan, jadi di Formularium Nasional atau dilakukan HTA kalau terbukti lebih ke selektif masukkan dan di-cover oleh BPJS, begitu.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya