Liputan6.com, Jakarta Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) menunda pemungutan suara yang menyerukan penghentian permusuhan secara berkelanjutan di Gaza. Hal itu dilakukan untuk memberikan lebih banyak waktu bagi para diplomat untuk menanggapi keberatan AS terhadap wording (kata-kata) dalam rancangan resolusi tersebut.
Pemungutan suara tersebut dijadwalkan dilakukan pada Senin 18 Desember 2023 di New York, namun AS mengatakan pihaknya tidak dapat mendukung rujukan pada "penghentian permusuhan", namun mungkin menerima seruan untuk "penundaan permusuhan".
Advertisement
Mengutip laporan The Guardian, Selasa (19/122023), negara-negara Arab yang merundingkan naskah resolusi gencatan senjata tersebut mengatakan bahwa mereka terdorong untuk melihat bahwa Gedung Putih tampaknya berusaha menemukan kata-kata yang dapat didukung – dibandingkan dengan sekadar memveto resolusi, posisi yang diadopsi dalam seruan jeda kemanusiaan pada tanggal 18 Oktober dan untuk gencatan senjata kemanusiaan yang mendesak pada 9 Desember.
Adapun perpecahan dalam pemerintahan AS semakin meningkat, dengan beberapa pejabat mengatakan bahwa AS salah memahami skala kekecewaan di negara-negara Selatan, atas anggapan kemunafikan AS dalam menyebut kejahatan perang Rusia di Ukraina, namun menemukan banyak alasan untuk membenarkan pembunuhan besar-besaran terhadap warga Palestina di Gaza.
Sejumlah diplomat AS telah mengunjungi Yerusalem untuk mendesak pemerintah Israel agar mengadopsi taktik militer yang berbeda, namun hanya sedikit keberhasilannya, dan dukungan AS terhadap penghentian permusuhan di PBB, jika hal itu terjadi, akan menjadi sinyal jelas akan rasa frustrasi AS dengan pemerintah Israel.
Tekanan Meningkat Terhadap AS
AS juga sebelumnya menolak resolusi penghentian permusuhan di 15 dewan keamanan yang kuat karena tidak adanya kritik yang jelas terhadap Hamas atas pembunuhan lebih dari 1.000 warga Israel, termasuk banyak perempuan dan anak-anak pada 7 Oktober 2023.
Dalam rancangan resolusi terbaru yang disiapkan oleh Uni Emirat Arab, mengutuk semua tindakan terorisme, dan menyerukan pembebasan semua sandera tanpa syarat.
Tekanan terhadap AS semakin meningkat setelah sidang umum PBB pada 12 Desember memberikan suara dengan hasil 153 berbanding 10 dengan 23 abstain untuk menyerukan penghentian segera permusuhan Israel-Hamas. Anggota tetap dewan keamanan tidak dapat menggunakan hak vetonya terhadap pemungutan suara di majelis umum seperti halnya pada pemungutan suara di dewan keamanan.
Namun pemungutan suara di Majelis Umum merupakan ekspresi opini dunia dan tidak memiliki kekuatan hukum yang seharusnya melekat pada resolusi Dewan Keamanan. Dalam praktiknya, banyak resolusi yang diabaikan.
Perasaan terisolasi yang dirasakan AS pada sidang umum tersebut, merupakan cerminan dari isolasi yang dialami Rusia pada sidang umum tahun lalu akibat invasi ke Ukraina.
Advertisement
Merebut Hati Inggris
Sementara itu, dalam upaya untuk memenangkan hati Menteri Luar Negeri Inggris, David Cameron, rancangan resolusi yang disiapkan pada hari Senin (18/12) menyerukan gencatan senjata yang berkelanjutan, sesuai dengan kata-kata yang digunakan dalam artikel akhir pekan yang ditulis bersama dengan timpalannya dari Jerman.
Kata-kata tersebut dirancang untuk memudahkan Inggris untuk beralih dari sikap abstain, yang merupakan posisi Inggris terakhir kali masalah ini diperdebatkan di dewan keamanan, menjadi positif mendukung.
Inggris terkadang memberikan suara positif mengenai resolusi yang awalnya ditentang oleh AS, terutama pada Januari 2009 ketika Gordon Brown menginstruksikan utusan Inggris untuk mendukung resolusi gencatan senjata PBB setelah 13 hari pertempuran antara Israel dan Hamas di Gaza. Sikap Inggris membantu memaksa AS beralih dari oposisi ke abstain.
Adapun seruan PBB untuk menghentikan permusuhan, bersamaan dengan bagian lain dari resolusi tersebut, akan memberikan tekanan pada Israel untuk mengizinkan bantuan kemanusiaan masuk ke Gaza dalam skala besar, baik melalui darat, laut, dan udara. Proses pemantauan akan dilakukan untuk mengatasi hambatan bantuan mencapai Gaza.
153 Negara Setuju Resolusi Gencatan Senjata di Gaza, Namun 10 Negara Menolak
Sebelumnya, sebanyak 153 negara mendukung resolusi gencatan senjata di Jalur Gaza. Hanya 10 negara yang menolak, termasuk Amerika Serikat, Israel, Paraguay, dan Papua Nugini.
Ada tiga permintaan penting di resolusi itu berdasarkan laporan UN News, Selasa (12/12).
1. Menuntut gencatan senjata kemanusiaan secepatnya.
2. Menegaskan permintaan kepada semua pihak agar mematuhi tanggung jawab-tanggung jawab di bawah hukum internasional, termasuk hukum kemanusiaan internasional, terutama terkait perlindungan rakyat sipil.
3. Menuntut pelepasan secepatnya dan tanpa syarat semua tawanan, serta memastikan akses kemanusiaan.
Tiga anggota Dewan Keamanan PBB mendukung resolusi gencatan senjata di Jalur Gaza, yakni Prancis, China, dan Rusia.
Sejumlah negara Barat juga terpantau mendukung resolusi ini, termasuk Norwegia, Denmark, Finlandia, Kanada, Kroasia, Irlandia, dan Estonia.
Ada 10 negara yang menolak resolusi ini, yakni Austria, Czechia, Guatemela, Israel, Liberia, Micronesia, Nauru, Papua Nugini, Paraguay, dan Amerika Serikat.
Sebelum resolusi ini lolos, Duta Besar Israel Gilad Erdan menyuarakan kekesalannya karena resolusi itu tidak mengecam Hamas.
"Tidak hanya resolusi ini gagal untuk mengecam Israel untuk kejahatan terhadap kemanusiaan, ini tidak menyebut Hamas sama sekali. Ini hanya akan memperlama kematian dan kehancuran di kawasan, itulah tepatnya arti dari gencatan senjata," ujar Gilad Erdan.
Lebih lanjut, Erdan mengklaim Israel sudah lama telah membantu akses kemanusiaan ke Gaza.
"Kita semua tahu bahwa panggilan gencatan senjata kemanusiaan di resolusi ini tidak terkait kemanusiaan. Israel telah mengambil setiap tindakan untuk memfasilitasi masuknya bantuan kemanusiaan ke dalam Gaza," katanya.
Advertisement