Liputan6.com, Jakarta Larangan penjualan rokok eceran dan memajang produk tembakau di tempat penjualan diyakini memiliki dampak besar bagi pendapatan para pedagang.
Hal tersebut diungkapkan Ketua Umum Komite Ekonomi Rakyat Indonesia (KERIS) Ali Mahsun Atmo.
Advertisement
“Aturan tersebut berkorelasi secara signifikan bagi (pedagang) asongan dan kelontong. Padahal, usaha mereka masih belum bangkit sepenuhnya pasca pandemi,” ujar dia dikutip rabu (201/12/2023).
Ali menambahkan apabila aturan tersebut disahkan, maka akan terdapat dampak negatif yang signifikan terhadap ekonomi rakyat.
“Jumlah pedagang rokok eceran atau asongan ini mencapai hampir 50 ribu di tanah air. Sedangkan, warung sembako jumlahnya hampir 4,1 juta. Itu mereka juga jualan rokok,” terangnya.
Ali Mahsun Atmo berharap pemerintah mendengar keresahan dari jutaan pedagang kaki lima di Indonesia.
Bahkan, lanjut Ali yang juga merupakan Ketua Asosiasi Pedagang Kaki Lima (APKLI) ini, mengungkapkan bahwa Presiden Jokowi sempat menitipkan pesan agar para pedagang asongan dan kaki lima dijaga keberlangsungannya karena memiliki dampak besar pada ekonomi nasional.
“Saya tahu betul bahwa Presiden Jokowi punya keberpihakan pada ekonomi rakyat,” ungkapnya.
Omzet Terancam Anjlok, Larangan Jualan Rokok Eceran Rugikan Pedagang Kecil
Berbagai rencana pelarangan bagi produk tembakau dinilai mengancam keberlangsungan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Padahal, UMKM di Indonesia baru saja bangkit dari pandemi dan memiliki peran penting dalam perekonominan nasional.
Sejumlah rencana larangan yang paling disoroti dan menuai protes dari berbagai kalangan pedagang adalah rencana larangan penjualan rokok eceran dan larangan pemajangan produk tembakau di tempat penjualan.
Salah satu pihak yang terdampak dari aturan tersebut ialah pemilik usaha warung kopi (warkop) yang sebagian besar omzetnya berasal dari penjualan rokok.
“Kalau aturan pemerintah (Kementerian Kesehatan) mengenai larangan penjualan rokok itu dilakukan, maka pemasukan kami menurun drastis. Karena memang identik dari usaha kami itu,” ungkap Ahmad selaku pemilik warkop di Depok, dikutip Kamis (14/12/2023).Ahmad mengungkapkan, penjualan terbanyak di warkopnya masih disumbang oleh penjualan rokok yang dijual secara eceran. “Makanya tadi saya sempat menanyakan, apabila ada peraturan seperti itu, apa solusinya untuk kami para UMKM?,” herannya.
Oleh karena itu, Ahmad meminta agar pemerintah, dapat memberikan solusi yang tepat bagi pelaku usaha untuk mempertahankan keberlangsungan usaha mereka.
“Kalau kita tidak bisa menjual rokok secara eceran, apa solusi yang bisa diberikan oleh pemerintah agar omzet kita tetap? Harusnya pemerintah itu memberikan solusi dan harapan bagi kami untuk bisa menjaga keberlangsungan usaha kami," tuturnya.
Advertisement
Industri Pertembakauan
Terpisah, Akademisi Fandi Setiawan, mengingatkan dalam perumusan aturan terkait dengan sektor tembakau harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan yang terdampak, termasuk para pedagang. Kuncinya adalah stakeholder harus diajak bicara.
"Masyarakat (yang) terdampak dari sebuah kebijakan itu harus diikutsertakan,” sarannya.
Industri pertembakauan di sisi hilir sudah dikepung oleh peraturan yang sangat ketat, yakni terdapat sekitar lebih dari 300 regulasi. Belum lagi problematika di sektor hulu di level para petani. Sementara, sedikitnya ada sekitar 6 juta masyarakat Indonesia yang memiliki keterkaitan langsung dengan ekosistem pertembakauan nasional. Belum lagi dari aspek kontribusinya terhadap pendapatan negara yang signifikan.
Secara prinsip, Fandi sepakat bahwa negara perlu menerapkan aturan terhadap produk tembakau. “Tapi, jangan bicara tentang pelarangan yang restriktif karena produk tembakau ini bukan produk yang dilarang,” tegasnya.